Laut memiliki ”segalanya”. Laut menjawab ”semua” persoalan. Laut adalah ”ibu kehidupan”—jika kita ingat planet berevolusi dari zat gas-cair-padat. Potensi dan fungsi laut demikian luas rentangnya. Di sisi lain, laut juga menjadi daerah yang rawan berbagai gangguan, mulai dari penyelundupan, pencurian ikan, perompakan, hingga kecelakaan.
Sejumlah pakar dari berbagai bidang ilmu berkumpul, berbagi pengetahuan tentang peluang kemanfaatan, fungsi, dan kerentanan laut, di Center for Oceanography and Marine Technology (COMT) Universitas Surya, Jumat (29/8), di Tangerang, Banten.
Menyambut janji presiden terpilih Joko Widodo atau Jokowi untuk mengembangkan sektor kelautan dan menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Cita-cita besar yang ditunggu-tunggu banyak pihak mulai dari kalangan akademisi dan ahli hingga pengusaha dan kalangan aktivis lingkungan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam pertemuan itu, Alan F Koropitan, Direktur COMT Universitas Surya, menegaskan peran dan fungsi laut. Menurut dia, selain sebagai pusat kedaulatan, laut juga berperan sebagai sumber pangan, poros maritim, serta alat dan sarana pemersatu bangsa.
Para ahli juga menegaskan posisi penting dan strategis negara kepulauan Indonesia. Konsep ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan rakyat semesta merupakan konsep yang strategis untuk visi kelautan.
Di luar itu semua, kita tak bisa menafikan peran teknologi untuk mewujudkan semua peran dan fungsi laut itu. Sekretaris Dewan Kelautan Dedy Sutisna menggarisbawahi, teknologi tak bisa ditinggalkan karena, ”Teknologi adalah akselerator untuk tiga pilar lain,” ujarnya.
Dia menggambarkan pembangunan kelautan dan perikanan sebagai sebuah rumah dengan empat pilar. Tiga pilar selain iptek adalah sumber daya manusia, sumber daya kelautan dan perikanan, serta habitat (laut).
Laut sumber energi
Ketika Indonesia dalam kebijakan energi nasionalnya menetapkan adanya bauran energi baru dan terbarukan, laut belum dilirik serius.
Menurut peneliti dari Lamont-Doherty Earth Observatory of Columbia University, R Dwi Susanto, laut menyimpan banyak potensi untuk pengembangan energi baru terbarukan.
Sementara Alan yang menyampaikan paparan tentang peran iptek dalam pembangunan maritim menyatakan, ada beragam energi yang bisa dihasilkan dari laut melalui berbagai proses fisika.
Menurut dia, dari laut bisa didapatkan energi dari konversi gaya mekanik (energi gelombang dan energi arus laut) atau dari gaya potensial (energi pasang surut). Energi dari laut juga bisa muncul dari perbedaan temperatur air laut (energi panas laut atau ocean thermal energy conversion/OTEC). Sementara laut Indonesia luasnya meliputi 70 persen dari wilayah Indonesia dengan luas sekitar 5,8 juta kilometer persegi.
Menurut Dwi, dengan jumlah pulau yang mencapai belasan ribu, energi yang potensial dikembangkan adalah dari arus laut. Sejumlah penelitian telah dilakukan dengan sektor utama dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Energi gelombang
Energi yang paling dilirik untuk dikembangkan dari laut secara umum adalah energi gelombang. Indonesia yang terletak di antara dua samudra besar yang jadi motor pergerakan arus laut global memiliki potensi besar mendapat gelombang kuat.
”Sepanjang pantai selatan yang merupakan bagian dari Samudra Hindia berpotensi tinggi untuk sumber energi dari gelombang laut,” kata Dwi. Panjang pantai yang menghadap ke selatan dan menjadi bagian Samudra Hindia membentang mulai dari Sumatera Selatan hingga sebagian Nusa Tenggara Timur (NTT).
