Terpaksa Mengorbankan Etape III
Malam kedua perjalanan mobil hasil eksperimen mahasiswa ITS Surabaya ini dilewti dengan upaya perbaikan dan pemeriksaan menyeluruh. Semalam suntuk tim mobil bertenaga matahari WW II ini bekerja keras. Pagi harinya, Selasa kemarin, mobil dianggap beres. Maka, mobil pun bergerak menuju Kantor Walikota Cirebon yang terletak di sebelah utara Hotel Langensari.
Menurut rencana, WW II dilepas walikota. Tetapi karena Walikota berhalangan, WW II dilepas Sekretaris Kodya, Cirebon-Drs Soedjono. Kedatangan WW II di kota itu sebenarnya sudah ditunggu sejak Senin siang. Seluruh aparat pemda dan muspida menunggu sampai pukul 14.00, tetapi karena yang ditunggu baru tiba pukul 19.00, mereka mengira tim tidak datang.
Wajah para mahasiswa, terutama tim teknis, kelihatan cerah meskipun semalam mereka ‘begadang’ memeriksa WW II. Penyebab ngadatnya putaran ada gardan diperiksa, dan ternyata besi penyangga poros antara dengan gardan agak kendur sekrupnya. Mereka segera membetulkan letak penyangga itu, kemudian mengganti oli pelumas gardan dengan minyak yang mempunyai kekentalan (SAE) tinggi, yakni SAE 90.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di kantor Waalikota Cirebon WW II mendapat perhatian serius dari staf pemda. Banyak yang berkerumun di depan kantor untuk melihat WW II yang memang jauh berbeda dengan WW I. Pada kesempatan itu Sekkodya Cirebon juga merasakan “nikmatnya” duduk di samping sopir dan berjalan ke luar kantor untuk kemudian kembali Iagi ke depan pintu masuk kantor. ”Rasanya memang Iain dengan
mobil biasa,” katanya. Begitu juga komentar salah seorang staf yang juga mencoba WW II.
Tepat pukul 09.15 WW II meninggalkan kantor walikota dan meluncur mulus dengan kecepatan 30 km/jam di dalam kota dengan dikawal polisi. Di sepanjang jalan ini WWII membuat para pejalan kaki dan murid sekolah lanjutan berhenti dan memperhatikan kendaraan dengan bentuk ”aneh” itu. Sampai di jalan menuju luar kota, kecepatannya ditambah menjadi 40 km/jam dan WW II meluncur dengan mulus sampai jarak 10 kilometer meninggalkan kota Cirebon. Kekhawatiran tim mulai pupus melihat WW II berjalan mulus. Mereka juga kelihatan gembira melihat sambutan warga Cirebon yang antusias.
Pada jarak 10 km ini tiba-tiba Eddy yang mendampingi Andang Gunawan memberi aba-aba bahwa ada salah satu sekrup yang lepas. Tak lama kemudian WW II dihentikan. Ternyata benar, Hanya saja, yang lepas hanya satu sekrup sehingga diperkirakan tidak akan memakan waktu lama untuk memperbaikinya.
Ternyata perkiraan mereka meleset. Setelah diperiksa dengan teliti mereka mendapati bahwa poros antara yang menghubungkan gardan dengan poros pemutar roda sedikit bengkok. Ini masalah baru lagi. Semula hanya ada perkiraan bahwa kalau toh terjadi masalah, maka hal itu hanya akan menyangkut aki. Itu pun sedikit sekali kemungkinannya setelah panitia mendatangkan satu set aki baru dan men-charge 18 aki lainnya.
Poros yang bengkok itu ternyata disebabkan bahan yang digunakan tidak sama dengan poros yang digunakan sebelum dibawa ke Jakarta. “Saat di Surabaya kami menggunakan poros antara orisinal milik Daihatsu. Kemudian kami menggantinya dengan suku cadang yang sesuai dengan ukuran yang kami kehendaki yang kami pesan dari sebuah bengkel di Jakarta,” kata Chandra, salah seorang anggota tim teknis yang lebih dikenal dengan panggilan ‘Pipo’ ini. Rupanya, bahan yang tidak sama ini membuat daya tahan besi poros ini berbeda.
Meskipun tim juga membawa poros orisinal dari Surabaya, mereka memutuskan untuk tidak memasangnya. Keputusan itu diambil karena alat yang mereka bawa kurang begitu lengkap untuk melakukan pengukuran terhadap kekencangan saat memasang alat ini.
Karena itu, diputuskan untuk membawa WW II ke Pekalongan. Hal itu memang patut dilakukan karena sedikit saja, kerusakan pada salah satu alat akan mempengaruhi alat lainnya. Seperti yang terjadi saat tegangan aki turun drastis, beberapa peralatan elektrik juga mengalami kerusakan karena turunnya tegangan itu.
Membawa WW II ke Pekalongan sebagai keputusan yang tepat karena di sana ada bengkel lengkap. Hal itu dilakukan mengingat rute yang akan ditempuh pada etape IV akan lebih berat lagi. “Karena itu, kami memutuskan untuk mengorbankan etape III ini. Sebab kalau kami memaksa WW II menjalani etape ini, pada etape berikutnya akan mengalami kesulitan lebih banyak ,”tuturnya. Dan sejak itu WW II ditarik ke Pekalongan dengan Toyota Hardtop.
Meskipun dalam keadaan ditarik, WW II masih saja mengundang perhatian masyarakat Tegal dan Pemalang. Di Tegal bahkan lebih banyak lagi yang menyambut kedatangan WW II. Tua-muda, siswa SD sampai SMA, serta orang-orang di kota itu langsung mengerumuninya saat WW II berhenti ditarik karena kendaraan penariknya kehabisan bahan bakar. Akhirnya mobil Jawa Pos kembali dapat bagian menarik WW II sampai ke Pekalongan.
Hampir tidak ada gangguan selama perjalanan ke Pekalongan Bahkan, kondisi WW II kelihatan lebih baik daripada sebelumnya. Ini terbukti saat WW II ditarik dengan kecepatan 60 km/jam tidak ada keluhan. Sambil membunyikan sirene, pengendara motor besar ikut menyemarakkan rombongan saat memasuki Pekalongan pukul 15.00.
Sambutan di kota ini ternyata jauh lebih meriah daripada di Tegal. Begitu memasuki kota, banyak warga setempat yang sudah menunggu. Ini karena sebelum sampai di kota, radio SP FM Pekalongan sudah menyiarkan berita kedatangan WW II.
Banyak orang yang terheran-heran melihat bentuk WW II yang memang baru dan futuristik itu. Mereka mengerumuni mobil yang berhenti dan sedang dimasukkan ke halaman Hotel Gajahmada, depan stasiun KA Pekalongan itu. Hal ini membuat jalan di depan hotel sempat macet.
Tak lama setelah berhenti di hotel dan poros antara yang lama (milik Daihatsu) dipasang lagi, WW II dibawa ke workshop AHASS di Pekalongan. Acara sarasehan dengan pemda setempat terpaksa dibatalkan mengingat para teknisi akan “begadang” lagi malam ini. “Mestinya ada penyambutan dari pemda setempat pukul 19.00. Tetapi kami terpaksa membatalkan karena harus bekerja lagi. Kalau pun ada, paling hanya beberapa yang mewakili,” kata Agus Susilo, salah seorang tim teknik WW II.
Dan pagi ini WW II akan melewati ruta rawan karena jalan menuju Semarang banyak tanjakan dan belokan, apalagi di Alas Roban nanti. (Andung/Budhi).
Sumber: Jawa Pos, 11 Agustus 1992
———————————————
Dilepas Sultan, WW II Jalan Malam
Uji coba perjalannn malam hari hari bagi mobil listrik tenaga matahari Widya Wahana (WW) II tadi malam berjalan mulus meski sejak berangkat diteter hujan. Gerimis turun sejak WW II dlilepas Sri Sultan Hamengku Buwono X di Keraton Yogyakarta, pukul 19.10. Suasana pemberangkatan kali ini lebih marak karena Yogyakarta sedang ramai dengan acara sekatenan.
Sebelum acara pelepasan, tim WW II mengadakan temu muka dengan siswa beberapa SMA di Yogyakarta. Pertemuan dilangsungkan di halaman gedung SMA III. Acara ini sempat tertunda satu jam karena tim harus memeriksa WW II setelah menjalani rute Semarang-Yogya. Pemeriksaan dilakukan pagi hari mulai pukul 08.00 sampai 11.30. Kali ini tim harus benar-benar cermat, sebab WW II akan melalui rute malam hari menuju Sragen.
Tidak ada penggantian komponen pada pemeriksaan tersebut. Tim hanya mengecek peralatan elektronik dan mekanik. Semuanya ternyata beres.
Pertemuan dengan siswa-siswa SMA ini berakhir pukul 16.15, dan WW II langsung menuju keraton dengan pengawalan polisi dan diikuti beberapa dosen ITS yang menyusul ke Yogyakarta Kamis lalu. Sampai di Keraton Yogya, WW II diparkir di Balai (Bangsal) Panti Wahana, depan Regol Sri Menganti, Keben Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Sri Sultan Hamengku Buwono yang menerima kedatangan tim sempat mencoba WW II mengelilingi Kaben Keraton. Setelah acara ramah tamah dan foto bersama Sri Sultan, tim meninggalkan keraton menuju Sragen Saat itu hujan mulai reda dan WW II meluncur dengan kecepatan 30 km/jam di tengah lalu lintas Yogya yang cukup padat di malam hari. Beberapa saat kemudian, gerimis datang lagi.
Dengan kecepatan konstan WW II tetap menjadi perhatian warga meski berjalan di malam hari. Dua lampu depan menyala disertai hazard yang terus berkelap-kelip sepanjang jalan dalam kota sampai meninggalkan Yogyakarta, di tengah gerimis yang semakin deras.
Memasuki Jalan Supeno, kecepatan WW II ditambah menjadi 35 km/jam dan ditambah lagi menjadi 40 km/jam karena jalan agak sepi dan mulai meninggalkan Yogya. Memasuki Jalan Janti WW II menepi di tengah hujan gerimis. Kami semua khawatir, jangan-jangan uji coba malam hari ini ada gangguan yang bisa menghambat perjalanan malam yang memang dinanti-nanti seluruh tim untuk menguji kendaraan ciptaan mereka. Tapi, ternyata menepinya WW II di tengah hujan gerimis itu hanya ulah Andang dan Kelik yang menjadi pilot dan co pilot WW II. Mereka ingin ganti sisi saja. Kelik tampaknya ingin menikmati bagaimana mengemudikan WW II pada malam hari, sehingga Andang harus bergeser dari tempat duduknya. Ia digantikan Kelik, mahasiswa Teknik Perkapalan, yang punya nama asli Nugroho Sunargoto. Setelah itu sekitar 19.50 WW II berangkat lagi.
Memasuki daerah Kalasan hujan semakin deras, tetapi WW II tetap melaju dengan kecepatan 40 km/jam. Hal ini membuat PR III Ir Hadi Sutrisno khawatir, apalagi dia melihat kap mesin WW ll agak terbuka. Karena itu, dia bersama beberapa dosen ITS yang mengiringi WW II memerintahkan tim untuk berhenti. Akhirnya WW II berhenti setelah menumpuh jarak 20 km. Diputuskan untuk meneruskan perjalanan meskipun gerimis, dengan menutupi solar cell yang dipasang di kap di atas mesin dengan plastik yang dibawa dari Yogya. Tetapi, hal itu dibatalkan karena tidak ada tali untuk mengikat plastik tarsebut. Akhirnya diputuskan menutup mesin dengan penutupnya yang dilepas sejak perjalanan dari Jakarta. WW II lantas melaju lagi dengan kecepatan 40 km/jam dan meninggalkan Kalasan, memasuki kawasan Prambanan pukul 20.05. Saat itu dua lampu WW II mati dan tinggal hazard yang menyala. Tampaknya ada gangguan terhadap lampu itu, tetapi Kelik tidak tahu penyebabnya. Namun, mereka tetap meneruskan perjalanan. Kekhawatiran tim akan kerusakan motor saat hujan, terutama hubungan pendek yang bisa terjadi karena terguyur hujan dan meledakkan alat-alat elektronik akibat
tegangan yang 125 volt dengan arus 80 ampere, pupus setelah melihat WW II tetap meluncur mulus tanpa menunjukkan tanda-tanda adanya gangguan.
Pukul 20.10 rombongan terpaksa dihentikan karena terjadi panggantian pengawal di depan Candi Prambanan. Sayang sekali, di rute ini kami berjalan malam hari sehingga tidak bisa menyaksikan keindahan candi yang terletak di pinggir jalan ini. Tak lama kemudian rombongan berangkat lagi dengan kecepatan 30 km/jam.
Di tempat ini kami mulai ingat harus mulai menulis berita. Karena perjalanan masih panjang dan kami jauh dari wartel yang ada di Kartasura, 20 kilometer di depan kami. Akhirnya sambil mengawal WW II kami mulai dengan mesin ketik yang kami bawa dari Surabaya. Sambil mengawasi WW II memasuki Klaten pukul 20.20 kami sesekali harus berhenti untuk menanyakan perkembangan WW II yang berada
persis di belakang kami.
Sampai di Jalan Merbubu, jalan mulai menanjak dan berbelok tajam, tapi rute itu dapat dilalui dengan mudah oleh WW II yang kemudian harus berhenti karena mengganti satu set aki pukul 20.40. Tim berangkat lagi pukul 21.00 menuju Sragen dengan mobil tim berada di depan rombongan. Tim sempat tersesat sekitar 2 kilometer karena mobil tim yang berada di depan tidak tahu jalan menuju Sragen. Untungnya, polisi yang mengawal segera menyusul dan memberi tahu mobil tim. Rombongan dihentikan untuk berputar menuju arah yang sebenarnya. Sampai di sini kami terpaksa meninggalkan WW II dan rombongan untuk mengirim berita di Kartasura. Di mobil Jawa Pos turut menumpang 4 mahasiswi ITS. Mobil mereka tidak bisa mengangkut orang lebih banyak lagi karena penuh dengan barang. Di mobil JP juga ada tiga tim teknis yang membantu memberi aba-aba selama mengawal WW II sepanjang perjalanan Yogyakarta-Sragen. Sampai berita ini dikirim, tim dan WW II masih meneruskan perjalanan menuju Sragen dengan pengawalan polisi. Semangat tim tampaknya patut mendapat acungan jempol, mengingat rute malam ini terasa sangat berat karena kami banyak berpapasan dengan mobil yang berjalan kencang dan tidak mengetahui ada mobil eksperimen yang berjalan di jalur luar kota pada malam hari. Beberapa mahasiswa juga harus rela berangin-angin di malam hari di belakang mobil Kijang pick-up yang dibawa tim untuk “membuka” jalan di belakang mobil polisi. Hal itu dilakukan terus selama perjalanan, mengingat jarak mobil polisi dan WW II cukup jauh, sehingga sering ada mobil yang hampir menyelonong selepasnya berpapasan dengan mobil polisi. (andung k/budhi)
———————————————
Masuk ”Kampung” tanpa Tarik-Dorong Lagi
Ungkapan “bersakit sakit duhulu, bersenang-senang kemudian” rupanya paling tepat untuk tim mobil listrik tenaga matahari Widya Wahana (WW) II. Setelah mengalam banyak “cobaan” pada etape-etape awal, tim WW kini bisa banyak tersenyum. Mulai etape IV sampai etape VII kemarin, mobil cantik berbodi mungil ini tidak banyak tingkah.
Sepanjang etape VII dari Sragen ke Madiun kemarin, WW II tanpa gangguan sama sekali. Jarak sekitar 90 kilometer itu ditempuh dalam waktu tiga jam. WW II hanya berhenti di dua tempat untuk mengganti aki saja, yakni di Desa Kauman, Ngawi, dan Maospati, Madiun.
Memasuki perbatasan Jawa Timur pukul 11.18, setelah dilepas Bupati Sragen Bawono, WW II mendapat sambutan sangat meriah. Bahkan, kalau dibandingkan dengan kota-kota sebelumnya, sambutan saat memasuki Jatim paling meriah. Arek-arek ITS pun bersorak gembira karena merasa sudah sampai di “kampung” sendiri. Walaupun, masih sekitar 300 kilometer lagi perjalanan yang harus ditempuh. Sepanjang perjalaman Mantingan-Madiun, warga dua kota ini seolah-olah tumpah ke jalan menyambut kedatangan WW II.
Hal ini membuat mahasiswa ITS semakin bersemangat. Mereka bertekad akan melakukan road test sepanjang sisa perjalanan, tanpa ada penarikan WW II lagi. “Meskipun harus melalui medan berat Kediri-Malang pada etape VIII, kami sepakat akan menjajal keampuhan WW II menaklukkan rute itu,” kata Yanto, anggota tim teknik.
Wajar saja kalau para mahasiswa mulai optimistis bisa melampaui rute-rute berikutnya, sebab saat melintasi tanjakan cukup tajam dan berkelok di hutan Mantingan, WW II bisa melampauinya dengan baik.
Memasuki Mantingan, polisi yang mengawal sejak Sragen diganti. Kali ini yang mengawal Polwil Madiun dan mobil Patroli Jalan Raya (PJR). WW II dalam etape ini dikemudikan Agus Susilo, berjalan dengan kecepatan 45 kilometer per jam.
Perjalanan sangat lancar, padahal medan memasuki hutan Mantingan-Kedunggalar sepanjang 18 kilometer cukup berat karena banyak tanjakan dan tikungan tajam. Ini berkat pengawalan ketat polisi yang terus-menerus membunyikan sirene sambil mengumumkan perjalanan WW II dari Jakarta ke Surabaya ini, sehingga bus yang biasanya ugal-ugalan dan kendaraan lainnya menepi dan memberikan jalan kepada rombongan.
Memasuki Desa Kauman, cuaca mulai mendung, tetapi perjalanan WW II tak terpengaruh sama sekali. Di desa ini secara tak disangka kami disambut tujuh pengendara Harley Davidson dari Harley Davidson Club Indonesia (HDCI) Madiun.
Arak-arakan bertambah meriah karena ketujuh pengendara Harley yang berada di belakang dan samping mobil Jawa Pos tersebut juga membunyikan sirene menyaingi mobil polisi yang berjalan di depan sambil mengumumkan perjalanan WW II. Raungan sirene ini semakin menambah semaraknya suasana dan menarik perhatian warga. Di desa ini WW II sempat berhenti sebentar mengganti aki. Sementara itu, hujan rintik-rintik mulai turun.
Sekitar pukul 11.55 rombongan meneruskan perjalanan dengan kecepatan 40 kilometer perjam. Sepanjang jalan ini cuaca terus berubah-ubah panas dan gerimis, tetapi WW II tetap meluncur meskipun melewati tanjakan yang cukup tajam. Tiap kali melewati tanjakan, mobil yang berada di depan WW II harus makin menambah kecepatan. Sebab pada tanjakan kecepatan WW II bisa bertambah besar dengan menjaga kestabilan pada tekanan pedal gas. Pada kondisi ini Chopper membantu memasok arus ke motor sehingga laju motor tetap stabil dan bisa berjalan lancar di tanjakan, asalkan awalan yang digunakan pilot sudah benar.
