Boleh dikata, hampir semua ahli sepakat bahwa pada vaksin tertumpu harapan besar dan mungkin satu-satunya. Harapan miliaran orang saat ini adalah menyaksikan penyakit yang mematikan tersebut dapat ditaklukkan.
Sejak Edward Jenner memulai sejarah vaksin modern dengan menyuntik anak berusia delapan tahun, James Tibbs, di Inggris, cukup banyak penyakit infeksi tertaklukkan.
Bahkan, hingga saat ini telah ada tiga penyakit menular yang berhasil kita kalahkan, yaitu cacar (sejak 1978), polio—kecuali di dua negara yang masih punya kasus hingga hari ini, dan rinderpes pada sapi. Ketiga penyakit ini tidak mempunyai obat mujarab sehingga peran vaksin sulit dibantah walaupun mungkin bukan satu-satunya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam hal penyakit infeksi lain pun, vaksin terbukti mujarab untuk menurunkan kasus hingga ke tingkat sangat minimal. Di negara dengan cakupan imunisasi yang baik, penderita difteri dan tetanus sudah amat sedikit, dan penderita penyakit rubela pada bayi baru lahir telah musnah di banyak negara.
Dalam bidang kesehatan masyarakat, vaksin adalah satu dari dua upaya paling efisien dan efektif dengan keberhasilan yang tinggi. Sayang sekali, di dunia dewasa ini hanya ada sekitar 40 vaksin untuk manusia. Sekalipun jumlah penyakit infeksi begitu banyak, kedokteran tak cukup berhasil membuat vaksin untuk banyak penyakit. Ini bukti bahwa pembuatan vaksin bukanlah hal sederhana dan jelas tidak bisa instan.
Penyakit Covid-19 akibat virus SARS-CoV-2 adalah lawan tangguh paling menghebohkan selama enam bulan terakhir. Sejak kemunculannya pada akhir 2019 di China, para praktisi kedokteran telah berpikir untuk menciptakan vaksin guna mencegah penyakit ini. Jika bakteri dilawan dengan antibiotik, virus haruslah diatasi dengan antivirus.
Sejarah mengajarkan, banyak sekali virus yang tidak mampu kita atasi dengan obat. Hanya sedikit antivirus yang benar-benar poten, seperti yang ditunjukkan oleh obat HIV atau antiretrovirus. Antivirus selebihnya tidak benar-benar mampu membunuh dengan memuaskan. Setiap kali obat tidak dapat mengatasi, peran vaksin menjadi lebih bermakna lagi.
Favipiravir, salah satu calon obat Covid-19, adalah obat untuk influenza, tetapi tak cukup berhasil. Remdesivir yang baru diizinkan Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) adalah obat untuk Ebola, tetapi juga kurang memuaskan. Lopinavir ritonavir adalah obat anti-HIV yang sedang diteliti untuk Covid-19. Oseltamivir adalah obat untuk virus influenza yang mungkin tak cocok untuk Covid-19 karena perbedaan enzim.
Semua calon obat itu, termasuk remdesivir, sebenarnya banyak diragukan. WHO memang lebih menyarankan mencari obat yang sudah ada di daftar inventaris daripada mencari barang baru mengingat waktu yang tersedia begitu pendek dengan skala penyakit menakutkan.
Kegagalan mendapatkan antivirus yang mujarab menyisakan plasma konvalesen sebagai harapan pengobatan, tetapi tentunya pemberian secara massal tidak akan mungkin dilakukan. Harapan satu-satunya adalah pada vaksin.
Pengumuman resmi WHO pada 2 Juni 2020 menginventarisasi 136 calon vaksin Covid-19 dari seluruh dunia. China sebagai negara pertama yang menghadapi pandemi punya waktu lebih panjang dan data yang mungkin lebih banyak.
Beberapa perusahaan dan lembaga akademik China termasuk yang paling maju dalam perlombaan mendapatkan vaksin itu. Sedikitnya ada delapan metode yang digunakan peneliti untuk membuat vaksin ini. Sejumlah peneliti menggunakan protein dari tonjolan S pada virus yang digunakan menempel pada reseptor di tubuh sebagai senjata terpenting.
Sebagaimana obat, ada beberapa tahapan yang harus dijalani untuk melahirkan sebuah vaksin yang diedarkan di masyarakat. Secara singkat, setelah calon vaksin dibuat atau dimurnikan di laboratorium, dilakukan uji pada hewan dan kemudian manusia. Paling tidak empat tahap harus dilewati di manusia.
Parameter yang dievaluasi terutama dua aspek, keamanan dan manfaat.
