CATATAN IPTEK
Tanpa banyak publikasi, China telah mendaratkan Chang’e 4 untuk mengeksplorasi Bulan. Wahana ini mendarat di sisi jauh (far side), sisi di balik Bulan yang tidak pernah terlihat oleh penghuni Bumi.
Sisi jauh atau sisi gelap Bulan memang menimbulkan ketertarikan karena tak bisa dipantau dari Bumi, bahkan dengan teleskop terbaik sekalipun. Sisi ini menjadi misteri akibat waktu tempuh perputaran Bulan pada sumbunya—disebut periode rotasi—dan periode Bulan mengelilingi Bumi sama panjang, 27-29 hari.
STR/AFP–Wahana pendarat Bulan milik China Chang’e-4 diluncurkan dari Bandar Antariksa Xichang, Provibnsi Sichuan, barat daya China, Sabtu (8/12/2018) menggunakan roket peluncur Long March 3B. Kamis (3/1/2018) pagi, Chang’e-4 sudah mendarat di bagian belakang Bulan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Chang’e 4 adalah nama dewi Bulan dalam mitologi China. Diluncurkan dengan roket Long March 3B, ia mendarat 3 Januari 2019. Sebelumnya, Xinhua seperti dikutip Space.com mengabarkan, sebuah satelit komunikasi bernama Queqiao sudah ditempatkan di orbit Bulan, Mei 2018.
Menurut The New York Times, Change’s 4 mendarat di Von Karman, area luas dan datar di lembah, dekat Kutub Selatan Bulan. Chang’e 4 yang akan bekerja selama setahun kemudian melepas wahana penjejak atau rover untuk eksplorasi. Chang’e 4 dilengkapi teleskop, kamera, spektrometer, dan radar demi mengidentifikasi komposisi materi di sekitarnya.
Chang’e 4 juga akan menyelenggarakan percobaan biologi untuk melihat apakah biji tanaman bisa bertunas dan telur ulat sutra bisa menetas dalam kondisi rendah gravitasi.
Bulan adalah bagian dari peradaban manusia. Bahkan, nenek moyang suku Aborigin di Australia dan Maori di Selandia Baru sudah turun-temurun mengajarkan Bulan, planet, dan konstelasi bintang-bintang kepada anak-anaknya.
Suku Maya yang hidup 300-900 tahun sebelum Masehi percaya ada Ixchel, dewi kesuburan yang tinggal di Bulan. Sama seperti China, orang Korea dan Jepang juga percaya kehadiran dewi penunggu Bulan. Di Indonesia pun ada mitos Betara Chandra, sang penguasa Bulan. Bulan menjadi bagian dari imajinasi dan kerinduan manusia karena kehadirannya di tengah kegelapan memang mengundang misteri.
Namun, kemajuan teknologi menghapus semua mitos. Tidak ada dewa-dewi dan kelinci. Permukaan Bulan bahkan sama sekali tidak indah bercahaya. Permukaannya tandus, berbatu, dan kelabu. Meski demikian, eksplorasi ke Bulan membuat manusia memahami evolusi jagat raya: cara kerja semesta sekaligus asal-usul tata surya dan kehidupannya.
Menurut situs resmi Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA), sampel-sampel dari Bulan menunjukkan kemiripan struktur kimia dengan batuan di Bumi. Bedanya, batuan Bulan amat kering. Tak ada bukti pernah ada air di Bulan.
Salah satu sampel yang disebut ”The Dark Maria” merupakan lava vulkanik purba yang terkristalisasi lebih dari 3,6 miliar tahun. Ilmuwan menyimpulkan, Bulan purba nyaris meleleh total, tetapi lalu terlapis batuan cair. Semua terkonservasi baik, sementara di Bumi, sejarah lapisan-lapisannya nyaris hilang akibat aktifnya geologi Bumi.
Meski Uni Soviet (kini Rusia) berhasil mengirim Yuri Alekseevich Gagarin jadi manusia pertama di antariksa, 12 April 1961, adalah astronot Amerika Serikat yang jadi manusia pertama di Bulan. Dengan roket Apollo 11, NASA mendaratkan Neil Armstrong dan Buzz Aldrin di Mare Tranquillitatis—disebut juga Sea of Tranquility—20 Juli 1969.
Setelah itu, masih ada misi Apollo 12 sampai Apollo 17 untuk meneruskan upaya memahami Bulan dan semesta raya. Dari seluruh misi Apollo akhirnya ilmuwan memahami bahwa awal tata surya adalah tabrakan antarplanet, melelehnya permukaan, dan ledakan gunung-gunung, yang akhirnya membentuk campuran geologi kompleks.
Tahun 2013, China berhasil mengatasi ketertinggalan dari AS dan Rusia dengan menjadi negara ketiga yang berhasil mendaratkan perangkat robot ke Bulan. Namun, target pendaratan manusia tahun 2017 belum juga terlaksana.
Indonesia jelas ketinggalan dalam eksplorasi ini. Seluruh energi habis untuk menghadapi hoaks, kebencian, dan upaya memecah belah bangsa.–AGNES ARISTIARINI
Sumber: Kompas, 16 Januari 2019