Berkembangnya media digital memungkinkan semua orang memproduksi karya tulisan dengan mudah. Sayangnya, karya yang sebenarnya belum matang tersebut tidak memenuhi kualitas sebagai sebuah tulisan, khususnya karya sastra.
Hal tersebut mengemuka dalam forum diskusi yang digelar Komunitas Salihara pada Rabu (16/1/2019) lalu. Saat itu, hadir sebagai pembicara, penulis Ayu Utami dan Nirwan Dewanto untuk membahas diskusi bertajuk ”Realisme dan Autobiografi: Kelemahan Sastra Kita?” di Serambi Salihara Jakarta Selatan.
FRANSISCA NATALIA UNTUK KONPAS6–Diskusi yang berlangsung di Serambi Salihara Jakarta Selatan dengan narasumber Ayu Utami dan Nirwan Dewanto, Rabu (16/1/2019).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Fokusnya, melihat kondisi sekarang ini, produksi sastra tinggi sekali karena orang dengan mudahnya menerbitkan sendiri karya tulisannya lewat (media) online, tanpa proses pengeditan,” kata Ayu.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA–Ayu Utami
Jika dahulu ada peran editor yang memperbaiki, sekarang semua hasrat untuk berekspresi mendapatkan jalan yang mudah dan instan. Menurut Ayu Utami, dari tahun ke tahun, dia merasakan, melihat, dan menemukan kualitas tulisan yang beredar semakin jelek.
Hal tersebut merupakan tantangan sastra Indonesia sekarang. Dari logika kalimat yang tidak menyambung, tata bahasa jelek, ejaan salah, sampai tanda baca yang tidak tepat lebih banyak daripada yang benar.
”Anak-anak sekarang banyak terpapar bahasa buruk yang sering dipakai di era digital. Ironisnya, meski sebenarnya (berkualitas) ’sampah’, ternyata buku atau karya tulis banyak beredar dan banyak disukai karena memang sudah mencapai level terbiasa dan wajar,” kata Ayu.
Pelemahan sastra tersebut diperparah juga dengan kurangnya ruang kritik sastra. Majalah atau media-media kritik di Indonesia sekarang tak lagi banyak.
”Banyak media massa yang dulu punya rubrik khusus kesenian dan kritik seni yang berwibawa sekarang menghilang, mungkin dianggap tidak komersial,” kata Ayu.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI–Nirwan Dewanto
Sastrawan Nirwan Dewanto juga sepemikiran dengan Ayu Utami. Ia menjelaskan bahwa sastra adalah segala daya upaya untuk mengungkapkan sesuatu dalam bentuk bahasa dengan cara yang berbeda. Sastra juga berarti nilai atau kualitas layaknya seni yang memuat nilai tertentu.
Nilai tersebut yang kemudian menjadi ”tempat” orang berdebat dan beradu pandangan dunia untuk mencari sesuatu terbaik di antara yang buruk.
”Oleh karena itu, sastra ukurannya menjadi bermacam-macam. Makanya, harus ada pihak-pihak yang berjuang untuk menimbang yang berkualitas, itulah kritik sastra,” ujar Nirwan.
Oleh karena itu, untuk menemukan karya tulisan yang berkualitas, kita bisa melihat naskah-naskah yang mendapatkan penghargaan atau memenangi lomba karya tulis. Biasanya karya tulisan itu ditampilkan di festival-festival sastra.
Di samping itu, upaya dini yang bisa dilakukan pemerintah, terutama sekolah, untuk memperbaiki kualitas bahasa di Indonesia adalah melakukan pendidikan bahasa.
”Guru harus tegas mengajarkan bahasa yang benar, logika yang benar. Sepatutnya, sekolah memberi porsi yang serius untuk pendidikan bahasa tersebut karena mungkin bahasa bisa hancur,” kata Ayu. (FRANSISCA NATALIA ANGGRAENI)–EMILIUS CAESAR ALEXEY
Editor EMILIUS CAESAR ALEXEY
Sumber: Kompas, 19 Januari 2019 •