Kisah kuno di dalam mitos yang jauh dari rasionalitas kekinian tetap memiliki fungsi sebagai sumber inspirasi kreatif untuk menambah hiburan masyarakat. Salah satunya, mitos seekor naga menelan matahari yang diadaptasi dari budaya Tiongkok. Mitos ini akan menambah daya pikat gerhana matahari total yang dapat disaksikan pada 9 Maret 2016 di Palembang, Sumatera Selatan.
Sungai Musi di Palembang menjadi media untuk mitos keluarnya sang naga ketika hendak menelan matahari. Setelah berhasil menelan matahari, dalam kegelapan total, masyarakat menakut-nakuti naga dengan membunyikan petasan dan bebunyian lainnya sehingga naga pun mengeluarkan kembali matahari sampai langit terang kembali,” kata Henky Honggoh, pemerhati budaya Tionghoa di Palembang, Jumat (5/2).
Pemerintah dan masyarakat Palembang mengemas mitos ini menjadi salah satu acara utama Festival Gerhana Matahari Total pada 9 Maret 2016. Sebuah tarian barongsai sebagai naga dengan panjang 18 meter dikisahkan keluar dari Sungai Musi dan bergerak menelan matahari.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dentuman musik dan bunyi petasan digemakan untuk menakut-nakuti naga supaya segera mengeluarkan kembali matahari. Naga pun akhirnya mengeluarkan kembali matahari.
Simbol suci
Hengky mengatakan, naga merupakan simbol suci bagi masyarakat Tionghoa dan banyak cerita yang berkaitan dengannya. Naga memiliki makna kehidupan dan keberuntungan bagi masyarakat Tionghoa. Beragam simbol naga ada di segala aspek kehidupan masyarakat Tionghoa.
“Di dalam mitos naga memakan matahari itu memberikan makna yang buruk karena sinar matahari menghilang yang diartikan menjadi sebuah bencana. Namun, dengan membunyikan petasan dan bebunyian lainnya menjadikan simbol kekuatan lain dari manusia yang mampu mengusir kekuatan yang jahat itu,” ujarnya.
Perihal naga yang murka diwujudkan dengan keinginan menelan matahari, menurut Hengky, tidak diketahui asal usul kejadian yang melatarbelakangi kemurkaan naga. Namun, kemurkaan naga yang diyakini sebagai pelindung dan segala hal yang baik itu menggambarkan, sosok pemilik aspek segala kebaikan pun tetap bisa memiliki aspek kemurkaan.
Kemurkaan dari sosok yang baik di dalam pewayangan, misalnya, disebut sebagai tiwikrama. Tokoh baik yang melakukan tiwikrama, misalnya, Yudhistira dan Kresna. Tiwikrama sebagai wujud murka, bukan angkara murka demi memenuhi nafsu semata.
Naga dalam mitologi Tiongkok dikisahkan menguasai tiga dunia, yaitu air, darat, dan udara, dengan sembilan karakter pada sosok fisiknya. Naga memiliki kepala seperti unta, bersisik seperti ikan, bertanduk seperti rusa, bermata seperti siluman, bertelinga seperti lembu, memiliki leher seperti ular, memiliki lapisan perut seperti tiram, memiliki telapak seperti telapak harimau, dan memiliki cakar seperti rajawali.
Ada yang mengisahkan, naga memiliki 117 sisik dengan 81 di antaranya memiliki karakter Yang atau positif dan 36 lainnya memiliki karakter Yin atau negatif. Murka adalah bagian dari karakter negatif ini.
Dari kutipan literatur Tiongkok, keberadaan naga disebutkan menjadi empat jenis, meliputi sebagai Naga Langit (Tien Lung) yang bertugas menjaga istana para dewa. Naga Spiritual (Shen Lung) berkuasa atas hujan dan angin. Naga Bumi (Ti Lung) berkuasa atas air dan permukaan bumi. Naga Dunia Bawah Bumi (Fucang Lung) bertugas menjaga harta di dalam bumi.
