Pengrajin tahu Sumedang seringkali menghadapi masalah dalam memisahkan limbah cair pekat dengan limbah cair encer. Selain berbau busuk, limbah cair padat mengalami perubahan kimia yang berbahaya bagi lingkungan dan menimbulkan gatal serta gangguan pernapasan. Namun, semenjak kehadiran Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) anaerobik yang dibuat Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, berbagai permasalahan tersebut dapat diatasi.
Pembuatan tahu Sumedang menjadi salah satu usaha rumahan yang banyak ditemui di daerah Sumedang, Jawa Barat. Bahkan, tahu tersebut dikenal luas sebagai pangan khas dari kota itu. Usaha tersebut menyerap banyak pekerja tapi di sisi lain jadi salah satu sumber limbah yang mencemari lingkungan.
DOKUMENTASI LIPI DAN NEWRI COMM-NTU–Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) anaerobik di Kampung Giriharja, Desa Kebon Jati, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. IPAL tersebut dapat membantu masyarakat dalam mengolah limbah tahu
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebagai contoh, di Dusun Giriharja, Desa Kebon Jati, Kabupaten Sumedang, kapasitas produksi tahu mencapai 3 ton kedelai per hari dari 9 pengrajin tahu. Mereka menghasilkan 24 meter kubik limbah cair pekat per hari.
Limbah cair pekat tersebut memiliki kadar keasaman dengan Ph (potensial Hidrogen) sebesar 4 hingga 5. Jumlah tersebut dapat membuat kualitas air menjadi buruk dan dapat mengakibatkan makhluk hidup di sungai mati.
Limbah tersebut juga dapat merugikan petani karena para pengrajin membuang di anak Sungai Cileuweung. Sungai tersebut mengalir ke daerah aliran sungai (DAS) Cimanuk yang menuju ke Indramayu, Jawa Barat. Akibatnya, kualitas hasil pertanian di Indramayu menjadi buruk. Limbah ini juga membuat warga sekitar menjadi gatal dan gangguan pernafasan.
Melihat dampak buruk dari limbah tersebut, banyak warga sekitar yang ingin usaha pengolahan tahu tersebut ditutup. Namun, niat tersebut diurungkan karena akan menyebabkan banyak pengangguran. Situasi tersebut mendorong Peneliti di Loka Penelitian Teknologi Bersih Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Neni Sintawardani bersama timnya untuk berinovasi mengelola limbah tahu melalui IPAL anaerobik atau miskin oksigen.
KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO–Peneliti di Loka Penelitian Teknologi Bersih LIPI Neni Sintawardani
“Dalam proses anaerobik, limbah tahu yang memiliki kandungan organik atau Chemical Oksigen Demand (COD) tinggi diuraikan oleh mikroba atau bakteri anaerobik jadi senyawa udara metana dan karbondioksida atau yang dikenal sebagai energi biogas,” kata Neni, di Tangerang, Banten, Senin (22/4/2019).
Prosesnya, limbah tahu dari masyarakat ditampung di dalam kolam. Limbah tersebut dipompa menuju tangki dan dialirkan pada enam reaktor. Komponen tersebut ditempatkan di titik terendah di Dusun Giriharja dengan luas 250 hektar.
Di dalam reaktor tersebut telah dimasukkan bakteri anaerobik yang diletakkan pada bambu. Neni memilih bambu karena mudah ditemukan dan dapat menjadi rumah bakteri untuk bertumbuh.
Bakteri dapat memakan kandungan organik pada limbah tahu mulai dari reaktor pertama hingga keenam. Alhasil, setelah masuk pada reaktor keenam, air limbah tersebut sudah bersih dan aman untuk dibuang. Melalui proses ini, lebih dari 90 persen limbah organik dapat tereduksi.
Bakteri tersebut akan menghasilkan biogas dan ditampung pada sebuah kantong gas. Dengan menggunakan kompresor, gas tersebut ditampung pada sebuah tangki dan didistribusikan kepada 88 keluarga di Giriharja.
Mulai digunakan
Neni menjelaskan, gagasan tersebut muncul pada 2010 melalui pengajuan proposal kerjasama dengan Nanyang Environment and Water Research Institute Community-Nanyang Technological University, Singapura. Mereka mematangkan konsep itu selama 3 bulan.
Setelah melalui serangkaian uji coba lapangan, pada tahun 2017 IPAL anaerobik mulai digunakan di Giriharja hingga sekarang. Pada tahun 2019, sejumlah warga mulai membantu untuk pembiayaan perawatan alat dan operasional.
Anggota Kelompok Pengrajin Tahu Giriharja Pepen Sopendi mengaku, persoalan limbah di dusunnya dapat teratasi menggunakan IPAL anaerobik. “Limbah tahu di Giriharja sekarang jernih dan sehat. Dulu sangat bau,” ujar Pepen yang kini bertanggung jawab menjadi teknisi IPAL.
Masyarakat pun mendukung dengan ikut membantu biaya perawatan dan operasional karena merasa terbantu dapat menggunakan biogas sebagai bahan bakar untuk memasak. Padahal, sebelumnya mereka sering protes akibat bau dari limbah tahu, terutama saat musim kemarau. Dalam sebulan, biaya perawatan dan operasional IPAL sekitar Rp 1,5 juta.
Sejumlah desa di sekitar Dusun Giriharja tertarik dengan IPAL anaerobik sebab mereka juga mengalami persolan yang sama yakni limbah tahu dan kotoran sapi. Sayangnya belum ada dana untuk menyediakan alat dan memasang IPAL tersebut.
Pepen berharap, pemerintah ikut ambil bagian membantu biaya perawatan dan operasional IPAL. Selain itu, IPAL ini diharapkan dapat dipasang juga di daerah lain sehingga persoalan limbah yang mencemari lingkungan dapat teratasi.
Oleh PRAYOGI DWI SULISTYO
Sumber: Kompas, 6 Mei 2019