Kecepatan WW II bertambah menjadi 60 kilometer per jam pada pukul 12.13 saat melewati hutan jati dengan jalan agak datar dan menurun. Di sepanjang jalan yang melewati beberapa desa ini, sambutan warga mulai terasa meriah. Bahkan, sesampai di Desa Watualang, Ngawi, sekitar pukul 12.40, ratusan pelajar SMP 3 Watualang berseragam pramuka berbaris di pinggir jalan yang dilalui WW II.
Masuk kota Ngawi pukul 12.43, sambutan masyarakat bertambah meriah. Ada sebuah, spanduk terpasang di tengah jalan dari Ikatan Mahasiswa Pelajar Ngawi-ITS yang menyambut kedatangan rombongan. Di kota ini kami sempat merasa haru dengan sambutan masyarakat dalam kota Ngawi. Mereka mengelu-elukan kedatangan WW II melintasi Kota Ngawi. Bahkan ada seorang gadis berjilbab yang menghentikan mobil Jawa Pos yang juga mengangkut beberapa anggota tim dan memberikan dua buah kotak kardus putih yang ternyata berisi makanan khas kota Ngawi, keripik tempe. Kontan saja bingkisan tak terduga itu diterima para mahasiswa dan langsung ludes. Ternyata mereka doyan juga keripik tempe, makanan khas Ngawi tersebut.
Di kota ini pula masyarakat Ngawi memenuhi jalan-jalan sepanjang rute yang ditempuh WW II. Sambutan bertambah meriah ketika ratusan pelajar berhamburan keluar dari sekolah di daerah Geneng, menjelang perbatasan Ngawi-Madiun.
Memasuki Maospati, sambutan tetap meriah dan di tepi jalan di Maospati WW II berhenti untuk ganti aki. Tak lama kemudian, suasana bertambah marak lagi saat memasuki kota Madiun karena tiga jeep rombonga KNPI juga turut menyambut kedatangan tim WW II dan ikut mengiringi rombongan masuk kota Madiun. Di kota Brem ini rombongan diarak keliling kota dengan kawalan polisi ditambah raungan tujuh Harley Davidson. Di kota Madiun ini ternyata rombongan sudah ditunggu walikota dengan Muspida di depan kantor walikota Madiun. Kami tidak menduga sama sekali kalau di Madiun akan mendapat sambutan dari Walikota Drs Masdra M. Yasin, dan rombongan dapat menepati janji, tiba di tempat sesuai dengan jadwal. Padahal sebelumnya tim selalu datang terlambat di tempat tujuan.
Sesudah itu, rombongan langsung menuju ke Makorem 081 Madiun untuk tatap muka dengan para siswa SMA se-Madiun. Malamnya rombongan dijamu walikota di rumah dinas walikota. Dan pagi ini rombongan akan diberangkatkan walikota Madiun di halaman balai kota untuk melanjutkan, perjalanan menuju Kediri menempuh jarak 106 kilometer. (andung/budhi)
———————-
Tinggal Ujung, WW II Tak Ingin Malu
Ratusan mnhasiawa ITS (Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya) akan menyambut kedatangan WW II (Widya Wahana) II di Malang besok, dan mengawalnya sampai ke Surabaya keesokan harinya. Sesuai dengan jadwal, perjalanan eksperimen mobil listrik tenaga matahari itu akan berakhir di Surabaya pada hari Rabu, 2 September 1992.
Perjalanan etape VIII Madiun-Kediri kemarin dilalui dengan penuh semangat. Bayang-bayang kota Surabaya sudah menggoda tiap-tiap anggota tim. Maklum, sudah sepekan lebih mereka meninggalkan kota yang dicintainya itu.
Pemberangkatan WW II dari Madiun menuju Kediri kemarin lebih awal dua jam dari biasanya. Tim sengaja berangkat lebih pagi untuk mengetahui kemampuan WW II menjalani rute Madiun-Kediri yang agak berat, terutama di sekitar hutan Saradan.
Tidak ada perbaikan kendaraan, hanya pemeriksaan rutin dan men-charge aki. Selain itu, mereka mendapat pemberitahuan bahwa seluruh aparat Pemda dan Muspida Kediri akan menunggu kedatangan tim WW II pada sekitar pukul 14.00. Karena tidak ingin mengecewakan para petinggi di Kediri itulah, mereka memutuskan berangkat lebih pagi.
“Kalau ada apa-apa di tengah perjalanan, kami mempunyai kesempatan mengatasinya dengan tenggang waktu yang lebih leluasa seperti ini,” kata Sapto Handoyo, ketua tim.
Kondisi WW II saat ini ternyata benar-benar bagus. Tidak terjadi gangguan yang berarti pada komponen utamanya, meski charge aki dilakukan kurang dari batasan waktu optimum pengisian aki. Kemarin malam, di Madiun charge aki hanya dilakukan sekitar tiga setengah jam. Normalnya, sekitar lima jam.
Perasaan anggota tim WW II sempat kebat-kebit karena malam sebelumnya Madiun diguyur hujan cukup deras. Tim khawatir, jangan-jangan WW II harus ditarik lagi karena pengisian aki yang kurang sempurna. Kalau hal itu sampai terjadi, tida bisa dibayangkan bagaimana perasaan mereka memasuki Kediri dengan WW II ditarik mobil lain. “Malu sekali”, tampaknya kata yang paling tepat untuk menggambarkan perasaan mereka bila sampai WW II menjelang masuk kampung sendiri harus ditarik.
Di Madiun, WW II dilepas Sekodya Madun S. Munir pukul 08.10. Madiun yang semalaman diguyur hujan, pagi itu masih kelihatan mendung. Tetapi, dengan Bobby sebagai pengemudinya, WW II tetap saja melaju dengan kecepatan 40 kilometer per jam. Meskipun Minggu, pemberangkatan WW II tetap saja ramai. Suasana tambah marak karena di Madiun ada lomba gerak jalan siswa SD.
Dengan dikawal dua unit mobil polisi di depan dan empat BM membuka jalan, WW II berjalan mulus melintasi perbatasan Madiun-Caruban didampingi tujuh pengendara Harley Davidson yang membunyikan sirene. Kali ini tidak ditemui hambatan sama sekali. Tampaknya petugas benar-benar memaklumi kesulitan tim WW setiap kali lewat jalur padat kendaraan. Empat BM memgambil inisiatif berada jauh di depan WW II dan menghentikan tiap kendaraan yang berjalan dari arah berlawanan. Dengan demikian, rombongan WW II dapat berjalan lancar tanpa khawatir disentuh kendaraan lain.