1.000 lampion dan balon
Sebagai tanda kegembiraan dan awal kehidupan yang baru, setelah adanya kegelapan akibat gerhana matahari total di Palembang, akan diterbangkan 1.000 lampion dan 1.000 balon. “Ini sebagai bentuk kegembiraan setelah matahari bersinar kembali dan kehidupan baru pun dimulai,” kata Hengky.
Pergelaran Festival Gerhana Matahari Total di Palembang akan dilangsungkan di Benteng Kuto Besak Palembang. Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Sumatera Selatan Kurmin Halim mengatakan, mitos naga menelan matahari yang dipertunjukkan itu nanti memang telah ada sejak zaman dahulu.
“Kisah ini diracik untuk memberikan kesan spektakuler pada gerhana matahari 9 Maret 2016,” kata Kurmin.
Mitos naga, menurut Kurmin, juga hadir sebagai pelindung dan penolong. Budaya yang terkait mitologi naga di Palembang ini terjadi ketika pada masa lalu terdapat migrasi penduduk Tiongkok ke Palembang.
Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Sumatera Selatan Farida R Wargadalem mengatakan, sampai saat ini belum ditemukan arsip atau bukti tertulis yang menunjukkan awal mulanya diperoleh dan dikembangkannya mitos naga memakan matahari di Palembang.
“Kita bisa menilik dari sejarah keberadaan warga Tionghoa, mulai dari situs permukiman hingga artefak keramik yang ada di Karang Agung Tengah, Musi Banyuasin,” kata Farida.
Situs budaya Tionghoa di Karang Agung Tengah diperkirakan ada sejak abad keempat Masehi. Ini berdasarkan catatan I Tsing, peristiwa kedatangan Laksamana Chen Ho, dan pembangunan tambang timah di masa Kesultanan Palembang, membuktikan warga Tionghoa sudah ada di Palembang sejak lama.
“Festival Gerhana Matahari Total berdekatan dengan perayaan Tahun Baru Imlek. Kami menggunakan mitos naga untuk menambah hiburan bagi wisatawan yang datang ke Palembang untuk menyaksikan gerhana matahari total,” kata Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Sumatera Selatan Irene Camelyn Sinaga.
Menurut Irene, selain tarian barongsai yang mengilustrasikan naga memakan matahari untuk peristiwa gerhana matahari total, juga digelar pertunjukan lain. Festival Ogoh-ogoh juga akan digelar untuk menyambut Hari Raya Nyepi, bertepatan dengan peristiwa gerhana matahari total, 9 Maret 2016.
Agenda Glowing Night Run, pertunjukan supranatural, dan perlombaan fotografi juga digelar untuk meramaikan pariwisata berkaitan gerhana matahari total tahun ini di Palembang.
Memahami semesta
Mitos naga menelan matahari untuk mengisahkan peristiwa gerhana matahari total sesuai budaya Tiongkok ini ternyata tercatat sejak sekitar 4.000 tahun silam. Pada 22 Oktober tahun 2134 sebelum Masehi, daratan Tiongkok pernah disinggahi gerhana matahari total.
Akibat peristiwa tersebut, berkembanglah mitos adanya naga murka dan berupaya melahap matahari. Masyarakat membunyikan suara-suara keras seperti petasan. Para prajurit Tiongkok kuno dikerahkan untuk menembakkan meriam ke arah matahari pada saat gerhana matahari berlangsung. Tindakan itu dilakukan agar matahari kembali bersinar.
Kisah kuno naga menelan matahari yang kini terkesan jauh dari rasionalitas itu dibingkai sesuai zaman untuk memahami keadaan semesta yang sangat jauh dari jangkauan kemampuan pikiran manusia. “Mitos terlahir salah satunya sebagai usaha manusia memahami peristiwa semesta,” kata Dwi Woro Retno Mastuti, pengajar mitologi pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Mitologi dipergunakan para etnolog dan antropolog untuk memahami berbagai ritual dan konsepsi dasar kepercayaan masyarakat. Di dalam mitologi ditemukan simbol-simbol. Kisah dijalin dengan merangkaikan simbol.
