PEMBANGKIT listrik tenaga uap (PLTU) baru di Jateng akan dibangun di Kabupaten Batang, dengan kapasitas total 2 x1.000 MW, atau terbesar di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara. Saat ini, kita belum mempunyai pembangkit tipe itu, yang daya per unitnya sampai 1.000 MW. Paling besar 660 MW, seperti di Tanjung Jati Jepara dan Paiton Probolinggo Jatim.
Pemenang tender proyek pembangkit berbahan bakar batu bara itu adalah J-Power dari Jepang, yang berkonsorsium dengan Itochu (Jepang) dan Adaro (Indonesia). Pembangunannya akan menelan biaya investasi sekitar Rp 30 triliun, dengan perkiraan operasional komersial tahun 2017. Jangka waktu kontrak pembelian listrik dengan PLN atau power purchase agreement (PPA) adalah 25 tahun dengan skema build-operate-transfer (BOT).
Pembangunan PLTU belum dimulai tetapi sudah ramai mendapat tanggapan pro dan kontra. Proyek PLTU di Batang itu bersejarah karena untuk kali pertama Indonesia menggunakan ultra supercritical. Teknologi ini diyakini sangat efisien dan lebih ramah lingkungan karena mengunakan batu bara berkalori rendah. Jepang dan China sudah lama menerapkan teknologi itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bagi daerah, proyek itu berdampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi, baik dari sektor formal maupun informal, terutama di sekitar lokasi. Misanya selama pembangunan dan pengoperasian akan menyerap tenaga kerja. Belum lagi usaha jasa yang bisa berkembang di sekitarnya, misalnya tumbuhnya warung makan, rumah kos, atau jasa lain.
Dengan beroperasinya PLTU itu nantinya Batang menjadi daerah yang lebih diminati investor. Selain ada jaminan pasokan energi untuk industri, dipastikan prasarana dan infrastrukturnya lebih terpelihara karena lokasi pembangkit itu berdekatan dengan calon lokasi jalan tol Batang-Semarang. Konsekuensinya, lalu lintas barang menuju Semarang/ Surabaya ataupun Jakarta dan untuk ekspor lebih mudah dan lancar.
Belum lagi meningkatnya kesejahteraan masyarakat kabupaten tersebut. Perusahaan pengelola harus menyisihkan sebagian keuntungannya untuk kegiatan sosial di lingkungannya, melalui corporate social responbility (CSR). Nilai CSR dari pengelola PLTU itu diperkirakan cukup besar dan bisa membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus mengurangi angka kemiskinan.
Calon lokasi PLTU kemungkinan di Ujungnegoro, dari empat lokasi yang ditawarkan; tiga lainnya adalah Denasri Kulon, Celong, dan Labuhan. Sebagian wilayah Ujungnegoro merupakan daerah pantai yang termasuk kawasan konservasi laut daerah (KKLD) karena ada terumbu karang yang masih hidup dan mendukung keberlangsungan kehidupan ikan dan beragam biota laut lainnya.
Dampak Sosial
Ujungnegoro juga merupakan kawasan wisata terpadu karena di tempat itu terdapat makam Syeikh Maulana Maghribi dan Gua Aswotomo. Bila kawasan ini dipilih menjadi lokasi PLTU maka perlu rekayasa teknik agar tidak merusak lingkungan.
Pembangkit itu menggunakan batu bara sebagai bahan bakar dan pembakarannya akan menghasilkan limbah padat berupa abu terbang(fly ash), slag (bottom ash), dan lumpur (flue gas desulfurization). Kendala yang dihadapi perusahaan pemakai batu bara dalam mengelola limbah hasil pembakaran batu bara adalah terbatasnya lahan untuk penyimpanan sementara limbahnya.
Padahal limbah itu tiap hari bertambah dan sampai saat ini pemanfaatannya masih terbatas. Jika limbah tersebut tidak dimanfaatkan secara maksimal pasti menimbulkan dampak sosial dan lingkungan. Pemkab juga harus cepat menentukan calon lokasi dan menyosialisasikan sampai tingkat desa, melibatkan pegiat LSM dan pemerhati lingkungan. Kecepatan menentukan calon lokasi akan menutup beroperasinya calo tanah. .
Pembuatan dokumen amdalnya pun memerlukan keterbukaan pada tiap tahapannya, juga dengan melibatkan pegiat LSM dan pemerhati lingkungan.
Dokumen amdal pembangunan PLTU jangan hanya menganalisis dampak teknis melainkan juga dampak dampak sosial.
Dalam rangka melindungi masyarakat dari dampak pembangunan, Pemkab seyogianya membuat perjanjian dengan pengelola PLTU mengenai penyerapan tenaga kerja lokal, penyediaan material bangunan, pertanggungjawaban pada kerusakan infrastruktur, untuk meninimalisasi dampak sosial. (10)
Wondhi R Trisnanto, Kabid Penyuluhan Bapeluh Kabupaten Batang
Sumber: Suara Merdeka, 15 November 2011