Sementara dari catatan yang disampaikan Alan, ”Konversi gelombang laut dengan tinggi rata-rata 1 meter dengan periode 9 detik mempunyai daya 4,3 kilowatt (kW) per meter panjang gelombang.”
”Dari deretan gelombang setinggi dua dan tiga meter bisa membangkitkan daya 39 kW per meter panjang gelombang,” ujar Alan. Kekuatan energi itu menurun ke arah timur.
Di sisi barat Pulau Sumatera berpotensi menghasilkan sekitar 20 kW per meter panjang gelombang. Di selatan Jawa hingga selatan Sulawesi, gelombang berpotensi menghasilkan 15 kW per meter panjang gelombang. Sementara pantai selatan dengan posisi lebih timur dari Sulawesi menghasilkan sekitar 5 kW per meter panjang gelombang.
Energi gelombang merupakan energi kinetik (energi yang muncul akibat adanya gerak). Energi itu memanfaatkan beda tinggi gelombang laut.
Untuk mengonversikan energi gelombang menjadi energi listrik, dibutuhkan persyaratan terkait parameter-parameter gelombang yaitu tinggi gelombang, periode gelombang, dan panjang gelombang laut.
Menurut catatan pada paparan itu, bagian dari paparan Alan, ada 4 teknologi yang telah diaplikasikan sebagai pembangkit listrik yaitu sistem Rakit Cockerell/Pelamis, Tabung Tegak Kayser, Pelampung Salter, dan Tabung Masuda.
Arus pasang surut laut
Selain gelombang, arus pasang surut laut adalah potensi besar lain yang pantas dikembangkan.
”Yang dimaksud adalah arus pasang surut, bukan perbedaan tinggi air saat laut pasang dan surut,” kata Dwi. Arus pasang surut ditemukan di selat-selat sempit yang banyak terdapat di sela-sela kepulauan di wilayah timur Indonesia. Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk mengukur potensi energi dari arus pasang surut itu.
Beberapa arus pasang surut yang kuat, di antaranya Selat Ceningan di antara Nusa Ceningan dan Nusa Lembongan. ”Selatnya sempit, lebarnya hanya sekitar 50 meter, arusnya bagus, arusnya kuat,” jelas Dwi. Dari penelitian yang pernah dia lakukan, kecepatan arus pasang surut laut Indonesia di beberapa lokasi, bisa mencapai lebih dari lima meter per detik.
Selat itu amat sempit dengan perbandingan lebar 50 meter dan panjang sekitar satu kilometer (1.000 meter). ”Karena selat panjang, turbin bisa di pasang di sejumlah titik mengikuti panjang selat,” kata dia.
Pada paper yang disampaikan Alan, cara kerja pembangkit listrik tenaga arus laut tak berbeda jauh dengan pembangkit listrik memakai tenaga angin, yang memanfaatkan putaran kincir untuk menggerakkan generator sehingga menghasilkan listrik.
Untuk bisa menghasilkan listrik, syaratnya adalah kecepatan arus laut minimum adalah dua meter per detik, dan yang ideal sekitar 2,5 meter per detik. Energi arus pasang surut itu cocok untuk pulau-pulau kecil.
Menurut Dwi, tenaga angin di Indonesia tak optimum untuk dijadikan sumber energi jika dibandingkan arus pasang surut dan gelombang laut. Penyebabnya, ”Angin di Indonesia tergantung dari musim, sehingga sering bergeser. Angin lokal bisa kecil sekali. Arah angin dan kecepatannya tak konsisten,” ujarnya.
Di masa mendatang, muncul harapan agar energi terbarukan dari potensi laut bisa dikembangkan. Pengembangan energi terbarukan dari potensi yang ada di laut adalah satu dari sekian hal yang bisa membawa Indonesia berjaya kembali di laut. Jadi, moto Angkatan Laut kita, ”Jalesveva Jayamahe” (di Lautan Kita Jaya) terwujud, dan cita-cita Indonesia menjadi Poros Maritim pun tercapai.
Oleh: Brigitta Isworo Laksmi
Sumber: Kompas, 1 September 2014