Ada ”teori” sederhana para petani di desa-desa untuk mengairi sawah (irigasi) atau memelihara got di pinggir jalan: jika mau menaikkan muka air, maka muara salurannya ditutup, sehingga permukaan air naik dan sawah bisa diairi. Kalau tutupnya dibuka, air mengalir sampai menjangkau sawah yang luas.
Kalau saluran got tertutup oleh benda keras seperti batu, kayu, onggokan tanah, maka air akan tertahan, permukaannya naik ke belakang, aliran air terhambat, terjadi endapan kotoran dan lumpur sehingga perlu dibersihkan dengan membuang benda penghambat itu; dan menggali endapan lumpur untuk kemudian diletakkan di tepi saluran. Dengan demikian, dasar air saluran lebih dalam, sementara tepi saluran lebih tinggi. Jika hujan datang, tidak akan terjadi luapan air, banjir. Inilah sifat-sifat air yang dipelajari penduduk di desa turun-temurun.
Teori sederhana ini digunakan Pemerintah Belanda dulu untuk memelihara sungai di Jawa dan luar Jawa. Sepanjang tahun sungai-sungai dikeruk dari endapan pasir dan kerikil. Hasil pengerukan ditimbun di jalan-jalan di sepanjang sungai itu. Hasilnya, dasar sungai lebih dalam dan tanah tepi sungai lebih tinggi sehingga jarak antara dasar sungai dan permukaan tanah atau jalan di tepi sungai lebih besar. Jika musim hujan datang, permukaan air sungai tak akan meluap ke tepi sungai.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sewaktu Belanda datang lagi mau menduduki Indonesia (1947–1949), mereka ulangi lagi perbuatan serupa untuk mengambil hati rakyat Indonesia. Sekarang, sejak Indonesia merdeka dan membangun, tak pernah dilakukan perbuatan di atas. Maka, semua sungai di Jawa dan luar Jawa dangkal—jarak dasar sungai dengan tepi sungai (tanah dan jalan-jalan) pendek. Pada musim hujan, belum apa-apa, sungai-sungai sudah meluap dan banjir. Juga di musim kemarau. Baru sebentar kemarau datang, sungai-sungai kering kerontang, bahkan dapat dilalui kendaraan bermotor. Lihatlah Bengawan Solo, Berantas, Citarum, Ciliwung, Cisadane di Jawa, serta sungai-sungai di Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan. Semua dangkal.
Teori desa di Jakarta
Di zaman Belanda mereka membangun jalan di Jakarta dengan memperhatikan arus alir air dari atas ke bawah (laut). Pada sisi jalan-jalan itu dibuatkan saluran air berupa kolam besar di tepi jalan. Contohnya Daan Mogot (Mokovart) dan RE Martadinata (Ancol). Dulu kedua jalan ini tak pernah banjir karena ”kolam” airnya tak terganggu, dipelihara terus. Demikian juga Sudiyatmo (ke arah Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng). Dalam perencanaannya harus ada kolam air (atas bawah). Pembangunan kolam ini baru dilaksanakan sekitar 2 kilometer dari Pluit ke Tegal Alur, tetapi tidak diteruskan. Sebenarnya sudah ada SK Gubernur DKI Jakarta yang melarang mendirikan bangunan pada jarak 200 meter kiri kanan jalan, tapi sekarang dilanggar. Maka, jalan ini pernah dilanda banjir sehingga dibuatlah jalan layang pada tempat yang banjir itu (bukan yang ada kolamnya).
Pada Rencana Induk DKI 1965-1985 dan 1985-2005, jalan utama yang akan dibangun di sepanjang RE Martadinata adalah di sebelah utara kolam besar dan di sebelah selatan jalan kereta api. Sekarang saluran-saluran air itu tak dipelihara sungguh-sungguh (dikeruk). Bahkan, dalam kolam air yang ada di RE Martadinata ditanam ”pilar-pilar besar” jalan tol di dalam kota. Akibatnya, permukaan air naik dan lumpur tak dapat diangkat/mengendap. Jadi, bukan salah rob. Karena itu, fondasi Martadinata sudah rontok dikikis air dan kampung-kampung di sekitarnya terkena banjir sepanjang masa: Pademangan, Lodan, dan lain-lain.