Memasuki Caruban, banyak warga setempat yang berlari keluar dari rumahnya, turun ke pinggir jalan menyaksikan mobil yang katanya bisa berjalan tanpa bensin itu. Melihat sambutan warga, sopir WW II melambai-lambaikan tangan dari jendela mobil. Sampai perbatasan Caruban-Saradan, tujuh pengendara Harley Davidson berhenti. Rupanya mereka hanya menyambut dan mengantar tim sampai meninggalkan Kabupaten Madiun. Rombongan terus berjalan dan memasuki hutan jati Saradan pukul 09.03. Melihat jalan mulus di hutan ini tim sangat antusias bisa melewatinya. Tetapi, mereka mulai khawatir saat rombongan memasuki jalan yang agak sempit dan mulai naik turun serta tikungan tajam. Namun, akhirnya mereka bisa bernapas lega setelah WW II bisa menaklukkan tanjakan pertama. Setelah menempuh jarak 29 kilometer, WW II istirahat. Tim berunding untuk mengganti satu set aki di WW II yang belum sempat di-charge di Madiun. Aki tersebut sudah digunakan untuk menempuh jarak 15 kilometer saat memasuki Madiun, sehingga pada kilometer 29 meninggalkan Madiun mereka ragu apakah aki masih mempunyai tegangan cukup untuk menjalankan WW II. Saat itu diputuskan untuk meneruskan lagi perjalanan sampai tegangan aki benar-benar habis dan kendaraan berhenti dengan sendirinya. Karena itu, WW II kemudian dipacu lagi.
Dua ratus meter dari tempat berhenti tersebut, tepatnya di Desa Sidorejo, pendirian tim berubah lagi. Tampaknya mereka ragu terhadap keputusan yang telah diambil dan menghentikan rombongan untuk mengganti aki. “Daripada nanti ada komponen yang rusak karena tegangan yang terlalu rendah, lebih baik aki diganti,” kata Adi Prasetyo, koordinator divisi elektrik tim eksperimen.
Rupanya mereka masih ingat akibat tegangan yang terlalu rendah dan sempat mengganggu komponen elektronik saat berangkat dari Jakarta. Waktu itu, akibat tegangan rendah dan mobil dipaksa jalan, WW
II rewel sepajang jalan sampai Cirebon. Ada saja komponen elektronik yang ngadat yang bersumber dari tegangan yang kurang sempurna.
Saat berhenti untuk mengganti aki di desa ini, tim sempat bingung karena beberapa aki yang di-charge kurang dari lima jam ternyata tegangannya kurang memenuhi syarat. Padahal, ketika itu mereka jauh dari tempat untuk men-charge aki. Lagi pula diperlukan waktu agak lama untuk mengisi aki.
Aki yang dianggap masih cukup baik, setelah diukur dengan higrometer dan avometer, dipasang untuk menggantikan aki yang dipakai WW II. Untuk mengatasi aki lain yang tegangannya kurang sempurna diputuskan menggunakan sarana charge seadanya, yakni nunut charge di mobil lain dengan menghubungkan aki tersebut ke aki mobil. Cara ini dianggap paling efektif, sebab di tiap mobil berbahan bakar bensin ada sistem pengisian aki secara otomatis oleh alat disebut altenator atau dinamo isi.
Di mobil bensin ada dua jenis dinamo, satu dinamo starter yang digunakan untuk men-start mesin mobil dan dinamo isi atau altenator untuk mengisi aki selama mesin berputar. Aki di mobil bensin hanya digunakan untuk menstart dinamo starter. Setelah itu putaran mesin akan menggerakkan alternator dan mengisi aki lagi. Alat ini akan mengisi aki secara otomatis. Kalau tegangan aki sudah cukup, pengisian akan berhenti sendiri, sedangkan kalau tegangan aki kuran atau kosong, altenator akan segera mengisi dengan cepat.
Inilah yang rupanya menjadi dasar pemikiran Dono, mantan personel WW yang di-”bon” mendampingi tim WW II, yang akan diwisuda awal September ini. Dengan dasar itulah, empat mobil yang mengiringi WW II termasuk mobil Jawa Pos mendapat jatah masing-masing satu aki.
Setelah itu rombongan meneruskan perjalanan lagi dengan Fritz sebagai piIot dan Arna Fariza mahasiswiTeknik Komputer yang menjadi tim nonteknis dan terus mendampingi tim, sebagai pendamping pilot. Sampa sejauh itu perjalanan masih mulus. Bahkan, WW II mampu menaklukkan tanjakan tajam di Wilangan pukul 10.10 selepas dari hutan jati. Kelancaran perjalanan rombongan terhambat karena ada kereta api lewat sekitar pukul 10.18, saat rombongan hendak memasuki Bagor. Saat berhenti itulah Arna yang akrab dengan panggilan Ninok, diganti Hermita Dyah Puspita, mahasiwi FMIPA yang juga tergabung daIam tim nonteknis. Rupanya mereka ingin berbagi rasa menikmati mobil buatan mereka.
Di Desa Maron, enam kilometer dari kota Kediri, WW II ganti aki lagi sekitar pukul 11.22. Saat itu polisi yang mengawal mengatakan bahwa acara penyambutan baru dilaksanakan pukul 14.00 sesuai dengan yang disepakati. Tampaknya tim nonteknis masih ragu akan kemampuan WW II sehingga dia membuat perjanjian agak siang. Maklum, sebelum masuk Jawa Timur, WW II selalu terlambat.
Selesai mengganti aki pukul 11.45 rombongan berangkat lagi dan memasuki Kediri tiga menit kemudian. Disini rombongan dihentikan di kantor Pembantu Gubernur di Kediri sambil menanti persiapan di balai kota. Tak lama kemudian tim berangkat lagi menuju balai kota. Di sana sudah menunggu Walikota Kediri Drs Wijoto bersama aparat pemda dan muspida. Seusai acara penyambutan, walikota mencoba WW II. Rombongan kemudian dijamu walikota pukul 19.30 di balai kota.
Pagi ini tim akan dilepas walikota setelah bertemu muka di SMAN 2 Kediri. Di Malang, menurut panitia, rombongan akan disambut ratusan mahasiswa ITS yang akan mengawalnya sampai Surabaya. Di Surabaya mereka akan keliling kota setelah menghadap Walikotamadaya Surabaya dr H Poemomo Kasidi. (andung k/budhi k)
——————————————
Keliling Kota Menjelang sampai Kandang
Pulang ‘kandang” hari ini, tim mobil listrik matahari Widya Wahana (WW) II akan mengadakan kirab keliling, kota setelah menghadap walikota Surabaya di kediaman Jalan Walikota Mustajab. Rombongan akan diberangkatkan pagi ini oleh Walikota Malang Soesamto sekitar pukul 10.00 dari Balai Kota Malang dan diperkirakan masuk Surabaya pukul 13.00.