Di era modern, kisah dan simbol itu masih memiliki daya pikat untuk menjadi sumber inspirasi dan kreasi hiburan terkini. Mitos tidak akan lekang oleh waktu.–NAWA TUNGGAL/RHAMA PURNA JATI
————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Februari 2016, di halaman 24 dengan judul “Mitos Penambah Daya Pikat Gerhana”.
——————-
Mutu Manikam Incaran Pemburu
Selama proses gerhana matahari, sebelum dan sesudah fase total, penampakan cahaya matahari mengalami perubahan bentuk nan menawan. Itu jadi incaran pemburu gerhana, fotografer, dan ahli fisika Matahari. Selain langka, keindahannya juga kerap membuat pemburu lupa tugasnya.
Sejak fase gerhana matahari sebagian dimulai, saat piringan Bulan menyentuh piringan luar Matahari, bulatan cahaya matahari berubah perlahan jadi sabit. Makin lama, sabit matahari tampak kian tipis hingga terjadi gerhana matahari total.
Sabit matahari itu terulang lagi saat totalitas gerhana berakhir hingga fase gerhana matahari sebagian berakhir. Bedanya, arah sabit matahari sebelum dan sesudah fase total saling berlawanan arah. Karena Indonesia di khatulistiwa, bagian dalam sabit matahari sebelum totalitas gerhana menghadap bawah. Setelah fase total, sabit mengarah ke atas.
Proses perubahan sabit matahari sebelum dan sesudah fase total gerhana masing-masing butuh lebih dari 1 jam. “Untuk memotret sabit matahari sepanjang gerhana secara teratur, kamera harus bisa mengikuti gerak semu Matahari,” kata peneliti Pusat Sains Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Emanuel Sungging Mumpuni, Minggu (7/2).
Saat fase sabit matahari sebelum totalitas hampir berakhir atau menjelang gerhana matahari total, muncul untaian manik mutiara cahaya matahari dari pinggir piringan Bulan yang menutupi piringan Matahari.
Manik-manik disebut Baily’s beads itu terbentuk karena permukaan piringan Bulan tak rata, ada gunung dan kawah di permukaan. Sinar matahari yang menerobos kawah-kawah Bulan itu membentuk manik-manik cahaya matahari.
Saat untaian mutiara cahaya sesaat itu hampir berakhir dan cahaya matahari nyaris terhalang piringan Bulan, muncul cahaya dari bagian dalam korona (atmosfer paling atas Matahari). Cahaya korona mengelilingi piringan Bulan membentuk pola cahaya dinamai cincin berlian (diamond ring).
“Di bagian terakhir terbentuk sabit matahari ada pendaran cahaya korona yang mencelat sehingga efeknya seperti berlian bersinar,” ujarnya.
Proses munculnya manik mutiara hingga cincin berlian itu beberapa detik jelang totalitas gerhana. Jadi, pemotret kedua efek cahaya itu biasanya fokus mengabadikannya karena sesaat sesudah itu muncul cahaya korona menakjubkan.
Mahkota
Setelah fase gerhana matahari total dimulai, suasana akan jadi gelap. Setelah sinar matahari hilang sementara waktu, tampak korona matahari nan redup. Dialah aktor utama paling dinanti selama gerhana.
Dinamakan korona, dalam bahasa Latin berarti ‘mahkota’, karena penampakan bagai mahkota cahaya selubungi piringan Bulan. Korona tampak saat gerhana matahari total karena kecerlangannya seperseratus ribu sampai sepersejuta dari langit.
Ahli fisika matahari yang juga Ketua Program Studi Magister dan Doktor Astronomi Institut Teknologi Bandung, Dhani Herdiwijaya, mengatakan, korona jadi misteri bagi peneliti. Meski redup dan jauh dari permukaan Matahari yang memancarkan cahaya atau fotosfer, suhu korona bisa jutaan derajat celsius. Padahal, suhu fotosfer hanya 5.500 derajat celsius.
