Pengadilan di China memvonis ilmuwan biofisika He Jiankui (35) dengan hukuman tiga tahun penjara dan denda 3 juta yuan. He dinyatakan bersalah karena memalsukan dokumen etik dalam riset pengeditan gen embrio manusia.
Pengadilan di China, pekan lalu, akhirnya memvonis ilmuwan biofisika He Jiankui (35) dengan hukuman tiga tahun penjara dan denda 3 juta yuan atau sekitar Rp 6 miliar. Dia dinyatakan bersalah karena memalsukan dokumen persetujuan dari dewan pengawas etika untuk merekrut pasangan yang menjadi eksperimen risetnya.
KOMPAS/WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO–Bayi laki-laki kembar tiga masih dalam pengawasan dokter di RSUD Majenang, Cilacap, Jawa Tengah, Senin (16/9/2019). Ilmuwan biofisika China melaksanakan pengeditan genom yang diwariskan atau embrio agar bayi kebal terhadap virus HIV. Namun, ia divonis pengadilan dengan hukuman tiga tahun penjara dan denda 3 juta yuan karena memalsukan dokumen persetujuan dari dewan pengawas etik untuk merekrut pasangan yang menjadi eksperimen risetnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Zhang Renli dan Qin Jinzhou, ahli embriologi yang berpartisipasi dalam percobaan He, juga telah dijatuhi hukuman penjara dan denda.
Sebelumnya, dalam pertemuan ilmiah di Hong Kong pada November 2018, He mengumumkan bahwa dia dan timnya dari Southern University of Science and Technology di Shenzhen untuk pertama kalinya di dunia berhasil ”menciptakan” dua bayi yang telah direkayasa DNA-nya.
He telah menggunakan teknologi pengeditan CRISPR (clustered regularly interspaced short palindromic repeats, dilafalkan crisper) terhadap embrio manusia. CRISPR merupakan bagian dari sekuens DNA yang ditemukan dalam genom organisme prokariotik, seperti bakteri. Urutan DNA ini memainkan peran kunci dalam sistem pertahanan antivirus.
Bersama dengan enzim Cas9, urutan CRISPR menjadi dasar dari teknologi yang dikenal sebagai CRISPR-Cas9 yang dapat digunakan untuk mengedit gen dalam organisme. Dengan teknologi ini, genom sel dapat dipotong ke tempat yang diinginkan sehingga gen yang ada dapat dihilangkan dan yang baru ditambahkan.
Kebal terhadap penyakit
He berargumen, pengeditan dilakukan untuk mengubah agar gen bayi kebal terhadap kemungkinan serangan HIV karena ayahnya diketahui mengidap HIV. Dia mengklaim telah menonaktifkan gen yang disebut CCR5, yang mengode protein dan memungkinkan HIV masuk ke dalam sel. Dia bermaksud meniru mutasi sekitar 10 persen orang Eropa.
Akan tetapi, penonaktifan gen ini bisa jadi memicu mutasi pada bagian lain dari genom, yang dapat memiliki konsekuensi kesehatan tidak terduga. Hal ini karena gen CCR5 juga dapat membantu orang melawan infeksi lain, seperti virus West Nile. Di luar aspek keamanan dari bayi yang direkayasa itu, pengadilan juga menemukan bahwa He menggunakan dokumen etika palsu selama perekrutan responden dan menukar sampel darahnya.
Seperti saat He mengumumkan temuannya, keputusan pengadilan China ini juga memicu kontroversi. Sebagian ilmuwan percaya bahwa hukumannya kurang keras. Namun, ada yang mengeluhkan, ilmuwan seharusnya tidak dipenjara karena penelitian yang dilakukannya.
Jennifer Doudna, salah satu pelopor teknologi CRISPR, mengatakan kepada Associated Press, ”Sebagai seorang ilmuwan, saya tidak setuju melihat para ilmuwan dipenjara, tetapi ini adalah kasus yang tidak biasa … (Pekerjaannya) jelas salah dalam banyak jalan.”
Di luar kesalahan dalam penyalahgunaan prosedur etis, Kementerian Kesehatan China telah memperingatkan para peneliti di negeri itu agar tidak menerapkan teknologi pengeditan genetika pada reproduksi manusia, sedangkan Kementerian Sains China menyatakan tidak akan mendanai penelitian terkait.
Peringatan ini disampaikan karena para ilmuwan dunia, termasuk di China, sedang berlomba mengkaji dan menggunakan CRISPR. Teknologi rekayasa CRISPR memang menawarkan kemungkinan yang nyaris tak terbatas untuk memodifikasi organisme. Teknologi ini memiliki beragam aplikasi, termasuk penelitian biologi dasar, pengembangan produk bioteknologi, dan pengobatan penyakit. Namun, di balik kemajuan ini, juga terdapat bahaya.
Dengan merekayasa mutasi terhadap embrio manusia, yang kemudian digunakan untuk ”menciptakan” bayi dengan komposisi gen baru, He melompat ke era di mana sains dapat digunakan untuk menulis ulang kumpulan gen manusia generasi mendatang.
Sekalipun rekayasa genetika telah lama diterapkan pada organisme lain, misalnya penciptaan Domba Dolly dengan teknik kloning pada 1997, rekayasa genetik pada embrio manusia masih ditabukan. Selain rambu-rambu etika, hal ini juga menyangkut isu keamanan manusia itu sendiri.
Pada Desember 2015, ilmuwan dari berbagai dunia menggelar Pertemuan Internasional Pertama tentang Pengeditan Gen di Washington DC. Pertemuan yang diinisiasi US National Academy of Sciences, Chinese Academy of Sciences, and the UK’s Royal Society merekomendasikan agar ilmuwan tidak melakukan penyuntingan genom manusia yang dapat diwariskan (embrio) kecuali dan sampai terpenuhi dua hal: 1) keselamatan dan manfaatnya jelas dan 2) dicapai konsensus sosial yang luas.
Berikutnya, Pertemuan Internasional Kedua tentang Pengeditan Gen pada 2018 menyimpulkan, pengeditan embrio manusia tetap belum direkomendasikan saat ini. Namun, mereka mendukung pengembangannya di masa depan dan memberi isyarat bahwa tantangannya tinggal pada soal etika.
Entah sampai kapan benteng etik ini mampu menahan godaan para peneliti untuk membuka lebar-lebar pandora penciptaan.
Oleh AHMAD ARIF
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber Kompas, 8 Januari 2020