Menurut kabar, mobil listrik Blits buatan Universitas Budi Luhur dan ITS siap mengikuti Rally Dakar di pada Januari 2019. Mobil ini tengah berkeliling Nusantara untuk menguji kehandalannya.
Diskursus tentang mobil listrik ini sangat relevan di tengah pergerakan dunia untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Isu ini amat strategis karena berkaitan dengan isu energi, lingkungan, dan sekaligus terkait dengan isu daya saing dan pengembangan industri otomotif nasional.
Pada isu lingkungan, mobil listrik menjadi salah satu solusi untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK). Karbondioksida merupakan salah satu GRK, pangkal penyebab perubahan iklim–yang dominan. Emisi karbon (baca: karbondioksida) dunia di awal Juni lalu telah menyentuh angka lebih dari 411 bagian per sejuta (ppm) di stasiun pengamatan di Mauna Loa, Hawaii. Pengukuran emisi gas karbon di Mauna Loa dijadikan rujukan global untuk emisi GRK.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pada isu energi, pengembangaan mobil listrik atau kendaraan listrik terkait dengan pengembangan kelistrikan. Pengembangan mobil listrik akan tidak berujung pada pengurangan emisi GRK apabila sumber listrik untuk kendaraan listrik masih bersumber pada bahan bakar fosil yaitu batu bara.
Peningkatan penggunaan listrik untuk sektor transportasi bisa meningkatkan emisi GRK atau menghambat penurunan apabila justru industri batu bara dan impor batu bara meningkat karena penggunaan listrik meluas ke sektor transportasi. Sementara di sektor persaingan industri, kesempatan Indonesia untuk menumbuhkan industri ini masih terbuka luas.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA–Menteri ESDM Ignatius Jonan menjajal Mobil Listrik Nasional Institut Teknologi Sepuluh Nopember saat melakukan kunjungan kerja ke kampus tersebut, Surabaya, Jumat (9/2/2018). Kementerian ESDM terus mendorong agar mobil listrik tersebut dapat diproduksi massal.– Kompas/Bahana Patria Gupta
Penurunan emisi GRK
Indonesia dalam komitmen kontribusi penurunan emisi nasional (NDC) telah menetapkan sektor energi sebagai sektor yang berperan besar untuk penurunan emisi gas rumah kaca, salah satunya adalah melalui emisi di sektor transportasi.
Menurut NDC yang diajukan ke Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC), Indonesia berniat menurunkan emisi pada tahun 2030 sebesar 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan bantuan negara lain, dibandingkan dengan proyeksi emisi apabila semua berjalan seperti saat ini tanpa ada intervensi kebijakan baru (BAU-business as usual).
Di masa depan, emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia yang sekarang 60 persen berasal dari sektor hutan dan lahan, akan bergeser ke sektor energi, karena pertumbuhan industri sementara sektor hutan dan lahan semakin berkurang.
Diproyeksikan, pada tahun 2030 tanpa intervensi kebijakan, bakal terjadi peningkatan emisi GRK sampai 2,82 gigaton setara emisi gas CO2 (GtonCO2e). Indonesia adalah pengemisi GRK karbon keenam terbesar di dunia, sementara jika dimasukkan sektor hutan dan lahan, terutama melibatkan gambut di dalamnya, Indonesia berada di peringkat tiga pengemisi GRK terbesar.
Dalam suatu diskusi terbatas beberapa waktu lalu, Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) Ahmad Safrudin, yang akrab dipanggil Puput, mengatakan, dari jumlah itu, sekitar 16,66 persen atau 0,470 GtonCO2e berasal dari transportasi. Sekitar 0,257 GtonCO2e dari diesel dan sekitar 0,212 GtonCO2e dari bensin. Apabila kendaraan bergeser ke kendaraan listrik tentu semua emisi GRK dari transportasi akan nol. Kontribusi yang signifikan.