Ada sepuluh vaksin yang saat ini telah melewati fase hewan dan sebagian besar dari sepuluh vaksin ini berasal dari China. Vaksin yang terjauh sudah berada di fase 2b dan segera akan memasuki fase 3 pada manusia. Calon vaksin tersebut berasal dari inisiatif Universitas Oxford di Inggris. Fase 3 pada manusia adalah tahap yang akan melibatkan ribuan partisipan.
Jika dilihat fase 1 pada manusia baru diawali di akhir Maret, langkah vaksin ini sungguh sangat cepat. Universitas Oxford sebenarnya bahkan sudah membuat perjanjian kerja sama dengan perusahaan vaksin di India untuk produksi dalam skala besar jika vaksin ini berhasil.
Sejak tragedi vaksin rota generasi pertama, uji klinik fase 3 vaksin dilakukan dengan ekstra hati-hati dan melibatkan sedikitnya 30.000 partisipan. Hal ini untuk menjamin agar efek samping yang jarang bisa dideteksi. Skala yang besar akan membuat proses penelitian vaksin lebih lama, lebih mahal, dan secara teknis akan lebih sulit dilakukan.
Semua itu merupakan tuntutan karena subyek yang akan menggunakan vaksin adalah manusia. Jika vaksin untuk hewan menimbulkan kematian atau keguguran kandungan, misalnya, kemungkinan menggunakan vaksin tersebut masih ada. Hal itu tidak mungkin diterima pada manusia.
Satu perusahaan yang juga akan memasuki fase 2 untuk uji produk telah menjalin kerja sama dengan Indonesia sehingga akan memungkinkan negara kita memproduksi dan memiliki vaksin dalam jangka waktu singkat. Vaksin ini menggunakan virus SARS-CoV-2 yang telah dimatikan. Universitas Oxford sendiri menggunakan virus adeno sebagai kendaraan untuk masuk ke dalam tubuh dan disusupi komponen dari virus SARS-CoV-2.
Situasi di Indonesia
Indonesia berusaha mempunyai calon vaksin sendiri. Hal ini penting untuk menunjukkan kemampuan bangsa serta menghindari peristiwa memilukan seperti saat wabah flu burung beberapa tahun lalu. Alasan lain adalah kemungkinan perbedaan sekuen gen virus yang beredar di Indonesia.
Dari belasan sekuen genetik virus SARS-CoV-2 yang sudah dipublikasi oleh Lembaga Eijkman dan Universitas Airlangga, ternyata ada beberapa yang menunjukkan mutasi yang ditandai dengan pergantian asam amino. Pada skala tertentu, mutasi ini bisa menjadi penyebab vaksin kurang atau tidak efektif.
Ada sedikitnya tiga lembaga di Jakarta dan satu di Surabaya yang sudah memulai pekerjaan vaksin ini. Metode yang digunakan juga bervariasi sehingga kegagalan di satu lembaga tidak harus menghentikan lembaga lain.
Dukungan regulasi, fasilitas, dan dana diberikan pemerintah untuk mempermudah proses penelitian. Beberapa lembaga internasional telah digandeng untuk pekerjaan besar yang akan memungkinkan pula terjadinya proses alih teknologi.
Sebenarnya ada kesan pemerintah menghendaki riset vaksin dipercepat. Bahkan, beberapa pihak menginginkan vaksin sudah didapat sebelum tahun berganti. Hal ini terkesan mustahil mengingat proses penelitian vaksin yang sudah dipaparkan di atas.
Seyogianya keinginan memperoleh hasil yang cepat tidak mengorbankan manusia sebagai penerima vaksin. Dalam sejarah, jika vaksin terdahulu seperti vaksin dengue perlu waktu 20 tahun, vaksin pandemi dapat diproduksi lebih cepat.
Saat demam flu babi melanda Meksiko dan AS, produksi vaksin sudah dilakukan dalam waktu kurang dari setahun. Jika memang Indonesia menghendaki mampu memproduksi vaksin sebelum 2021, jalan paling realistis adalah bekerja sama dengan perusahaan yang sudah berada pada fase 2 atau 3.
Pada kenyataannya, cara ini memang sudah kita lakukan. Kemungkinan salah satu dari sepuluh vaksin yang sudah menjalani uji coba pada manusia akan menjadikan negara kita sebagai salah satu lokasi uji klinik fase 2.
Solusi vaksin Covid-19
Ada beberapa kendala signifikan dalam proses penemuan vaksin Covid-19. Pertama, kita selama ini belum pernah memiliki vaksin untuk virus korona. Upaya membuat vaksin telah dilakukan saat dua virus korona sebelumnya menghantam dunia dan sebagian kandidat vaksin Covid-19 memanfaatkan calon vaksin yang sudah tersedia itu. Saat SARS di 2002 melanda, beberapa calon vaksin sudah berhasil dibuat, tetapi kemudian penyakit itu menghilang.
Virus korona lain, MERS-CoV, yang terjadi di Arab Saudi sejak 2011 dan sampai hari ini belum menghilang juga, mempunyai beberapa calon vaksin sekalipun belum satu pun yang lulus melewati uji klinik. Itu berarti di dunia tidak ada satu pun vaksin untuk virus korona yang beredar di pasar vaksin.
Kedua, sebagai penyakit baru, beberapa mekanisme imunologi tak sepenuhnya dipahami. Padahal, aspek imunologi adalah kunci utama vaksin. Untung saja ketersediaan teknologi modern membuat proses yang biasanya perlu waktu panjang dapat diperpendek. Sekuen gen virus, identifikasi reseptor, penemuan beberapa protein penting, serta penemuan komponen antibodi pada manusia relatif cepat diselesaikan.
Ketiga, untuk aspek keamanan, ada kemungkinan Covid-19 menunjukkan karakter seperti virus dengue. Kekebalan yang tidak maksimal justru akan memperberat sakit. Satu hal yang menghambat penemuan vaksin dengue selama bertahun-tahun.
Keempat, beberapa metode pembuatan vaksin, seperti menggunakan komponen genetik, adalah metode termodern yang belum pernah dipakai sebelumnya. Sebagian orang masih ragu apakah metode mutakhir tersebut benar bisa dipakai. Secara teoretis, metode baru ini memang menjanjikan. Pada kenyataannya, perusahaan Moderna yang memulai penggunaan asam ribonukleat sebagai vaksin adalah yang pertama melakukan uji klinik pada manusia.
Kelima, sebagian hasil pada hewan tidak sebaik yang diharapkan, baik dari aspek keamanan maupun manfaat. ”Otak-atik imunologis” diusahakan mampu memperbaiki hasil tersebut.
Evaluasi manfaat vaksin yang biasanya diukur dari berapa banyak orang yang sakit sekalipun sudah menerima vaksinasi tampaknya tidak akan dilakukan untuk vaksin Covid-19. Evaluasi cukup diwakili kadar antibodi di dalam tubuh penerima vaksin setelah jangka waktu tertentu. Jika diperlukan, beberapa perusahaan juga memikirkan human challenge untuk menunjukkan ketahanan terhadap infeksi virus. Hal terakhir ini masih agak kontroversial dari segi etik dan menjadi topik perdebatan.
Dalam sejarah ada beberapa vaksin yang menunjukkan hasil cemerlang pada fase 2, tetapi gagal total di fase 3. Contoh terbaru adalah vaksin HIV yang diinisiasi AS dan terpaksa dihentikan di tengah jalan karena tidak menunjukkan manfaat pada kelompok yang menerima vaksin. Memang semua fase harus dijalani dan dievaluasi dengan baik mengingat risiko kegagalannya.
Isu yang saat ini sudah digulirkan adalah apakah semua negara di dunia memperoleh kesempatan yang sama untuk mendapatkan vaksin tersebut. Saat flu burung melanda, Indonesia sebagai pemilik virus malah menjadi negara bukan prioritas untuk menerima vaksin.
Saat itu, hal ini sudah direvolusi dan diharapkan tidak dijumpai lagi. Universitas Oxford sudah menjamin produksi dalam skala besar yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan seluruh dunia. Beberapa perusahaan China telah pula menjalin kerja sama dengan perusahaan vaksin besar di sejumlah negara untuk menjamin produksi.
Sebelum pandemi Covid-19 melanda, sebenarnya dunia sedang menghadapi masalah penurunan cakupan imunisasi secara bermakna di banyak negara, baik yang maju maupun yang sedang berkembang. Penyakit campak merajalela kembali di Amerika dan Eropa, Filipina dilanda wabah berbagai penyakit yang sebelumnya bisa dikendalikan, dan negara-negara bersituasi perang tidak dapat lagi mempertahankan kondisi sebelum perang.
Menjadi pertanyaan besar apakah setelah vaksin Covid-19 tersedia, masih akan ada penolakan dalam beberapa kelompok masyarakat atas nama berbagai alasan. Sangat ditunggu ketegasan pemerintah untuk menjaga hal ini tidak muncul di negara kita.
Boleh dikata, hampir semua ahli sepakat bahwa pada vaksin tertumpu harapan besar dan mungkin satu-satunya. Harapan miliaran orang saat ini adalah menyaksikan penyakit yang mematikan tersebut dapat ditaklukkan. Semoga upaya ini segera memperoleh hasil memuaskan.
(Dominicus Husada, Dokter Anak; Kepala Divisi Penyakit Infeksi dan Tropik Anak Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK Unair/RSUD Dr Soetomo, Surabaya)
Sumber: Kompas, 4 Juli 2020