Perjalanan etape terakhir ini diharapkan berjalan mulus, karena rute yang akan ditempuh hanya 90 km dan tidak seberat Kediri-Malang, yang sejauh sekitar 160 km dan melewati jalan penuh tanjakan serta tikungan tajam.
Memasuki Surabaya lewat Jalan Raya Waru nanti siang, rombongan akan terus berjalan ke utara langsung masuk Jalan Raya Darmo, Jalan Basuki Rahmat, Jalan Pemuda, Yos Sudarso, Jalan Walikota Mustajab.
Setelah diterima walikota sekitar pukul 14.00 dan mengikuti acara ramah tamah, tim WW II akan langsung “unjuk gigi” keliling Surabaya lewat Jalan Wijaya Kusuma, Viaduct Gubeng, Jalan Pemuda, Jalan Panglima Sudirman, dan berputar masuk Jalan Basuki Rahmat terus menuju Blauran dan Bubutan. Dari Malang, rombongan akan dikawal mahasiswa ITS sepanjang perjalanan menuju Surabaya.
“Dari Jalan Bubutan, tim akan meneruskan perjalanan ke Jalan Indrapura dan langsung masuk Jalan Rajawali, Jalan Kembang Jepun, terus ke timur masuk Jalan Kapasan, Kapasari, dan Ngaglik. Melintasi Tambaksari, rombongan akan berjalan terus ke Jalan Darmahusada dan lewat Jalan Dharmawangsa. Setelah itu, masuk Jalan Kertajaya terus ke Manyar Kertoarjo dan Kertajaya Indah. Dari sini WW II akan masuk “kandang”-nya, kampus ITS. Sementara itu, rute pada etape yang ditempuh WW II kemarin ternyata tidak semudah yang dibayangkan tim teknis sebagai perawat WW II seluma ini. Beberapa kali WW II terpaksa ditarik karena menjumpai rute yang agak rawan, terutama ketika memasuki hutan jati di Wlingi, Blitar, dan saat melewati rute “gila” memaauki kawasan Bendungan Sutami di Karang Kates. Berangkat dari Kediri pukul 10.40 setelah mengadakan temu muka dengan siswa SLTA di SMAN 2 Kediri, WW II dilepas Kapolres Kediri Letkol Pol Drs Moch. Soewondo disaksikan Walikota Kediri Wijoto dengan driver Kelik dan Agus Susilo. Di Kediri ini WW II tampaknya sudah dinanti warga Kediri. Ini terlihat dari banyaknya warga, yang telah menunggu di pinggir jalan kota Kediri dan sepanjang jalan menuju Tulungagung. Sepanjang jalan ini tim WW II tampaknya tidak terlalu risau dengan cuaca. Karena, saat itu berawan di sepanjang jalan yang dilewati rombongan WW II. Meskipun hujan mulai turun di Desa Purwokerto, Kecamatan Ngadiluwih, sekitar pukul 11.05, WW II tetap berjalan dengan kecepatan antara 35 dan 40 kilometer per jam dan dikawal dua BM dan dua unit mobil polisi serta 10 Volks Wagon dari VW club Kediri yang juga ikut menyambut kedatangan WW II sehari sebelumnya. Di jalan ini Agus Susilo melambaikan tangan saking gembiranya mendapat sambutan hangat dari warga setempat. Sambutan cukup meriah saat melewati sebuah SMP menjelang Desa Kras, Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri. Di sekolah ini ratusan siswa SMP berbaris di pinggir jalan menunggu WW II melintas di depan mereka. Rombongan VW club Kediri memisahkan diri dan kembalir ke Kediri.
Jalan yang ditemguh mulai menanjak ketika rombongan mulai meninggalkan Kabupaten Kediri dan memasuki Tulungagung puku11.25 setelah menempuh jarak sekitar 25 km. Sampai di Desa Bendosari, Kecamatan Ngantru, jalan kelihatan basah, tampaknya di desa ini baru saja turun hujan. Tak lama kemudian gerimis mulai turun, dua polisi dengan BM di depan rombongan mengenakan jas hujan putih, sementara WW II tetap melaju dengan keoepatan 40 kilometer per jam.
Hujan mulai agak deras ketika rombongan memasuki Kecamatan Kedungwaru.Tetapi, WW II tetap meluncur dengan kecepatan konstan, meskipun dia berjalan tanpa whiper, karet pembersih kaca. Hal itu mungkin karena WW II sudah pernah diteter gerimis saat melakukan perjalanan malam beberapa hari lalu. Memasuki Jalan Pahlawan, Tulungagung, sambutan masyarakat setempat tetap saja hangat meskipun diguyur gerimis agak deras.
Sampai di Desa Losari, Kecamatan Ngunut, sekitar pukul 12.10, WW II dihentikan untuk ganti aki dan pengecekan beberapa komponen. Pengecekan baru dilaksanakan ketika mengganti aki, sebab di Kediri WW II belum sempat diperiksa. Hal itu dilakukan karena selama di Kediri WW II ter-”sandera” di garasi rumah dinas walikota. “Kuncinya dibawa sopir pak Wali pulang, sehingga kami tidak bisa mengeluarkan WW II dan mengeceknya,” kata Andang Gunawan.
Pada kesempatan itu pula dilakukan spooring pada roda belakang sebelah kiri karena beban arus di roda ini terlalu besar, yakni 40 ampere. “Mestinya beban maksimum roda belakang adalah 30 ampere. Kalau tidak, maka pemakaian aki akan boros dan menghambat kelancaran perjalanan,” kata Kelik.
”Setelah selesai diganti dan dispooring, pukul 12.35 rombongan melajutkan perjalanan menuju Blitar dan WW II masuk Blitar pukul 13.20. Cuaca tetap mendung dan WW II terus melaju dengan kecepatan 30 kilometer per jam. WW II tetap melaju sampai sekitar 14.00 dan berhenti kecamatan Talun untuk ganti aki setelah menempuh jarak 90 kilometer. Tak lama kemudian sekitar pukul 14.15 rombongan berangkat lagi dan istirahat pukul 14.25 untuk makan siang dikecamatan Blitar.
Setelah makan siang selesai sekitar pukul 15.33 rombongan berangkat lagi dengan Heru “Lontong” sebagai pilot. Memasuki kawasan Wlingi, tepatnya Desa Beru, kesulitan mulai membagang di depan WW II. Jalan di kawasan ini mulai penuh dengan tanjakan panjang, sehingga memasuki daerah ini WW II hanya mampu berjalan dengan kecepatan 30 sampai 35 kilometer per jam. Meninggalkan Wlingi, jalan mulai penuh dengan tanjakan tajam dan tikungan.