Terakhir, depan PLTU Tanjung Priok juga ditimbun pasir sehingga mengganggu air untuk suplai PLTU itu. Makanya listrik Jakarta sering terganggu. Hal yang sama dialami PLTU Muara Karang. Dulu PLTU ini tidak pernah terlanda air karena laut di depannya tidak terganggu (dilarang mengadakan penimbunan laut) dan di atasnya ada danau buatan di Pluit.
Di masa pemerintahan Gubernur Dr Sumarno (masa Soekarno) dibangunlah daerah Ancol, yang ditimbun pemerintah pusat dan dilaksanakan perusahaan Perancis Citra untuk membangun Menara Bung Karno (seluas 530 hektar). Caranya dengan mengeruk lumpur dari laut dan menimbunkannya di Pantai Ancol, yang tadinya rawa dan hutan yang dihuni kera. Pada waktu diuruk kera-kera berenang sendiri, pindah ke Pulau Rambut, sekarang jadi cagar alam. Andai kera-kera itu masih hidup, boleh ditanya mengapa mereka pindah ke sana.
Pada zaman Gubernur Sutiyoso, dilepas lagi kera-kera di Ancol. Karena tidak diberi makan, kera-kera ini menjadi penyamun para pemain golf di Ancol, terutama ibu-ibu. Tas-tas mereka sering dibuka kera-kera yang mencari makanan.
Karena keberhasilan Proyek Ancol, menyusullah Proyek Pluit yang dilaksanakan PT Jawa Barat Indah Company (dulu PT Jawa Housing) pimpinan Endang Widjaya (Acay). Konsepnya seperti Ancol: membuat kolam (danau-danau buatan) untuk menahan air. Sayang, Ancol sekarang sudah dilanda rob. Rob jadi tertuduh lagi, dianggap ketinggiannya naik. Padahal, itu karena laut di sebelah timur Ancol sudah ditimbun pasir sehingga permukaan air laut naik (karena dasar laut ditimbun).
Dulu Pluit tidak pernah banjir karena di samping Waduk Pluit sebagai drainase utama Jakarta bagian tengah, juga di daerah Pluit itu ada danau buatan untuk rekreasi masyarakat. Bahkan, dulu ada taman buaya di sana. Setelah danau buatan ini ditutup dan dijadikan Mega Mall, banjirlah daerah Pluit ini sepanjang musim hujan. Air tidak ditampung lagi dalam danau buatan, sementara perjalanan ke laut pun tertahan. Permukaan air naik. Terjadilah banjir.
Kondisi Jakarta
Teluk Jakarta sudah berabad-abad terbentuk secara alami. Menurut para ahli oseanografi (oseanologi), sudah terjadi keseimbangan antara gelombang laut dari utara dengan aliran air 13 sungai di Jakarta yang turun dari gunung (dari selatan). Kalau diganggu atau diadakan perubahan atau ada campur tangan manusia, maka akan terjadi ketidakseimbangan. Akan terjadi gelombang naik (baca: rob) atau air aliran sungai-sungai naik atau kecepatan turun (gravitasi) air sungai menuju laut terhambat sehingga lumpur mengendap di muara-muara bahkan di sepanjang sungai itu sendiri.
Kembali ke ”teori” sederhana di atas, dasar sungai dangkal, tepi sungai turun (ada teori penurunan permukaan tanah di Jakarta). Akibatnya, jika terjadi hujan sedikit, langsung banjir. Dulu MH Thamrin dan Jenderal Sudirman tidak pernah banjir. Sekarang banjir. Istana pun terkena dampaknya (banjir) karena Kali Ciliwung (bawah), Kali Cideng, dan Kali Krukut tidak dirawat dengan baik. Waduk Melati diperkecil dan tidak berfungsi dengan baik, bahkan Waduk Ciragil ditutup.