“Api dari api unggun, makin jauh kian dingin. Namun, korona Matahari sebaliknya, makin jauh dari permukaan Matahari kian panas,” ucapnya.
Suhu jutaan derajat korona itu bukan dari kerapatan partikel di korona yang renggang dan bertahap berubah jadi aliran partikel yang disebut angin matahari. Itu diperoleh dari konversi energi magnetik jadi energi panas. Makin banyak jumlah bintik matahari di permukaan Matahari, kian besar energi magnetik terbentuk dan dikonversi. Mekanisme detail konversi energi itu jadi misteri.
Selain itu, penampakan korona setiap gerhana tak sama. Wujud korona dipengaruhi aktivitas Matahari yang diukur dari jumlah bintik matahari di permukaan. Saat aktivitas Matahari maksimum atau banyak bintik matahari, korona terpolarisasi atau terkumpul di beberapa bagian hingga berbentuk mirip helm tentara Romawi.
“Pola itu terbentuk karena medan magnetik besar ditimbulkan bintik matahari,” kata Dhani. Panjang korona terpolarisasi 2-3 kali radius Matahari.
Saat jumlah bintik matahari sedikit, korona tampak simetris, tersebar merata di permukaan piringan Bulan. Itu diperkirakan tampak pada gerhana matahari 9 Maret 2016. Kini, aktivitas Matahari turun karena baru mencapai puncak pada 2013. Siklus aktivitas Matahari itu rata-rata berulang setiap 11 tahun.
Kemajuan teknologi membuat pengamatan korona kini bisa pada panjang gelombang sinar-X dan sinar ultraviolet dengan teleskop luar angkasa. Namun, pengamatan korona pada panjang gelombang visual saat gerhana matahari tetap menarik karena citra korona berbagai panjang gelombang dari daerah korona berbeda.
Hal itu membuat magis gerhana matahari total tak pernah lekang oleh zaman. Ia memukau dan diincar pemburu gerhana.—M ZAID WAHYUDI
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Februari 2016, di halaman 14 dengan judul “Mutu Manikam Incaran Pemburu”.
——-
Tak Semua Daerah Siap Menyambut Kedatangan Wisatawan
Sebulan menjelang gerhana matahari total, 9 Maret 2016, sejumlah daerah yang dilintasi jalur totalitas gerhana matahari total mulai bersiap menyambut kedatangan turis serta peneliti dari dalam dan luar negeri. Keperluan akomodasi, transportasi, hingga telekomunikasi untuk mereka disiapkan. Namun, kesiapan itu belum merata di semua daerah.
Palembang (Sumatera Selatan), sejumlah kabupaten di Kepulauan Bangka Belitung (Babel), Palangkaraya (Kalimantan Tengah), Balikpapan (Kalimantan Timur), Palu (Sulawesi Tengah), dan Ternate (Maluku Utara) adalah sejumlah daerah yang memiliki cukup kamar hotel untuk menampung lonjakan jumlah wisatawan selama gerhana matahari total (GMT), 9 Maret nanti.
“Jumlah kamar hotel di 12 provinsi yang dilintasi jalur GMT cukup, bahkan beberapa di antaranya berlebih,” kata Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani, Sabtu (6/2), di Jakarta.
Sejumlah pemerintah daerah sudah mulai mendata jumlah wisatawan yang akan datang menyaksikan GMT di daerah mereka. Kota Palu diperkirakan kedatangan 5.000 wisatawan asing, Pulau Bangka dikunjungi 5.000 turis dalam dan luar negeri negeri, serta Ternate akan didatangi sekitar 2.000 turis. Data itu diperoleh berdasarkan data agen wisata yang melapor ke pemerintah daerah.
“Hotel kecil dan penginapan disyaratkan memiliki fasilitas standar yang baik,” kata Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sulteng Siti Norma Mardjanu.