Kontribusi tersebut akan meningkat secara non-linier jika melihat kecenderungan dari pertumbuhan angka kendaraan di Indonesia hingga 2016. Dari data BPS tampak, dalam 10 tahun terakhir peningkatan angka kendaraan bermotor rata-rata 11,5 persen per tahun.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI–Sejumlah purwarupa kendaraan listrik seperti sepeda motor listrik dan kendaraan angkutan barang serbaguna dipamerkan di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Jakarta, Selasa (31/8/2018). BPPT terus meningkatkan pengujian mobil dan motor listrik serta stasiun penyedia listrik umum, pengisi daya dan batere. Industri manufaktur dalam negeri juga akan dilibatkan untuk ketersediaan komponen tersebut.
Jumlah total kendaraan bermotor di Indonesia tahun 2016 sekitar 129 juta unit. Jika laju peningkatan tetap maka tahun ini akan mencapai sekitar 140 juta kendaraan bermotor.
Angin segar berhembus ketika tahun 2017 Presiden Jokowi menegaskan, harus ada percepatan pembuatan kendaraan listrik. Tingkat urgensi mulai terasa ketika harga minyak bumi di tingkat global tak lagi dapat diprediksi sementara Indonesia merupakan negara net importir untuk BBM. Subsidi impor BBM sekitar Rp 1,3 triliun per bulan.
Insentif rendah karbon
Ketika isu penurunan emisi karbon muncul maka banyak euforia menggunakan kata ramah lingkungan. Ketika digunakan istilah “ramah lingkungan” maka seolah semua pengurangan emisi GRK tercakup di dalamnya, padahal pengurangannya bisa dikatakan tidak signifikan, misalnya dalam kebijakan kendaraan rendah emisi dengan harga murah (low cost green car-LCGC).
Kebijakan kendaraan rendah emisi karbon (low carbon emission vehicle-LCEV) saat ini telah berlangsung dengan tujuan peningkatan efisiensi pembakaran. Hingga tahun 2020 target ditetapkan pada efisiensi BBM 5 liter/100 km dan tingkat emisi 118gramCO2e/km dan angka target itu meningkat menjadi 3,57 L/100 km dan 85 grCO2e/km pada tahun 2025.
KOMPAS/PRIYOMBODO–Deretan mobil listrik Toyota Prius jenis hybrid dan plug-in hybrid yang akan diserahkan kepada enam perguruan tinggi negeri oleh Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto dan Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia Warih Andang Tjahjono di Kementerian Perindustrian Jakarta, Rabu (4/7/2018).
Namun, kebijakan tersebut dari sisi lingkungan tidak akan secara signifikan berkontribusi pada penurunan emisi GRK, karena jumlah kendaraan bermotor dari waktu ke waktu juga terus meningkat. Hal lain, dari sisi perilaku dan manajemen lalu lintas, justru terdapat situasi yang kontraproduktif. Perilaku pribadi yang sering kita temui adalah: orang menyalakan mesin mobil dalam keadaan berhenti karena ingin menikmati sejuknya AC.
Selain itu, manajemen lalu lintas yang bertujuan mengurai kemacetan justru meningkatkan emisi. Di berbagai kota besar terutama, arus lalu lintas banyak dijadikan searah. Pengaturan seperti ini jelas memperpanjang jarak tempuh kendaraan. Penambahan jaraknya pun kadang-kadang signifikan karena jarak tempuh menjadi dua kali lipat dari seharusnya jika lalu lintas dua arah.
Penekanan kebijakan kendaraan listrik, tegas Puput, seharusnya dipusatkan pada upaya penurunan emisi GRK. “Jadi pemberian insentif atau disinsentif didasarkan pada besar besaran emisi karbon, bukan pada soal itu barang mewah atau bukan. Penentuan barang mewah atau bukan barang mewah juga masih salah kaprah. Sedan selalu diperlakukan sebagai barang mewah padahal teknologinya dan kelengkapannya biasa saja,” kata Puput.
