Nyaris 40 tahun usaha pemulihan dilakukan, Citarum masih membawa duka”, adalah kalimat akhir dalam tulisan berita utama harian Kompas, 4 Januari 2018, yang mengesankan bahwa berbagai upaya yang dilakukan untuk merehabilitasi Sungai Citarum sejauh ini berakhir dengan kegagalan. Sungai Citarum tetap menyandang predikat sebagai sungai terkotor di dunia.
Citarum adalah sungai yang unik dan memiliki peran yang strategis. Dengan tiga waduk buatan di alur sungainya, Citarum mampu menghasilkan listrik berdaya tinggi untuk menunjang pertumbuhan ekonomi Indonesia, khususnya di Jawa dan Bali. Citarum juga menjadi sumber air bagi aktivitas pertanian di kawasan pantai utara yang menjadi lumbung beras nasional dan pemasok kebutuhan air baku air minum bagi penduduk di wilayah Jakarta.
Degradasi lingkungan
Meski demikian, Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum sejak lama mengalami persoalan lingkungan yang semakin mengkhawatirkan. Ditandai oleh kerusakan lahan dan tata air di kawasan hulu DAS atau sub-sub DAS-nya serta penurunan kualitas lingkungan berupa pencemaran air sungai yang sejak lama telah terkategori ”tercemar sangat berat” karena limbah yang dihasilkan dari sektor domestik, sektor pertanian dan peternakan, serta sektor industri yang dibuang secara langsung atau tidak langsung ke Sungai Citarum.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Degradasi lingkungan yang terjadi mengakibatkan berbagai dampak antara lain banjir di berbagai tempat yang semakin kerap terjadi, terganggunya kesehatan masyarakat karena kualitas air sungai yang semakin buruk, terkontaminasinya produk-produk pertanian, dan adanya potensi gangguan pasokan listrik yang pada akhirnya diyakini akan menurunkan pertumbuhan ekonomi secara makro.
Degradasi lahan dan menurunnya kualitas lingkungan DAS Citarum dipicu oleh berbagai faktor yang bersifat lokal, yang secara keseluruhan menunjukkan telah berubahnya pola interaksi antara masyarakat dan lingkungan.
Faktor-faktor tersebut antara lain adalah pertumbuhan penduduk yang tinggi dan ketergantungan yang sangat besar terhadap lahan serta tingginya persentase penduduk miskin di kawasan perdesaan yang berbasis pertanian, yang pada gilirannya telah mendorong terjadinya praktik-praktik pertanian yang tidak ramah lingkungan terutama di lahan-lahan marjinal, termasuk perambahan yang dilakukan sebagian penduduk ke kawasan hutan.
Proses alih fungsi lahan yang cepat juga terjadi dengan berlangsungnya proses urbanisasi yang mengubah kawasan perdesaan menjadi perkotaan karena tingginya kebutuhan penduduk terhadap lahan untuk perumahan dan kegiatan penunjang perkotaan lainnya, termasuk untuk kawasan industri-industri yang walaupun ”mampu” memberikan manfaat ekonomi jangka pendek yang sangat besar, dalam konteks keberlanjutan lingkungan, keberadaan industri-industri itu sering kali dipertanyakan.
Selain faktor-faktor yang bersifat internal dan memperlihatkan dinamika perubahan pola interaksi di tingkat lokal (mikro), degradasi lingkungan DAS Citarum juga dipicu oleh faktor-faktor yang bersifat eksternal di tingkat makro.
Tekanan dan iming-iming yang bersifat ekonomis dari lingkungan eksternal seperti permintaan yang tinggi terhadap produk-produk pertanian tertentu telah mendorong dirumuskan dan diterapkannya kebijakan-kebijakan yang berakibat pada meningkatnya aktivitas pertanian yang tidak ramah lingkungan.
Demikian pula dengan tuntutan untuk menciptakan lapangan kerja, melakukan ekspor, dan menghasilkan devisa yang tinggi telah mendorong diterapkannya kebijakan pembangunan yang ”membolehkan” jenis-jenis penanaman modal pada sektor industri yang berpotensi menimbulkan persoalan lingkungan, yang secara konseptual sering dikategorikan sebagai aktivitas brown economy.
Sebagai contoh, sejumlah besar industri tekstil dan lainnya telah lama beroperasi di wilayah DAS Citarum bagian hulu. Sementara itu, industri-industri manufaktur lainnya juga semakin menjamur di berbagai tempat di bagian tengah dan hilir DAS Citarum.
Upaya penanganan
Upaya mengatasi persoalan lingkungan DAS Citarum telah sejak lama dilakukan oleh pemerintah. Sebagai contoh, persoalan banjir besar di wilayah Bandung Selatan pada 1980-an telah direspons oleh pemerintah provinsi dengan dikeluarkannya peraturan yang melarang kegiatan tumpang saridi kawasan hutan di wilayah Cekungan Bandung, tetapi gagal dalam pelaksanaannya.
Peraturan tersebut tidak mampu menahan sebagian penduduk untuk memanfaatkan lahan hutan untuk kegiatan pertanian. Bahkan, perambahan kawasan hutan semakin menjadi-jadi, terutama pada saat berlangsungnya reformasi politik di akhir 1990-an, walaupun belakangan pada batas tertentu perambahan hutan dapat dikendalikan melalui program pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM).
Secara teknis telah dilakukan pula upaya-upaya ”normalisasi” aliran sungai untuk mencegah banjir dan konservasi tanah di lahan-lahan marjinal untuk mengurangi laju erosi yang sangat tinggi, termasuk berbagai program penghijauan yang telah dilakukan di kawasan ”hulu” Citarum.
Demikian juga dengan upaya pencegahan menurunnya kualitas air Citarum melalui berbagai sejumlah peraturan dan program pemerintah dan pemerintah daerah. Alih-alih menjadi lebih baik, kondisi lingkungan DAS Citarum semakin memburuk dari hari ke hari.
Perubahan paradigma pembangunan
Mencermati persoalan degradasi lingkungan DAS Citarum, perlu dipahami bahwa persoalan tersebut bukan sekadar persoalan internal di tingkat mikro yang diakibatkan oleh berubahnya pola interaksi masyarakat dan lingkungan yang tidak menguntungkan bagi kedua belah pihak.
Degradasi lingkungan DAS Citarum juga merupakan persoalan yang dipicu oleh faktor eksternal di tingkat makro berupa tekanan dan iming-iming ekonomi yang mengubah pola interaksi di tingkat lokal serta berbagai kebijakan pembangunan yang pada batas tertentu bersifat kontradiktif terhadap kebijakan dan upaya-upaya pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan.
Upaya merehabilitasi DAS Citarum akan sulit dilakukan tanpa melihat keterkaitan dinamika di tingkat mikro dan aspek-aspek yang bersifat makro. Karena itu, diperlukan adanya perubahan yang mendasar dalam paradigma pembangunan yang dianut, yang dirumuskan ke dalam kebijakan yang bersifat makro terkait dengan pengelolaan DAS. Diperlukan perubahan orientasi dan paradigma pembangunan, dari orientasi dan paradigma yang menekankan pembangunan ekonomi sesaat ke orientasi dan paradigma pembangunan yang terintegrasi dan keberlanjutan, dari brown economy ke green economy.
Budi Gunawan Peneliti pada Pusat Riset Sumber Daya Alam dan Lingkungan, DRPMI Universitas Padjadjaran
Sumber: Kompas, 9 Januari 2018