Di Ternate, hingga awal Februari sudah terkonfirmasi kedatangan 1.700 turis asing sehingga diperkirakan turis asing yang datang bisa lebih dari 2.000 orang. Di kota yang bisa menikmati totalitas gerhana selama 2 menit 38 detik itu para turis akan ditampung di 1.507 kamar hotel yang ada.
“Jika hotel kurang, sudah disiapkan rumah warga (homestay) yang akan distandardisasi harganya,” kata Ketua Panitia Ternate Solar Eclipse M Tauhid Soleman.
Di Palangkaraya, yang akan mengalami totalitas gerhana selama 2 menit 30 detik, terdapat 46 hotel dengan 1.722 kamar. Menurut Wakil Ketua PHRI Kalteng Romy Rasad, sejak awal Februari, pesanan hotel untuk 9 Maret sudah mencapai 25-30 persen. Wisatawan yang sudah memesan antara lain berasal dari Jerman, Amerika Serikat, Jepang, Inggris, dan Belanda.
Jumlah hotel yang cukup banyak terdapat di Balikpapan yang memiliki 76 hotel dengan 5.361 kamar. Di kota ini diperkirakan tidak akan terjadi lonjakan wisatawan karena pendeknya waktu totalitas gerhana yang terjadi, yaitu 1 menit 1 detik.
“Okupansi hotel di Balikpapan menjelang dan saat 9 Maret diperkirakan maksimal 70 persen,” kata Ketua PHRI Balikpapan Yulidar Gani.
Alternatif
Selain rumah warga, hotel di kota-kota terdekat, hotel terapung, hingga lapangan terbuka juga disiapkan.
Kepala Dinas Pariwisata Kepulauan Babel KA Tajudin mengatakan, hotel terapung di provinsi itu akan menggunakan dua Kapal Pelni yang ditempatkan di Tanjung Batu, Belitung; dan Manggar, Belitung Timur. Sementara itu, lapangan berkemah disiapkan di sejumlah bukit di Kabupaten Belitung yang bisa digunakan peneliti dan astronom amatir mengamati GMT.
Menghadapi lonjakan jumlah wisatawan, lanjut Tajudin, pemerintah sudah mengirimkan surat edaran ke pengelola penginapan, rumah makan, dan jasa pariwisata lain agar tidak menaikkan harga selama puncak kunjungan pelancong menikmati GMT.
“Jangan sampai wisatawan jera dan tak mau datang lagi,” kata Tajudin.
Upaya menyiapkan rumah warga sebagai hunian alternatif wisatawan juga dilakukan Pemerintah Kabupaten Poso, Sulteng. Jumlah hotel di daerah itu tidak lebih dari 10 hotel.
Transportasi
Masalah lain yang tak kalah pelik menghadapi lonjakan wisatawan adalah transportasi, baik dari Jakarta menuju kota-kota besar yang dilintasi jalur GMT maupun transportasi di dalam kota selama kunjungan berlangsung.
Direktur Utama PT Garuda Indonesia Arif Wibowo mengatakan belum menghitung saksama berapa kenaikan penumpang yang akan terjadi selama peristiwa GMT. “Jika terjadi lonjakan penumpang, Garuda siap menambah kapasitas ke sejumlah tujuan pengamatan GMT,” katanya.
Penambahan pesawat masih memungkinkan selama bandar udara asal dan tujuan memadai. Bandara di 12 provinsi GMT masih bisa menambah jadwal kedatangan dan keberangkatan pesawat. Persoalannya, tambahan penerbangan itu akan sulit dilakukan di bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, yang menjadi bandara asal turis karena padatnya jadwal penerbangan.
Meski belum ada penambahan, harga tiket pesawat ke sejumlah kota tujuan GMT sudah melambung tinggi dan menimbulkan keluhan wisatawan. “Itulah hukum pasar. Kalau permintaan tinggi, tentu harga akan naik,” kata Ketua Umum Asosiasi Biro Perjalanan Wisata Indonesia Asnawi Bahar.