Pada waktu Master Plan Banjir Jakarta diterima resmi oleh Pemerintah RI pada 1973, endapan lumpur di sungai-sungai, kanal, waduk, dan saluran utama di seluruh wilayah Jakarta tidak kurang dari 9 juta meter kubik (yang harus dikeruk). Sekarang mungkin sudah berlipat-lipat kalinya karena tak ada program pengerukan lumpur di seluruh wilayah DKI Jakarta (dulu setiap tahun diprogramkan pengerukan 300.000 meter kubik). Ketika Keppres No 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Teluk Jakarta dengan judul Water Front City dikeluarkan pada akhir 1995, saya sudah memberi komentar melalui wawancara dengan wartawan Kompas yang dimuat sebagai berita utama halaman depan edisi 25 Oktober 1995, bahwa ”Jakarta Akan Tenggelam”. Banyak orang tersinggung dan membela diri (termasuk konsultannya) bahwa proyek ini tak akan memberikan dampak lingkungan serius karena sudah diperhitungkan semua. Tak ketinggalan beberapa anggota DPRD DKI dan pengusaha besar menuduh saya dan Bang Ali tak bisa mengikuti lagi keadaan zaman.
Proyek ini, dengan massa yang cukup besar dan solid, membentang sepanjang 32 kilometer dengan lebar maksimal 1,6 kilometer atau berluas total 2.700 hektar. Alangkah besar sumbatan di muara aliran 13 sungai yang turun dari pegunungan hinterland Jakarta. Jika dihambat, ia akan meninggikan air di muara dan juga di hulu. Karena laju air mengalir dihambat, timbul endapan lumpur (tanah) yang sangat tinggi, jauh lebih tinggi dari penurunan permukaan muka tanah yang sangat dirisaukan orang (sekitar 7,5 cm/tahun). Jadi, ancaman banjir akan lebih dahsyat lagi kalau tidak dikeruk besar-besaran. Rob pun akan lebih tinggi karena muara sungai dangkal (ingat teori sederhana para petani di desa). Rencana Induk DKI 1985-2005 diubah di tengah jalan oleh DPRD DKI, jadi Rencana Induk DKI 1995-2010 hanya untuk memasukkan Water Front City.
Akhirnya megaproyek ini dibatalkan karena desakan beberapa LSM lingkungan hidup hingga era Reformasi tiba. Tau-tau sekarang muncul lagi dalam bentuk lain yang sepintas lalu akan punya dampak lebih serius kelak. Kalau alasannya menambah lahan, berarti kita bangsa besar yang berpikir kerdil sebab melihat wilayah Indonesia hanya Jakarta saja (luas 650 kilometer persegi. Padahal, luas wilayah Indonesia berjuta-juta kilometer persegi. Kalau alasannya kota pantai, maka pantai Indonesia berpuluh-puluh ribu kilometer panjangnya (terpanjang di dunia) yang tidak ada muara sungainya. Kalau alasannya untuk mendapat air bersih keperluan penduduk Jakarta, tirulah Tokyo. Seluruh air bersihnya disuplai dari Chiba, histerland Tokyo. Jangan contoh Dubai karena berada di padang pasir, tak ada sungai, tak ada gelombang laut, lautnya tenang. Jangan contoh Singapura karena mereka reklamasi kekurangan lahan.
Sebagai bangsa besar yang luas wilayah- nya juga besar, kita tak perlu berkumpul di Jakarta. Pikirkan juga wilayah lain. Yang penting ada aksesibilitas darat, laut, udara; terbuka lebar, mudah, murah, aman, nyaman. Lihat saja sekarang, sekitar 62 persen calon legislator dalam pemilu kita yang lalu berdomisili di Jakarta dan sekitarnya. Tak sehat dalam pembangunan bangsa ini. Dampaknya dalam jangka panjang akan menjadi sesalan anak cucu kita.
Lebih terhormat lebih berhati nurani memikirkan kepentingan rakyat jangka panjang daripada menuruti hawa nafsu sesaat segelintir anggota masyarakat. Batalkan Proyek Giant Sea Wall. Selamatkan Teluk Jakarta. Selamatkan anak cucu kita untuk menikmati kenyamanan hidup di Jakarta milik segenap bangsa.
Bun Yamin Ramto, Wagub DKI Jakarta 1984-1988; Alumnus Teknik Sipil ITB; Guru Besar Kebijakan Publik Unpad
Sumber: Kompas, 11 November 2014