Menimbang Kuasa Data

- Editor

Selasa, 10 Maret 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Semakin banyak saya menyetor data ke dunia maya, semakin besar kesempatan mesin-mesin tak kasatmata itu belajar. Menghafal, menghitung, memetakan pola, menandai anomali, dan akhirnya menyimpulkan tentang saya.

KOMPAS/INGKI RINALDI–Sejumpal penyelenggara dan pengisi acara Big Data Week Jakarta, Kamis (23/3/2017) di Jakarta berpose sebelum dimulainya sejumlah sesi presentasi. Kegiatan itu diselenggarakan dengan tujuan memberikan pemahaman ihwal tata kelola nyaris seluruh aspek kehidupan saat ini yang didasarkan pada data.(INK)

Formulir registrasi akun baru telah saya isi. Sejujur-jujurnya, seakurat-akuratnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pagi itu, saya perlu akses suatu data untuk riset ringan. Sejak aktivitas saya ”terkeranda” ekosistem digital, entah kali ke berapa saya meng-input data untuk rupa-rupa kebutuhan. Berapa banyak saya melepas data di dunia maya?

Aktivitas saya selepas bangun pagi adalah memeriksa layar telepon pintar, membaca pesan-masuk dari macam-macam percakapan daring, lalu membalasnya. Setelah 1-3 pesan terbalas, kadang-kadang sambil antre kamar mandi, masih ada sedikit waktu membuka surel (e-mail) dan memilih pesan-pesan penting untuk direspons.

Sembari sarapan, tangan saya tak juga lepas dari gawai karena linimasa media sosial belum sempat dibuka. Jika sebelumnya aktivitas saya masih ”responsif”, di fase ini meningkat menjadi ”aktif”. Saya mulai menulis status, berkomentar di status para sejawat, atau melepas konten baru, lalu meluncur ke tempat kerja.

Dalam perjalanan dengan moda transportasi publik, lagi-lagi saya scrolling layar gawai. Membaca aplikasi news atau medsos, menjawab 1-2 pesan pendek terkait urusan pekerjaan yang mulai tiba.

Situasi berdesak-desakan di gerbong KRL commuter line, misalnya, tak terhiraukan lantaran asyik masyuk dengan gawai. Tiba-tiba saya sudah sampai di stasiun tujuan, meloncat turun menuju tempat kerja.

Miliaran aktivitas
Prahariezka Arfienda (2018) dalam artikelnya di www.algorit.ma—situs akademi Data Science yang berbasis di Jakarta—mencatat jumlah pengguna telepon pintar di dunia sekitar 5,135 miliar.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG–Aktifitas di kantor Dattabot, Jakarta, Rabu (10/5/2017). Perusahaan ini mengolah big data untuk dapat digunakan dalam berbagai aspek kehidupan.

Sekelompok peneliti yang menamai diri IDC memperkirakan jumlah data di seluruh dunia akan mencapai 163 zettabyte (ZB) pada 2025. Angka dihitung berdasarkan laju produksi data tahunan di seluruh dunia yang kini mencapai 16.3 ZB. Satu ZB setara dengan 1 triliun gigabyte (GB).

Jika setiap hari pengguna telepon pintar mengunggah foto, video, dan mengirim surel, belum lagi data dari sensor, CCTV, dan database instansi pemerintahan, terciptalah samudra data.

Prahariezka mencatat , mesin pencari Google memproses tak kurang dari 24 petabyte (setara 24 terabyte) data setiap hari, terisap dari 3,5 miliar aktivitas pencarian. Di ruang mobile data, dari proses mengirim-menerima, dihasilkan 1,3 exabyte (setara 1.300.000 TB) setiap hari. Total 156 juta surel terkirim setiap hari, dengan jumlah spam mencapai 103.447.52 setiap menit.

Berapa data yang dihasilkan aplikasi percakapan daring, termasuk Grup Whatsapp? Tak kurang dari 15 juta pesan teks terkirim setiap hari. Sementara situs ensiklopedia gratis, Wikipedia, menghasilkan 864.000 pemutakhiran halaman setiap hari.