Yang harus ditekankan, tegas Puput, adalah pada penurunan emisi karbon kendaraan. “Sehingga kendaraan dengan pengurangan emisi karbon, dia mendapatkan insentif. Misalnya, yang emisi karbonnya di bawah 118 grCO2e/km itu diberi insentif secara proporsional. Mobil dengan emisi di atas standar itu, mendapat disinsentif berupa pajak karbon, sehingga harga mobil rendah emisi akan lebih murah harganya dibanding yang tinggi emisi karbonnya. Yang rendah karbon justru bisa mendapat subsidi dari penerimaan pajak karbon tersebut,” jelasnya.
“Kalau yang diterapkan adalah PPNBM, orang tidak akan peduli. Yang penting dia suka meskipun itu mahal tapi itu mewah, dia akan tetap beli,” tambahnya.
Sementara dengan mobil listrik, emisi GRK dari kendaraan menjadi nol, kecuali sumber listrik masih berbasis bahan bakar fosil. Kebijakan pemerintah dalam area ini berpotensi kontraproduktif. Sebab emisi gas karbon tak hanya di sumber listrik namun juga terjadi pada proses produksi yang berawal dari penambangan batu bara hingga proses produksi dan distribusinya yang masuk dalam sektor IPPU pada pengurangan emisi GRK dalam NDC.
Kali ini “made by”
Penasihat senior Kementerian Koordinator Maritim Satryo Soemantri Brodjonegoro menyoroti peluang Indonesia dalam mengembangkan industri otomotif kendaraan listrik. Menurut dia saat ini merupakan saat yang tepat karena Indonesia amat perlu punya industri yang berdaya saing.
“Mengapa perlu kita memiliki industri kendaraan listrik? Karena di situlah Indonesia bisa bersaing dengan negara lain karena memulai dari basis yang sama. Kalau di mobil berbasis combustion engine kita akan kalah karena tidak mampu mengembangkan industri mesin itu,” ujar Satryo yang juga menjadi pembina pada Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia.
KOMPAS/PRIYOMBODO–Mobil listrik Toyota Prius jenis hybrid dan Plug-in Hybrid yang akan diserahkan kepada enam perguruan tinggi negeri oleh Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto dan Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Warih Andang Tjahjono di Kementerian Perindustrian Jakarta, Rabu (4/7/2018). Kementerian Perindustrian menggandeng Toyota Indonesia dan enam perguruan tinggi negeri untuk bersama melakukan riset dan studi secara komprehensif tentang pentahapan teknologi kendaraan listrik di dalam negeri.
Komponen mobil listrik amat sederhana dan sudah bisa dikembangkan sendiri oleh orang-orang Indonesia. Saat ini ada lima perguruan tinggi mengembangkan mobil listrik, yaitu UI, ITB, UGM, UNS, dan ITS. Bahkan pada perkembangan terakhir, ITS bersama Universitas Budi Luhur mengembangkan mobil listrik dan berencana ambil bagian pada Reli Dakar di Peru awal tahun depan.
“Baterai sudah kita kembangkan, motor listrik banyak yang mengembangkan, juga controller, pemasok daya (charger), serta infrastruktur,” kata Satryo.
Untuk memacu pengembangan di dunia industri, insentif juga dibutuhkan. “Kapasitas nasional untuk industri ini bisa dikembangkan melalui insentif. Beri insentif bagi pengembang kendaraan listrik bermerek nasional. Harus ‘made by’ – dibuat oleh, bukan lagi ‘made in’-dibuat di. Sebab, property right menjadi milik kita kalau ‘made by’,” tegas Satryo. Selain itu, tambahnya, industri otomotif akan menyerap tenaga kerja lokal secara signifikan.
Spesifikasi bisa dibuat beragam disesuaikan dengan kondisi wilayah, misalnya kendaraan yang dibutuhkan di daerah-daerah terpencil atau kendaraan khusus yang dibutuhkan di bandara, pelabuhan atau tempat-tempat spesifik lainnya.