Maba mengkhawatirkan
Namun, persiapan paling mengkhawatirkan justru terjadi di Maba, ibu kota Kabupaten Halmahera Timur. Padahal, kota kecil itu diperkirakan akan menjadi tujuan banyak pemburu GMT dari dalam dan luar negeri. Hal itu karena Maba menjadi daratan terakhir yang dilalui jalur GMT dan memiliki waktu totalitas gerhana terlama di Indonesia, yaitu 3 menit 20 detik.
Maba hanya memiliki empat hotel dengan 50 kamar. Padahal, akan ada 200 wisatawan asing yang berkunjung ke sana. Alternatif penginapan ada di Buli yang berjarak 71 kilometer atau bisa ditempuh 1,5 jam dari Maba.
Akses menuju Maba juga sulit. Hanya tersedia penerbangan Ternate-Buli sekali dalam sehari dengan kapasitas 72 orang. Tiket pesawat rute tersebut untuk 6-8 Maret sudah habis dipesan.
Alternatif lain adalah melalui jalur laut dan darat. Dari Ternate, pelancong harus naik kapal cepat terlebih dahulu menuju Sofifi dengan waktu tempuh 45 menit. Selanjutnya, mereka dapat menggunakan transportasi darat Sofifi-Maba sejauh 271 km yang harus ditempuh 5-6 jam karena jalan yang rusak dan berkelok.
“Belum ada persiapan khusus menyambut GMT karena tidak ada anggaran,” kata Kepala Bidang Pariwisata Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Haltim Stephanus Tongo Tongo.
Hambatan lain yang masih menjadi masalah di banyak daerah adalah telekomunikasi. Di sejumlah lokasi pengamatan GMT di Babel, sinyal telepon seluler tidak stabil, bahkan sering kali putus. Kondisi itu juga terjadi di Maba. Terbatasnya kapasitas jaringan membuat akses data sulit dilakukan.
Akses telekomunikasi yang cukup baik terdapat di kota-kota besar. Di Palangkaraya, kapasitas saluran datanya mencapai 10 gigabite (GB) dengan beban puncak selama ini 5,4 GB. “Artinya, akses data internet bagi wisatawan GMT masih memadai,” kata Manajer Sekretariat PT Telkom Kalteng Dwi Anggara.
Kebutuhan data cukup besar kemungkinan akan terjadi pada sejumlah peneliti dan lembaga yang akan melakukan siaran langsung atau livestreaming GMT. Untuk itu, penambahan kapasitas jaringan akan dilakukan di lokasi-lokasi pengamatan yang jauh dari kota, seperti di Desa Karola Poso dan Puncak Mantatimali, Sigi, Sulteng.(ARN/RAM/RAZ/DKA/PRA/VDL/FRN)
—————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Februari 2016, di halaman 24 dengan judul “Tak Semua Daerah Siap Menyambut Kedatangan Wisatawan”.
——
Tradisi Ilmiah; Memori Kelam GMT 1983 Jangan Sampai Terulang
Gerhana matahari total yang melintasi Pulau Jawa, Sabtu, 11 Juni 1983, merupakan kenangan pahit bangsa Indonesia. Saat banyak peneliti dan wisatawan asing ke Indonesia, masyarakat justru terkurung dalam rumah dan kolong meja yang gelap.
Sebagian besar orang yang tinggal di Pulau Jawa pada masa itu tentu mengalaminya. Sejak pagi, aparat keamanan dan pemerintah desa berkeliling mengingatkan warga agar menutup semua jendela, lubang angin, dan genteng kaca untuk menghalangi sinar matahari masuk rumah. Dengan alasan cahaya gerhana matahari bisa menyebabkan buta, pemerintah memaksa rakyatnya diam dalam rumah.
Suasana rumah yang gelap di pagi hari itu ternyata belum cukup. Anak-anak diminta bersembunyi di kolong meja atau dalam lemari karena dianggap cahaya gerhana matahari lebih berbahaya bagi mereka dibandingkan bagi orang dewasa. Sesekali, mereka diizinkan melihat tayangan suasana gerhana matahari yang disiarkan Televisi Republik Indonesia (TVRI) langsung dari Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.
