Mimpi Sekolah di Belanda

- Editor

Minggu, 27 Mei 2012

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Dulu ketika saya kuliah di Jogjakarta, saya memiliki mimpi yang hingga kini belum terlaksana. Saya berangan-angan untuk melanjutkan kuliah pascasarjana di negeri Belanda selepas kuliah sarjana di Universitas Gadjah Mada. Belanda, bagi saya, adalah negeri yang amat penting. Di negeri yang berlimpah dengan bunga tulip itulah Bapak Pendiri (founding fathers) Bangsa Indonesia mengasah kapasitas intelektual dan memperdalam pengetahuan tentang ekonomi dan politik. Para Bapak Pendiri yang mengeyam pendidikan di Belanda itu kemudian menjelma menjadi pemimpin-pemimpin politik yang memiliki penguasaan pengetahuan yang luas, tajam, dan mendalam tentang bagaimana mengurus negeri yang masih bayi: Republik Indonesia.

Muhammad Hatta dan Sutan Syahrir—untuk menyebut beberapa—menyelesaikan pendidikan di negeri kincir angin itu. Berbekal beasiswa dari Van Deventer, pada 1921 Muhammad Hatta belajar ekonomi dan hukum Negara di Handels-Hogeschool, Rotterdam (Rotterdam School of Commerce, kini Universitas Erasmus). Muhammad Hatta menjadi salah seorang pioneer pergerakan kebangsaan dan demokrasi sosial ketika para pemimpin politik Indonesia berusaha menemukan embrio sebuah “bangsa”. Ketika Indonesia memperoleh kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Muhammad Hatta adalah salah seorang proklamator kemerdekaan Indonesia sekaligus terpilih menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia yang pertama. Adapun Syahrir mengenyam pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Amsterdam, Belanda. Dalam hitungan waktu yang tidak terlalu lama, selepas sekolah di Belanda, Syahrir terpilih menjadi Perdana Menteri Indonesia pertama dan termuda (36 tahun).

Fakta-fakta ini mengindikasikan bahwa pendidikan di negeri Belanda mampu melahirkan pemimpin-pemimpin sosial dan politik yang mumpuni. Hal itu tentu tidak mengejutkan karena sistem pendidikan di Belanda menerapkan sistem pendidikan yang terbuka, inovatif, lengkap, dan berkualitas. Masyarakat Belanda yang terbuka dan toleran membangun sebuah sistem pendidikan yang berpusat pada peserta didik. Kebebasan akademik dijunjung tinggi, sehingga peserta didik bebas berpikir kreatif. Sistem pendidikan yang berbasis pada Problem Based Learning mengasah mahasiswa untuk terbiasa dalam melakukan analisis dan membangun solusi-solusi konkrit (http://www.nesoindonesia.or.id).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Menurut sebuah data, di Belanda terdapat kurang dari 1500 program studi internasional dan kursus. Hebatnya, seluruh program studi dan kursus ini diselenggarakan dalam Bahasa Inggris, padahal Bahasa Inggris bukan bahasa ibu yang digunakan di Belanda. Di samping kemudahan dalam hal bahasa, kualitas pendidikan di Belanda tak perlu diragukan lagi. Saat ini terdapat 11 universitas di Belanda yang masuk dalam 200 universitas terbaik di dunia (www.webometrics.info). Data lain menunjukkan bahwa Belanda menempati urutan ke-3 sebagai negara dengan jumlah universitas terbanyak dalam World Reputation Ranking 2012. Reputasi pendidikan di Belanda juga ditunjukkan oleh data yang menyatakan bahwa lima universitas riset Belanda masuk dalam 100 besar dalam daftar yang dikeluarkan oleh Times Higher Education. Peringkat ini didasarkan hasil analisa pada 31 ribu akademisi dari 149 negara. (http://www.nesoindonesia.or.id).

Alasan lain yang mendorong keinginan saya untuk sekolah di negeri bunga tulip itu adalah kenyataan bahwa buku-buku tentang sejarah bangsa Indonesia tersimpan lengkap di perpustakaan-perpustakaan universitas di Belanda. Indonesia sangat lemah dalam pengarsipan dan dokumentasi. Manuskrip kuno dan catatan-catatan penelitian tentang kondisi ekonomi, sosial, budaya, dan politik Bangsa Indonesia pada masa lalu lebih mudah ditemukan di Belanda. Menurut catatan Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, sekitar 26 ribu manuskrip kuno tentang Indonesia justru ada di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda (Antara, 14/5/2012).

Manuskrip-manuskrip kuno dan karya-karya hasil riset para akademisi Belanda pada masa lalu sangat sulit ditemukan di Indonesia. Keinginan saya untuk dapat mengidentifikasi, mengurai, dan mengenal karakter Bangsa Indonesia—baik ekonomi, sosial, budaya maupun politik—akan mudah dilakukan jika saya dapat mengakses manuskrip-manuskrip kuno dan riset-riset lama tentang Bangsa Indonesia. Akses itu dapat saya dapatkan jika saya melanjutkan sekolah di Belanda.

Itulah argumen-argumen mengapa saya sangat terobsesi untuk dapat melanjutkan sekolah pascasarjana di negeri Belanda. Meski hingga kini mimpi itu belum terwujud, namun saya tak pernah membunuh harapan. Saya tetap menyimpan semangat dan keyakinan bahwa suatu saat saya akan menginjakkan kaki di Bandara Schiphol, Belanda, dan melangkahkan kaki pertama untuk merajut ilmu dan menganyam pengetahuan di salah satu universitas ternama di negeri Belanda.

Oleh: Asep Mulyana

tulisan ini diterbitkan ulang dari blog Asep Mulyana, atas seijin penulis

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 11 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB