Sifat virtual mengajarkan demokrasi pentingnya signifikansi dan waktu (kecepatan). Demokrasi harus berkontribusi mewujudkan kesejahteraan rakyat dan diselenggarakan secara efisien.
Kesenjangan merupakan salah satu problem demokrasi pasca-reformasi. Peningkatan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) (2009-2018) tak diikuti kepuasan publik terhadap kinerja kemajuan demokrasi. Performa dua lembaga demokrasi (parpol dan legislatif) paling disorot.
Hingga 2018, indeks peran parpol tergolong ”baik” (82,1). Namun, indeks peran DPRD ”buruk” (<60). Publik menunjukkan penilaian serupa. Survei Charta Politika (Agustus 2018), survei ahli LIPI (Agustus 2018), dan Alvara Research (Agustus 2019) mengungkapkan kepuasan terendah pada parpol dan lembaga legislatif. Kepuasan ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan tingkat kepuasan pada lembaga demokrasi lain.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Perbedaan ini ironi demokrasi. Di satu sisi, demokrasi menganjurkan praktik perwakilan dalam politik dan pemerintahan. Di sisi lain, kepercayaan publik ke lembaga politik dan perwakilan rendah.
Kesenjangan lain terlihat dari perbedaan tren perkembangan aspek-aspek demokrasi. Peningkatan kinerja hak- hak politik dan lembaga politik dalam IDI justru dibarengi tren penurunan kebebasan sipil (2009-2018). Survei SMRC (Mei-Juni 2019) menemukan depresiasi kepuasan publik pada jalannya demokrasi, terutama kualitas kebebasan sipil, penegakan hukum, dan independensi media.
Disparitas terjadi pula dalam capaian IDI antarkawasan dan antarprovinsi. Kawasan barat Indonesia menikmati rerata kemajuan demokrasi lebih baik dibandingkan kawasan lain. Ketimpangan, praktik politik digital menambah kebutuhan introspeksi bagi perkembangan demokrasi akhir-akhir ini.
Efek perubahan
Politik digital sering diidentikkan dengan penggunaan internet yang telah mengubah banyak hal dalam praktik kekuasaan (saling pengaruh dan dominasi). Cara politik bekerja mengalami transformasi setelah internet diadopsi secara luas tahun 1990-an. Tak hanya pemerintah, warga pun mengikuti perubahan cara berpolitik memanfaatkan internet dan teknologi turunannya.
Pertama, melalui konsep pemerintah elektronik (e-government), internet telah mengubah pola hubungan antara pemerintah, warga, dan dunia usaha. Model koneksi yang birokratis berubah menjadi hubungan langsung. Warga bisa terlibat dalam diskusi kebijakan dengan pemerintah, menyampaikan keluhan, petisi, berbagi gagasan, dan penganggaran secara daring.
Survei Kompas (Februari 2020) menemukan praktik politik digital dalam gerakan masyarakat sipil. Sebanyak 23,8 persen responden setuju penggunaan medsos dan petisi daring sebagai model gerakan sipil mengawasi pemerintah. Secara bersamaan, survei mengungkap efek negatif teknologi digital yang menumpulkan daya kritis masyarakat dan tingginya keterbelahan sosial akibat Pilpres 2019.
Kedua, internet membangun jejaring konektif antarwarga yang mengubah cara kerja dan tujuan gerakan. Peristiwa 21-22 Mei 2019 di Jakarta dan beberapa daerah menunjukkan aksi kolektif jadi lebih mudah dan massal karena keleluasaan koneksi antarwarga. Gerakan menjadi lebih fleksibel, minim komando, dan sulit terlacak karena identitas jadi lebih cair. Aksi-aksi dan profil kelompok peretas seperti grup Anonymous memberikan pelajaran prinsip gerakan minim identitas, namun berefek luas.
KOMPAS/ALIF ICHWAN–Direktur Center for Media and Democracy LP3ES Wijayanto, Wakil Rektor Universitas Diponegoro Budi Setiyono, pendiri Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Emil Salim dan Associate Researcher LP3ES Leuden University Ward Berenchot, (dari kiri ke kanan), hadir sebagai pembicara dalam seminar yang berlangsung di Jakarta, Senin (17/2/2020).
Ketiga, internet telah mengubah esensi komunikasi politik. Kemudahan mengakses dan berbagi pengetahuan dan informasi lewat jejaring internet meminimalkan asimetri penguasaan informasi urusan publik. Warga jadi relatif sulit dikontrol, dipropaganda, dan dipaksa selalu percaya lembaga politik dan pemerintahan. Internet juga memudahkan bekerjanya teknologi politik dalam kontestasi elektoral.
Penggunaan perangkat keras dan lunak komputer bisa mengonstruksi citra politik (political branding) kandidat dan parpol di mata warga atau pemilih. Termasuk pula praktik manipulasi untuk memenangi kontestasi elektoral. Pilpres AS 2016 dan referendum di Inggris dituduh sebagai ajang penggunaan internet dan terobosan digital lain untuk merekayasa kebencian dan ketakutan saat kampanye.
Perbaikan pengukuran
Bukan hanya mengubah cara, strategi, dan mekanisme bekerjanya politik, internet dan teknologi digital telah membangun kultur digitalisasi. Empat karakteristik budaya digitalisasi, yaitu tanpa batas, multimedialitas, bersifat maya, dan saling terkait (Boehme-Nebler, 2020).
Kultur digitalisasi memaksa dunia jadi tanpa batas. Karakter ini mendorong demokrasi membuka akses warga terhadap penguasa dan pengambilan kebijakan. Sementara multimedialitas menunjukkan demokrasi bisa diekspresikan melalui berbagai saluran. Pemerintah mengakui partisipasi warga dalam pembuatan kebijakan yang disampaikan via banyak media.
Sifat virtual mengajarkan demokrasi pentingnya signifikansi dan waktu (kecepatan). Demokrasi harus berkontribusi mewujudkan kesejahteraan rakyat dan diselenggarakan secara efisien. Terakhir, karakter saling terkait mengajarkan demokrasi bergantung konektivitas. Jumlah dan kualitas jejaring penguasa dan rakyat penting untuk menguatkan posisi warga sebagaimana kredo demokrasi, rakyat memerintah.
Refleksi bagi pengukuran kemajuan demokrasi, yaitu paradigma IDI sebaiknya memperhitungkan politik digital dan budaya digitalisasi. Perspektif demokrasi perwakilan dan demokrasi partisipatoris yang kuat menyokong tiga aspek IDI (lembaga demokrasi. kebebasan sipil dan hak-hak politik) harus mempertimbangkan perubahan cara politik bekerja.
Variabel dan indikator IDI bisa menimbang praktik e-government untuk mendorong kinerja penganggaran, penanganan komplain pemerintahan, meminimalkan kecurangan pemilu. IDI juga bisa mengubah variabel dan indikator untuk meminimalkan praktik manipulatif dalam kontestasi elektoral.
IDI bisa mempertimbangkan fasilitasi ekspresi kebebasan digital sekaligus menihilkan ancaman kebebasan digital. Sementara budaya digitalisasi bisa diakomodasi agar variabel dan indikator IDI mendorong tumbuhnya nilai-nilai demokrasi yang terbuka, mudah diakses, berdampak dan cepat, dan mengakui konektivitas.
(Wawan Sobari Dosen Bidang Politik Kreatif; Ketua Prodi Magister Ilmu Sosial FISIP Universitas Brawijaya)
Sumber: Kompas, 6 April 2020