Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?

- Editor

Sabtu, 14 Juni 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Bayangkan jika bensin yang kamu pakai untuk motor berasal bukan dari perut bumi, tapi dari kolam hijau penuh ganggang mikroskopis. Kedengarannya seperti cerita sci-fi, tapi inilah yang sedang diteliti oleh para ilmuwan di seluruh dunia: mengubah mikroalga menjadi bahan bakar ramah lingkungan.

Di antara banyak ilmuwan tersebut, nama Dr. Eko Agus Suyono dari Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada (UGM) mencuat. Beliau dan timnya meneliti mikroalga dari genus Tetraselmis sp., yang punya potensi besar menghasilkan lipid (lemak) untuk dijadikan biodiesel. Bahkan, melalui pendekatan model kinetika pertumbuhan, timnya berhasil merancang cara budidaya yang efisien untuk memaksimalkan produksi biomassa dan minyak.

Tapi tentu saja, Dr. Eko bukan satu-satunya. Di seluruh dunia, mikroalga menjadi primadona dalam riset energi terbarukan. Dari Amerika hingga Oman, para peneliti berusaha menemukan cara agar ganggang kecil ini bisa menyuplai energi besar. Tahun 2012, Angkatan Laut Amerika Serikat bahkan menguji armada kapal dan pesawat yang digerakkan oleh campuran bahan bakar alga. Perusahaan seperti Sapphire Energy di New Mexico sudah mampu memproduksi “green crude” dari alga di fasilitas demonstrasi seluas puluhan hektar.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Di Indonesia sendiri, selain UGM, riset juga dilakukan di ITS, IPB, ITB, hingga Universitas Muhammadiyah Palangkaraya. Fokusnya tak hanya pada jenis alga yang bisa dimanfaatkan, tapi juga bagaimana cara memproduksinya secara efisien dan ramah lingkungan. Mikroalga dinilai menjanjikan karena tidak bersaing dengan tanaman pangan dan bisa tumbuh di air limbah atau air laut, bahkan di lahan tandus.

Lalu pertanyaannya: jika potensinya besar, kenapa mikroalga belum kita pakai sebagai bahan bakar sehari-hari?

Jawabannya: mahal.

Biaya produksi biodiesel dari mikroalga saat ini masih sekitar USD 4–10 per galon ekuivalen bensin (GGE). Sementara bensin konvensional hanya sekitar USD 2–4 per GGE. Tantangan teknis seperti memanen alga dalam jumlah besar, mengekstrak minyaknya, dan mengolahnya menjadi bahan bakar, masih cukup rumit dan mahal.

Namun, harapan tetap ada. Dalam skenario optimis, beberapa studi memperkirakan bahwa biaya produksi mikroalga bisa ditekan hingga USD 2–4 per GGE pada tahun 2030-an. Ini bisa terjadi jika teknologi pemanenan semakin efisien, strain alga terus ditingkatkan, dan jika ada dukungan kebijakan seperti insentif pajak atau harga karbon.

Jadi, kapan mikroalga bisa benar-benar kita gunakan untuk mengisi tangki kendaraan?

Para pakar memperkirakan skala komersial terbatas mungkin bisa dimulai antara tahun 2030 hingga 2040, terutama di sektor penerbangan dan transportasi laut yang sulit dialihkan ke listrik. Mikroalga tidak akan langsung menggantikan bensin, tapi akan menjadi bagian penting dari bauran energi bersih di masa depan.

Bagi generasi Gen Z, ini adalah peluang sekaligus tantangan. Kita adalah generasi yang akan menyaksikan transisi ini. Bahkan mungkin, kalianlah yang akan bekerja di industri bioenergi, menciptakan teknologi, atau bahkan merancang kebijakan yang mempercepat penggunaan mikroalga.

Mikroalga memang kecil, tapi harapannya besar. Dari kolam hijau sederhana, bisa tumbuh masa depan yang lebih bersih, berkelanjutan, dan mandiri energi.

KENAPA BELUM KOMERSIAL SAAT INI?

Tantangan Penjelasan
Biaya tinggi Saat ini biaya masih $4–10/GGE, jauh di atas BBM fosil ($2–4/GGE)
Teknologi panen & ekstraksi rumit Harvesting mikroalga sangat boros energi dan air
Masalah skala Kultur besar rawan kontaminasi & fluktuasi iklim
Investasi besar & risiko Banyak perusahaan bangkrut karena tidak bisa “scale-up” meski lab berhasil

Tantangan & Hambatan

Faktor Kondisi Saat Ini
Biaya tinggi Biaya produksi sekarang sekitar?$7–100/GGE, bisa turun ke ~$3–2/GGE per 2030 frontiersin.org
Kendala teknis Harvesting, ekstraksi lipid, dan pemrosesan wet biomass masih mahal dan kompleks
Hype vs realita Banyak perusahaan besar (Sapphire, Algenol, Solazyme) telah menunda atau menghentikan fokus bahan bakar, beralih ke nutraseutikal

Ringkasan Historis

Periode / Sumber Biaya (per GGE) Catatan
2010–2011 > $100 Paddle-wheel pond
2009 (NBB) ~$7.50 Estimasi awal
2014 (NREL) $4.35 Blendstock biodiesel
2023–2024 $4.8–9.9 Bergantung pada CO? dan metode
2024 TEA HEFA?SAF $8.7–10.1 Tanpa insentif
Skenario optimal $2–4.6 Berdasarkan teknologi lanjutan
Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Wuling: Gebrakan Mobil China yang Serius Menggoda Pasar Indonesia
Boeing 777: Saat Pesawat Dirancang Bersama Manusia dan Komputer
James Webb: Mata Raksasa Manusia Menuju Awal Alam Semesta
Maung, Mobil Nasional yang Tangguh dan Cerdas: Dari Garasi Pindad ke Jalan Menuju Kemandirian Teknologi
Menelusuri Jejak Mobil Listrik di Indonesia: Dari Solar Car ITS hingga Arjuna EV UGM
Harta Terpendam di Air Panas Ie Seum: Perburuan Mikroba Penghasil Enzim Masa Depan
Haroun Tazieff: Sang Legenda Vulkanologi yang Mengubah Cara Kita Memahami Gunung Berapi
BJ Habibie dan Teori Retakan: Warisan Sains Indonesia yang Menggetarkan Dunia Dirgantara
Berita ini 5 kali dibaca

Informasi terkait

Sabtu, 14 Juni 2025 - 06:58 WIB

Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?

Jumat, 13 Juni 2025 - 13:30 WIB

Wuling: Gebrakan Mobil China yang Serius Menggoda Pasar Indonesia

Jumat, 13 Juni 2025 - 11:05 WIB

Boeing 777: Saat Pesawat Dirancang Bersama Manusia dan Komputer

Jumat, 13 Juni 2025 - 08:07 WIB

James Webb: Mata Raksasa Manusia Menuju Awal Alam Semesta

Kamis, 12 Juni 2025 - 20:36 WIB

Maung, Mobil Nasional yang Tangguh dan Cerdas: Dari Garasi Pindad ke Jalan Menuju Kemandirian Teknologi

Berita Terbaru

Artikel

James Webb: Mata Raksasa Manusia Menuju Awal Alam Semesta

Jumat, 13 Jun 2025 - 08:07 WIB