Ada PR (baca: pekerjaan rumah) lama yang kini sedang dikerjakan pemerintahan Joko Widodo: pencemaran Laut Timor, Nusa Tenggara Timur, akibat kebocoran yang disusul ledakan di ladang minyak Montara, 21 Agustus 2009, yang operasinya dipegang perusahaan nasional Thailand, Petroleum Authority of Thailand Exploration and Production Australasia.
Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono berusaha melakukan negosiasi dengan Pemerintah Thailand untuk mendapatkan ganti rugi skema jangka pendek lebih dulu. Negosiasi buntu, tak berlanjut.
Tim Advokasi Tuntutan Ganti Rugi Pencemaran di Laut Timor yang diketuai Masnellyarti Hilman telah menyusun skema ganti rugi. Upaya tersebut tak berlanjut. Sementara Tim Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut dipimpin Menteri Perhubungan waktu itu, juga tidak menelorkan hasil. Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB), Ferdi Tanoni, mengatakan, upaya pemerintah dinilainya setengah hati karena tidak mau mengajukan gugatan kepada Pemerintah Australia sebagai pemberi konsesi kepada PTTEP AA.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Masyarakat telah melakukan class action melalui tangan YPTB. Menurut Ferdi, “Akibat peliknya kasus tumpahan minyak Montara, untuk tahap awal, hanya diajukan gugatan kerugian sosial ekonomi masyarakat dari Kelompok Petani Rumput Laut.” Kasus ini didaftarkan pada tanggal 3 Agustus 2016 di Federal Australia-Sydney.
Penelitian Guru Besar Ilmu Kelautan ITS Mukhtasor bersama Dwi Endah Kusrini, dan Mauludiyah, tahun 2011, mencatat kerugian nelayan dan petani rumput laut sekitar 71 persen dan 75 persen.
Menurut Mukhtasor, kerugian ekonomi mengakibatkan kerugian sosial. “Setelah delapan tahun, nilai kerugian sosial ekonomi sekitar Rp 17 triliun.”
Gayung tak bersambut
Sejauh ini, menurut Ferdi, sejumlah 15.483 petani rumput laut dari Kabupaten Rote Ndao dan Kabupaten Kupang telah mengajukan gugatan dengan total kerugian sosial ekonomi lebih dari 200 juta dollar AS (sekitar Rp 2,6 triliun).
“Itu baru dua dari 13 kabupaten teridentifikasi terkena polusi tumpahan minyak Montara,” tulisnya. Dia mengestimasikan, jumlah warga terdampak bisa mencapai 50.000 orang. Sejak awal, Ferdi terus meminta agar pemerintah mau bergandengan tangan dengan masyarakat untuk penyelesaian kasus ini. Namun, gayung tak pernah bersambut.
Sementara pemerintah Joko Widodo pada 23 Mei 2017 melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) bersama Kementerian Koordinator Kemaritiman mengajukan gugatan perdata ganti rugi kepada PTTEP AA (Ashmore Cartier) Pty Ltd (tergugat pertama), The Petroleum Authority of Thailand Exploration and Production (PTTEP) Public Company Limited (tergugat kedua), dan The Petroleum Authority of Thailand (PTT) Public Company Limited (tergugat ketiga).
Nilai gugatan yang diajukan ke Pengadilan Jakarta Pusat terdiri dari ganti rugi material sekitar Rp 23 triliun dan biaya pemulihan lingkungan hidup sebesar Rp 4.468.084.555.000 atau sekitar Rp 4,468 triliun (Kompas, 26/5/2017).
Ferdi menegaskan, untuk mempercepat penyelesaian kasus ini secara menyeluruh dan komprehensif, Pemerintah Australia harus terlibat sebagai sebuah bentuk pertanggungjawaban terhadap tragedi kemanusiaan yang terjadi. “Kami bersyukur, pemerintah memberikan tekanan kepada Pemerintah Australia,” tulisnya. Yang penting, tambahnya, membentuk tim peneliti independen, terdiri dari masyarakat, pemerintah daerah, dan pemerintah untuk secara intensif berkoordinasi dengan Pemerintah Australia.
Meski jalan masih jauh dari selesai, pendekatan pemerintah pada kasus Montara, setelah kasus Freeport Indonesia, menunjukkan ketegasan untuk menegakkan kedaulatannya. Selanjutnya ditunggu ketegasan Pemerintah Indonesia menegakkan kewibawaannya di hadapan investor domestik perusak alam dan pelanggar hak asasi manusia.(BRIGITTA ISWORO LAKSMI)
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Juli 2017, di halaman 10 dengan judul “Mengurai Kasus Montara, Upaya Menegakkan Kedaulatan”.