Padahal, “Gerhana matahari total (GMT) 1983 memenuhi syarat untuk diamati dengan biaya mahal karena durasi totalitasnya yang panjang, melewati daerah kering di musim kemarau, serta dilingkupi ruang budaya yang terkenal, seperti Borobudur dan Bali,” kata Bambang Hidayat, Kepala Observatorium Bosscha Institut Teknologi Bandung (ITB) saat itu.
Lama fase total gerhana 1983 di wilayah Indonesia mencapai 3-5 menit, bandingkan dengan waktu totalitas GMT 9 Maret 2016 yang melintasi Sumatera hingga Halmahera yang hanya 1,5-3 menit. Durasi totalitas yang panjang itu terjadi karena puncak gerhana berlangsung di Laut Jawa, di utara sisi timur Pulau Madura. Di titik puncak itu, gerhana terjadi tepat tengah hari selama 5 menit 11 detik.
GMT 1983 juga menjadi gerhana penting bagi masyarakat Jawa karena hingga 2100, Jawa tidak akan pernah dilintasi gerhana total lagi. Data Kantor Hidrografi Inggris (UKHO) menyebutkan, selama 1500-2100, hanya ada tiga GMT yang melintasi tengah Jawa, yaitu 7 April 1502, 24 Juli 1683, dan 11 Juni 1983.
Selain itu, GMT 1983 menjadi gerhana dengan totalitas terlama yang melintasi Indonesia selama seabad Indonesia merdeka. GMT dengan totalitas hampir sama akan terjadi pada 22 Juli 2028, tetapi wilayah Indonesia yang dilintasi jalur gerhana itu hanya perairan Samudra Pasifik di selatan Jawa dan Nusa Tenggara.
Pengamatan
Di tahun 1983, pemerintah menyediakan kawasan Pantai Tanjung Kodok di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, sebagai tempat pengamatan resmi gerhana. Namun, penjagaan aparat keamanan di sana sangat ketat. Ada sekitar 1.000 astronom dari sejumlah negara datang dengan berbagai peralatan canggih. Hasilnya, GMT 1983 diakui sebagai yang terindah yang pernah disaksikan para ahli (Kompas, 12 Juni 1983).
Di luar daerah itu, masyarakat dilarang mengamati Matahari, termasuk bagi mahasiswa dan dosen astronomi. Pelarangan itulah yang dialami Chatief Kunjaya, Rektor Universitas Ma Chung Malang, Jatim, yang saat itu mahasiswa tingkat III Astronomi ITB.
Bersama mahasiswa lain, dosen Astronomi ITB, Winardi Sutantyo (alm); seorang astronom asal Cekoslowakia (sekarang terpecah menjadi Ceko dan Slowakia), dan pemandu, Chatief mengamati gerhana di Lapangan (sekarang stadion) Manahan Solo. Lapangan dipilih karena memiliki medan pandang ke arah langit yang luas.
“Saat hendak mencoba alat yang sudah dipasang dari pagi hari, datang petugas pertahanan sipil (hansip) yang menegaskan tidak boleh ada aktivitas di luar rumah selama gerhana berlangsung,” kenangnya. Saat itu, gerhana sebagian yang mengawali gerhana total berlangsung sekitar pukul 10.00.
Meski sudah berusaha menjelaskan bahwa mereka adalah astronom yang pekerjaannya mengamati benda langit, petugas hansip itu tetap tidak mau menerima karena instruksi pemerintah daerah menegaskan semua orang harus berada di dalam rumah, mengamati gerhana dari televisi.
Karena habis waktu berdebat dan waktu gerhana semakin dekat, para astronom memilih mengalah dan mencari lokasi baru. Dalam waktu singkat, diperoleh gedung tiga lantai yang bagian atasnya datar di dekat Lapangan Manahan. Persiapan cepat pun dilakukan. Alhasil, mereka masih bisa mengamati seluruh proses gerhana.