Tampaknya keraguan mulai menghinggapi tim ketika menghadapi medan yang cukup berat saat memasuki Desa Siraman kecamatan Kesamben. Di kawasan ini, sekitar pukul 16:05 setelah menempuh jarak 103 kilometer akhirnya diputuskan untuk menepi. Dan setelah berunding sebentar tim memutuskan menarik WW II sampai medan dirasa tidak berat lagi. Lima kilometer kemudian diputuskan untuk mencoba menaklukkan rute ‘gila’ di kawasan hutan jati ini dan WW II berjalan lagi memasuki Desa Pager Gunung. Medan bertambah berat dan jalan mulai menanjak panjang. Tapi, sampai sejauh ini WW II dapat melampauinya dan hanya perlu dorongan sejauh 5 m puncak tanjakan. Setelah itu WW II berjalan lagi dengan kecepatan 30 kilometer per jam sampai pukul 16.35.
Rombongan berhenti lagi dan WW II harus ditarik lagi karena menghadapi medan yang terlalu berat bagi WW II. Mobil antik itu terus ditarik sampai 10 km dan memasuki Karang Kates, Malang, sekitar pukul 16.50. Tali dilepas tepat di pintu masuk tempat rekreasi Karang Kates pukul 16.55 dan WW II berangkat lagi pukul 17.00 dan melaju dengan kecepatan 40 km/jam diiringi hujan gerimis.
Memasuki kawasan Kepanjen, rombongan dihadapkan pada medan yang agak berat lagi, tetapi tim memutuskan tetap membiarkan WW II berjalan sendiri tanpa ditarik sampai di Desa Jatikerto pukul 17.30 WW II didorong saat hendak melewati puncak tanjakan di daerah ini dan dilepas begitu puncak tanjakan terlewati. WW II dihentikan di dasar turunan di tempat itu untuk ganti aki lagi sekitar pukul 17.55. Rupanya medan di daerah ini pun cukup berat dan WW II harus didorong sebentar untuk awalan mendaki tanjakan berikutnya. (andung/budhi/)
———————————————————-
Nikmat Membawa Sengsara karena Lupa
Perjalanan “hidup mati” (mesin) mobil listrik bertenaga matahari Widya Wahana (WW) II ITS berakhir tadi malam. Suasana haru campur gembira menyelimuti seluruh anggota tim. Begitu tiba di kampus ITS, Sukolilo, sekitar pukul 19.00, mereka langsung berpelukan sambil meneriakkan salam khas ITS, ”Arek ITS…Cuk!” (“Cuk” adalah singkatan dari “cerdas, ulet, dan kreatif”)
Dilepas dari Balai Kota Malang oleh Wakapolresta Malang Mayor Pol Drs Wahyono mewakili Muspida pukul 10.55, WW II meninggalkan kota Apel itu dengan kegembiraan yang tidak terlukiskan, mengingat “kandang” sudah membayang di pelupuk mata.
Memang, sejak masuk Jawa Timur para kru WW II kelihatan tidak sabar untuk segera berbemu “arik-arik” (istilah bagi para mahasiswi ITS di Surabaya). Hal itu dapat dimaklumi, sebab lebih dari sepuluh hari mereka ”dihajar” berbagai masalah sepanjang perjalanan sejak pemberangkatan dari Jakarta.
Mungkin saking gembiranya, para mahasiswa itu ”lupa diri” memacu WW II sampai kecepatan 70 kilometer per jam saat turun di daerah Purwodadi sekitar pukul 11.35. Memacu WW II dalam kecepatan seperti itu nikmat rasanya. Tetapi, harap diingat, limit kecepatan WW II adalah antara 40 sampai 50 kiIometer perjam. Di atas angka itu kondisi WW II bisa dikatakan rawan karena peralatan yang dipasang belum sempurna betul, baik penyetelannya maupun kondisi mekanik setelah menempuh jarak sekitar 1.000 kilometer. Akhirnya, terjadilah apa yang dinamakan “Nikmat membawa sengsara karena Iupa!”
Bantalan cross join yang terpasang di bawah motor penggerak pecah sehingga rombongan harus dihentikan karena tanpa cross joinn, WW II tidak bisa meneruskan perjalanan dan harus ditarik. Bukan itu saja, flens yang ada di cross join itu ternyata juga bengkok setelah bantalan cross join pecah. Yang lebih parah lagi, ternyata kerusakan itu juga merembet pada poros antara yang sudah diganti dengan steel bekas kapal. Poros itu bengkok lantaran rantai penghubung sprocket juga putus sebelah yang menyebabkan tarikan pada roda gigi tidak seimbang.
Tetapi, tim bertekad memasuki Surabaya tanpa tarikan lagi, apa pun yang terjadi. Sehingga diputuskan untuk mengirim beberapa anggota tim ke Lawang untuk mencari bengkel bubut untuk memperbaiki cross join dan flens yang juga bengkok. Sementara itu, pemeriksaan pada komponen lainnya juga dilakukan sambil menunggu anggota tim kembali dari Lawang. Nugroho Sunarjoto dan Heru Kristiawan menyediakan ring darurat dari karet untuk dipasang di flens apabila tim tidak berhasil memperoleh ring karet yang baru dan sesuai dengan flens tersebut.
Para mahasiswa itu benar-benar menyesal, mengapa justru ketika akan memasuki Surabaya gangguan datang lagi. Bahkan, gangguan terakhir ini dirasa paling berat karena menimpa komponen yang sangat vital dan tim tidak menyediakan suku cadangnya. Tim teknis yang bertanggung jawab pada peralatan transmisi bahkan nyaris putus asa menghadapi gangguan terakhir ini. Sungguh, kerusakan itu tidak diduga karena selama menempuh perjalanan memasuki Jawa Timur tidak tampak kerewelan sama sekali pada WW II. Kerewelan yang agak terasa adalah bergetarnya rantai pada critical speed.
Pada kondisi kecepatan tertentu rantai akan bergetar karena putaran poros antara dan gardan mencapai titik ‘rawan’ sehingga rantai tidak berputar sesuai dengan tegangan normal. Hal inilah yang menyebabkan rantai bergetar dan menimbulkan suara yang cukup keras. Tetapi sejauh ini getaran tersebut dapat diatasi dengan memperlambat atau mempercepat laju WW II.
“Kebetulan critical speed WW II terjadi pada kecepatan optimum, yakni 40 kilometer per jam. Di atas atau di bawah kecepatan itu rantai tidak akan bergetar,” kata Andang Gunawan, driver andalan WW II dari divisi transmisi.