“Sahamnya kalau ada saham luar, 51 persen harus saham Indonesia, dan mobil listrik juga bisa menjadi simbol kedaulatan negara bukan untuk tujuan lingkungan semata,” tegas Satryo.
Komponen Motor Listrik Gesits Karya Peneliti ITS
Dia mengungkapkan, sebenarnya Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) saat ini belum produksi massal mobil listrik karena terkendala oleh kebijakan. “Kalau ada volume (permintaan), kami siap. Kalau misalnya semua pemerintah pakai mobil listrik, volume akan cukup,” katanya.
Utusan Khusus Presiden Rachmat Witoelar sejalan dengan gagasan Satryo. Sebagai langkah awal, ujarnya, kebijakan tersebut bisa diterapkan dulu di kalangan instansi pemerintah. “Jumlahnya kan banyak. Lagi pula itu bisa menjadi pendorong penggunaan secara meluas kendaraan listrik,” kata Rachmat.
Jumlah kendaraan di instansi pemerintah pun tak kecil jumlahnya. “Kalau kita tidak segera berubah akan terlambat nanti karena sekarang pun kita sudah termasuk terlambat,” ujarnya.
Menurut Satryo, bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengadakan forum diskusi terfokus dan membuat surat ke presiden yang isinya desakan agar mengembangkan kendaraan bermotor listrik yang bermerek nasional, setidaknya tahun 2020 sudah memiliki target produksi massal. Persoalannya, hingga awal bulan ini pun peraturan presiden untuk mobil listrik belum juga tuntas.
KOMPAS/RIZA FATHONI–Roelof Lamberts, President & CEO Mercedes-Benz Distribution Indonesia (kiri); dan Guenter Haefle, President & CEO PT Mercedes-Benz Indonesia mencolokkkan kabel pengecas ke buritan sedan Mercedes-Benz E 350e PHEV di privilege parking Mercedes-Benz EQ Power di Plaza Indonesia, Jakarta Pusat, Senin (24/9/2018).
Rachmat secara tegas mengatakan, pemerintah tak bisa lagi menunda kebijakan mobil rendah emisi. “Maka keputusan harus tegas, dari Presiden karena selama ini yang berdiskusi antarmenteri. Kebijakan yang diambil barus berbasis sains. Selain itu juga harus melihat kecenderungan global. Indonesia harus jadi contoh, karena Indonesia emisi karbonnya termasuk yang tinggi,” katanya.
Dia menambahkan, “Pada intinya, pengurangan emisi karbon bukan hanya di tingkat pemakai (kendaraan bermotor) saja namun juga harus dari sumbernya. Percuma kalau pemakai menggunakan listrik yang sumbernya dari energi fosil,” katanya.
Kita nampaknya harus menanti hingga akhir tahun menunggu keluarnya kebijakan presiden tentang mobil listrik. Last but not least, hal mobil listrik ini tidak hanya menjadi urusan Kementerian Perindustrian. Masih ada enam kementerian lain yang terlibat dan ganjalan utama masih tetap koordinasi.
Hingga saat ini Kementerian Lingkungan HIdup dan Kehutanan masih ditunggu kebijakannya terkait kendaraan bermotor listrik sebagai sasaran tertinggi kendaraan rendah emisi karbon.
Semoga proses menguak jalan menuju pemakaian kendaraan rendah emisi dan mobil listrik ini tidak jauh, tidak terjal, dan tidak berkelok-kelok…
KOMPAS/DAHONO FITRIANTO–BMW i8 saat dicas di rumah dengan daya listrik 2.200 VA. Butuh waktu 6-7 jam untuk mengecas penuh baterai dari posisi baterai kosong.
–Brigitta Isworo, wartawan senior Kompas
Sumber: Kompas, 15 November 2018