“Dari atas gedung, suasana Solo seperti kota mati. Tidak ada orang atau kendaraan lalu lalang di dalam kota. Suasana hening, hanya sayup-sayup suara kentongan petugas hansip yang terdengar,” ujarnya.
Meski gerhana bisa diamati, rasa malu dirasakan Chatief kepada astronom Cekoslowakia yang menyertainya. Saat orang asing datang jauh-jauh ke Indonesia menyaksikan gerhana, masyarakat justru diharuskan bersembunyi dalam rumah.
Namun, intensitas pelarangan itu berbeda di tiap daerah. Wicak Soegijoko (49) yang saat itu kelas II sekolah menengah atas bisa mengamati gerhana di sebuah lapangan di Cilacap, Jateng, bersama keluarganya. Meski didatangi tentara, ayahnya yang dosen mampu meyakinkan tentara itu bahwa mereka termasuk kelompok yang diperbolehkan mengamati gerhana untuk tujuan penelitian.
Kebenaran ilmiah
Meski Presiden Soeharto melalui Menteri Penerangan Harmoko ketika itu melarang masyarakat mengamati langsung gerhana agar terhindar dari kebutaan, sejumlah astronom sebenarnya telah berusaha mempertahankan kebenaran ilmiah yang diyakininya, menjelaskan fenomena gerhana dan cara aman mengamatinya dengan kacamata gerhana.
Namun, pemerintah bersikukuh dan terus menyebarkan seruan tak masuk akalnya. “Itu pembodohan karena ancaman kebutaan saat menyaksikan gerhana sebenarnya bisa diakali,” ujar Bambang yang masa itu menjabat Wakil Ketua Komite Nasional Gerhana Matahari.
Melihat Matahari secara langsung, baik saat gerhana atau tidak, adalah tindakan berbahaya. Upaya itu mengakibatkan terjadi pemusatan cahaya oleh lensa mata hingga memicu terbakarnya retina. Namun, dampak itu umumnya tidak langsung, perlahan, dan menahun. Itulah sebabnya, orang-orang yang bekerja di luar ruang, seperti petani dan nelayan, lebih rentan terkena katarak.
Upaya menjelaskan fenomena gerhana itu sebenarnya didukung para ilmuwan lain, tetapi mereka memilih diam daripada berseberangan pendapat dengan pemerintah secara terbuka.
Ketua Dewan Penasihat Universe Awareness (Unawe) Indonesia Premana W Premadi menambahkan, keterbatasan akses dan teknologi komunikasi saat itu juga membuat informasi yang benar tentang gerhana sulit disebarkan kepada masyarakat, apalagi sumber informasi masih didominasi pemerintah.
Kebijakan pemerintah yang mengambil cara mudah guna menghindari risiko dan kurangnya mengambil upaya antisipasi untuk meminimalkan risiko menunjukkan belum matangnya kemampuan berpikir rasional bangsa saat menghadapi tantangan yang kompleks.
Di sisi lain, Premana yakin masyarakat Indonesia sebenarnya sudah lama meninggalkan mitologi gerhana dan menjadikannya cerita rakyat saja. Namun, sebagian besar di antaranya juga belum memahami proses alam yang menyebabkan gerhana. Akibatnya, potensi munculnya keresahan dan isu mistis untuk menutupi lubang ketidaktahuannya tetap ada.
Karena itu, Premana menilai, GMT 9 Maret 2016 mendatang harus bisa dimanfaatkan maksimal untuk menggugah pendidikan sains dan mengasah kemampuan bernalar bangsa. GMT telah menyediakan konteks yang nyata, alami, dan spesifik sehingga ide saintifik bisa disampaikan secara jernih dan mengesankan.
“Untuk bangsa Indonesia yang amat heterogen ini, kemampuan rasional masyarakatnya adalah modal yang tak ternilai,” ujarnya.—M ZAID WAHYUDI
———————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Februari 2016, di halaman 1 dengan judul “Memori Kelam GMT 1983 Jangan Sampai Terulang”.