Rupanya kondisi critical speed itu kemarin siang terabaikan oleh Arif Kusharyono yang bertindak sebagai driver untuk etape terakhir ini. Dia membiarkan WW II melaju dengan kecepatan 70 kilometer perjam saat melewati jalan menurun panjang menjelang Kebun Raya Purwodadi, 25 kilometer dari Malang. Tanpa mengerem sama sekali dia melaju dengan kecepatan itu, bahkan kendaraan pengawal di depannya hampir tersusul. Tampaknya dia sudah tidak sabar lagi ingin cepat sampai di Surabaya dan bisa ketemu “arik-arik”-nya.
Kami pun sebenarnya kaget juga melihat WW II bisa meluncur dengan kecepatan setinggi itu. Karena dengan kecepatan itu berarti rekor kecepatan WW II bisa terlampaui. Padahal, sejak berangkat dari Jakarta kecepatan WW II hanya berkisar antara 40 sampai 50 kilometer per jam. Kecepatan lebih tinggi lagi sekitar 60 kilometer per jam bisa dicapai saat jalan turun atau saat WW II ditarik untuk mengejar waktu.
Di dalam hati kami juga tebersit suatu kegembiraan membayangkan WW II tiba di Surabaya tepat waktu atau lebih cepat dan disambut warga Surabaya setelah “berkelana” sekitar sepuluh hari. Tentunya arek-arek ITS pun akan gembira jika sampai di Surabaya tepat pada waktunya dan keliling kota bersama ratusan mahasiswa ITS yang tentunya sudah menunggu kedatangan mobil ciptaan arek ITS itu sejak siang hari.
Harapan kami ternyata pupus setelah melihat WW II menepi di Purwodadi cukup lama. Banyak anggota tim yang menyangka bahwa menepinya WW II itu karena ganti driver saja, sehingga mereka pun menunggu saja di mobil tanpa menghiraukan WW II yang dikemudikan Arif didampingi Birowo. Tetapi setelah menunggu cukup lama WW II tidak juga bergerak, mereka segera mendekati. Ternyata WW II ngadat lagi, bahkan lebih parah daripada trouble sebelumnya.
Harapan kami tiba di Surabaya tepat waktu pun pupus setelah sampai pukul 13.00 perbaikan belum juga selesai. Apalagi, Andang mengatakan bahwa perbaikan tidak bisa dilakukan secepatnya. “Paling tidak perbaikan akan makan waktu dua sampai tiga jam lagi, meskipun tinggal memasang flens atau cross join saja,” katanya.
Kekhawatiran ternyata tidak hanya dirasakan tim, Rektor ITS Prof Oedjoe Djoeriaman MSc PhD ternyata juga khawatir setelah menunggu sampai pukul 14.30 rombongan tidak juga kelihatan masuk Surabaya. Sehingga dia memutuskan untuk menyusul ke Malang dan meninggalkan persiapan penyambutan di Surabaya. Dia terpaksa membatalkan penyambutan yang akan dilakukan walikota Surabaya.
Kami agak lega setelah beberapa tim yang membubutkan flens dan cross join kembali dari Lawang pukul 14.15. Andang langsung memasang cross join beserta flensnya dibantu anggota tim dari divisi mekanik.
Setelah pemasangan cross join selesai, rombongan berangkat lagi sekitar pukul 15.25 dengan Andang sebagai driver, tanpa pendamping. Tampaknya dia masih ingin mencoba hasil pemasangan cross join tersebut. WW II melaju dengan kecepatan konstan 40 kilometer per jam, baik di jalan lurus rata
maupun menurun. Tampaknya, dia tidak ingin mengulang kesalahan dengan menjaga kecepatan WW Iiagar tetap di bawah ambang rawan. Saat jalan menurun, dia mengurangi kecepatan WW II dengan rem elektris yang terpasang di bawah jok pilot.
Meninggalkan Purwodadi, rombongan dijemput sepuluh pengendara motor dari Merzy Club Indonesia (MCI) Sidoarjo dan tak lama kemudian –ketika memasuki Desa Sukaorejo— WW II dihentikan untuk ganti aki. Kemudian WW II jalan lagi dengan kecepatan 40 kilometer per jam. Tetapi, tampaknya kondisi WW II belum pulih betul, karena tak lama kemudian terpaksa didorong saat mulai memasuki Pandaan dan jalan mulai menanjak lagi. Padahal, sebelumnya tanjakan seperti itu bisa ditaklukkan seperti yang dialami di hutan jati Saradan.
Setelah didorong dan tidak menunjukkan ada kemajuan, selain Andang juga merasakan ada yang tidak beres pada cross join yang baru dipasang, WW II dihentikan. Benar juga, pemasangan cross join ternyata terlalu kencang sehingga putaran gardan terlalu berat dan menyebabkan tegangan cepat turun.
Setelah diperbaiki, WW II meluncur lagi dengan kecepatan 40 kilometer per jam. Memasuki Gempol sambutan masyarakat mulai semarak lagi. Di sepanjang jalan ini masyarakat segera berlarian ke depan rumah di pinggir jalan setelah mendengar sirene dua mobil polisi dan BM di depan meraung-raung.
Memasuki jembatan Porong pukul 17.45, tombongan disambut beberapa mahasiswa ITS yang membawa spanduk bertulisan ”Selamat Datang”. Kemudian, memasuki Waru sekitar pukul 18.00 WW II ganti aki setelah menempuh jarak sekitar 40 kilometer. Saat itu agaknya kondisi WW II agak pulih, karena sampai tegangan turun 84 volt, WW II masih bisa jalan. Padahal, biasanya hanya mampu bertahan sampai tegangan 90 volt saja.
Memasuki Surabaya pukul 18.45, rasa gembira campur sedikit kecewa mewarnai wajah para mahasiswa ITS. Mereka gembira karena sudah sampai di kandang sendiri, kecewanya karena tidak bisa menepati janji masuk Surabaya siang hari. Meskipun demikian, kebanggaan atas hasil karya mereka terlihat di wajah-wajah kuyu mereka setelah menempuh perjalanan panjang.
Masuk Surabaya lewat Jalan Basuki Rahmat dan Pemuda, rombongan langsung menuju kampus ITS lewat Dharmahusada Indah dan masuk Kertajaya Indah.
Begitu tiba di kampus, rektor ITS yang mendahului rombongan menyambutnya dengan memeluk para anggota yang tergabung dalam tim eksperimen mobil listrik bertenaga matahari itu. (andung kurniawan/budhi kristanto)