Ada 100 juta pengguna fitur InstaStory IG setiap hari, 95 juta mengunggah foto dan video. Lalu, 293.000 status Facebook muncul setiap menit dengan total jumlah komentar 510.000 per menit. Ini belum termasuk video yang diunggah dan dikomentari di Youtube, lagu-lagu di Spotify, cuitan singkat di Twitter, dan ratusan juta data berbagai platform.

Tambang data
Data ibarat tambang emas abad ini. Di dunia computational thinking (penyelesaian masalah berbasis matematika komputer), hal itu dikenal sebagai data mining alias tambang data. Timbunan data diklasifikasi, di-regresi, dan dikelompokkan. Dari pengolahan itu diperoleh pengetahuan tentang pola, tren, dan anomali dalam bentuk grafik, kurva, dan diagram.

Dengan kecanggihan peranti lunak, data dapat ”ditambang” seperti memisahkan serbuk emas dari pasir dan lumpur. Bedanya, peranti semacam RStudio (software untuk proses clustering) dan Orange (software untuk visualisasi cluster) bekerja cepat dan menghasilkan kesimpulan yang seolah-olah akurat, bahkan tanpa observasi, hipotesis, apalagi eksperimentasi.

Perangkat lunak dalam tambang data adalah machine-learning alias mesin yang belajar. Semakin banyak saya menyetor data ke dunia maya, semakin besar kesempatan mesin-mesin tak kasatmata itu belajar. Menghafal, menghitung, memetakan pola, menandai anomali, dan akhirnya menyimpulkan tentang saya.

Sebagai bagian dari big data yang telah diekstraksi untuk berbagai kepentingan—terutama kepentingan industri periklanan—hampir semua aktivitas keseharian saya digerakkan oleh bit-bit digital yang bermukim di jantung industri-industri raksasa.

Data personal
Bisa jadi salep gatal yang biasa saya pakai dalam rentang waktu dua bulan ke depan tak perlu digunakan lagi. Sebab, penyakit saya sudah beralih menjadi ”sakit kepala sebelah”. Karena itu, di linimasi media sosial saya bermunculan banyak pilihan obat bagi penyakit baru tersebut.

Saya hanya perlu menimbang soal harga dan efek samping, tetapi jangan coba-coba abai berbelanja. Jika cuek, layar gawai saya akan dibanjiri notifikasi yang mengingatkan bahwa bakal ada jenis penyakit baru, lengkap dengan informasi tentang upaya jitu mencegah bahayanya.

KOMPAS/INGKI RINALDI–Tambahan Pantauan Medsos Seputar Putusan MK, Berebut Narasi di Media Sosial

Agenda menonton film, membeli buku, liburan ke luar kota, atau sekadar memilih jenis jajanan yang akan diorder via aplikasi digital tidak lagi ditentukan oleh keinginan manusiawi saya, tetapi oleh kecerdasan mesin (artificial intelligence) yang dirancang berdasarkan hasil data mining tentang saya.

Di manakah ruang yang tersisa bagi observasi tatap muka, eksperimentasi berkala, mekanisme verifikasi dan falsifikasi sebagai syarat guna merumuskan pengetahuan ilmiah sebagaimana yang dulu ditempuh para ilmuwan?

Di mana tempat bersembunyi dari godaan untuk mengunggah foto keluarga, menanggapi konten-konten sampah di WAG, dan scrolling linimasa media sosial berbau agitasi dan propaganda?

”Berpikir itu melelahkan! Serahkan saja hidup kita pada mesin-mesin cerdas di jagat maya. Guna membalas budi, asupilah mereka dengan data!” begitu pesan pakar algoritma.

(Damhuri Muhammad Sastrawan; Pengajar Filsafat Universitas Darma Persada, Jakarta)

Sumber: Kompas, 10 Maret 2020

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Apa Itu Big Data yang Didebatkan Luhut Vs Mahasiswa
Gelar Sarjana
Berita ini 3 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB