DAHULU kala petani tradisional tidak pernah mengeluh tanamannya diserang hama atau penyakit. Mungkin ada sebagian tanaman yang diserang hama tetapi masih bisa dipanen. Hama itu tidak merusak tanaman karena hama itu mempunyai musuh alaminya.
Ketika pertanian modern mulai berkembang, demikian juga hama. Petani, sebagai bagian dari pertanian modern, menggunakan insektisida untuk membasmi hama itu. Sayangnya, bukan hanya hama yang mati, musuh alami hama yang juga jenis-jenis serangga atau binatang pemangsa yang lebih besar ikut pula mati.
Semakin modern usaha tani yang diusahakan semakin banyak hama yang muncul. Semakin banyak hama muncul semakin banyak insektisida yang digunakan. Semakin banyak insektisida yang digunakan semakin banyak satwa lain yang ikut mati. Semakin banyak penggunaan insektisida dan racun lainnya, semakin tinggi residu atau sisa racun itu dalam hasil pertanian. Akhirnya semakin tinggi tingkat keracunan petani maupun konsumen yang memakan produk pertanian.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebenarnya serangan hama tidak menjadi masalah jika pemangsa alami hama itu tidak ikut mati. Sekarang para ahli pertanian mencoba kembali melepaskan pemangsa alami. Misalnya ketika hama kutu loncat (Heteropsylla cubana) menyerang pohon lamtoro gung di seluruh Indonesia insektisida tidak mampu menghentikan serangan kutu-kutu kecil itu.
Akhirnya terpaksa didatangkan kumbang pemangsa dari Hawaii sebanyak 8.300 ekor untuk lebih dulu dikembangbiakkan secara masal sebelum dilepaskan. Curinus coeruleus, demikian nama latin kumbang pemangsa kutu loncat, setelah dikembangkan secara masal kemudian dilepaskan maka terbebaslah lamtoro gung dari hama kutu loncat.
“Trichogramma”
Kepedulian pada lingkungan hidup mengubah konsep pengendalian hama dari penggunaan berbagai jenis pestisida beralih pada penggunaan satwa pemangsa atau penyakit yang hanya berjangkit pada hama, tertentu. Jenis serangga Trichogramma adalah salah satu pemangsa yang coba dikembangkan untuk pengendalian hama.
Trichogmmma spp. adalah serangga parasitoid, atau serangga yang menjadi parasit serangga lainnya, sosoknya mirip lebah tetapi berukuran lebih kecil, kurang dari 0.5 mm. Mengapa Trichogramma spp, digunakan sebagai pengendali hama?
Trichogramma betina harus meletakkan telurnya di dalam telur serangga hama yang umumnya termasuk ordo Lepidoptera (ordo ngengat dan kupu-kupu). Kemudian telur Trichogramma akan menetas menjadi ulat kecil yang memakan isi telur serangga hama. Biasanya 10-14 hari setelah telur diletakkan, Trichogramma dewasa akan muncul dari dalam telur serangga hama itu.
Ratusan jenis Trichogramma telah dimanfaatkan untuk memberantas berbagai serangga hama pada berbagai tanaman selama kurang lebih 20 tahun. Beberapa negara diantaranya Amerika Serikat, Cina, Filipina, Jerman, Swiss, Meksiko, Mesir dan Indonesia sudah memanfaatkan Trichogramma untuk memberantas hama pengganggu.
Di Indonesia Trichogramma, umumnya dilepaskan secara massal di perkebunan-perkebunan tebu untuk memberantas hama penggerek batang tebu. Salah satu keunggulan dari penggunaan parasitoid telur dalam memberantas serangga hama ialah hama tanaman dapat diberantasnya sebelum merusak tanaman.
Biasanya serangga hama yang paling merusak tanaman ketika masih berupa ulat-ulat. Parasitoid Trichogramma membunuh serangga hama sebelum menjadi ulat sehingga tidak terjadi kerusakan tanaman. Keuntungan lainnya adalah penggunaan insektisida dapat dikurangi sehingga lingkungan kita tidak terpolusi dengan bahan-bahan kimia yang berbahaya bagi kesehatan.
Makanan buatan
Kendala utama pemanfaatan parasitoid Trichogramma ialah diperlukan ratusan ribu Trichogramma untuk setiap hektar, tergantung jenis hama dan jenis tanamannya. Rata-rata untuk memberantas hama di lahan seluas satu hektar dibutuhkan antara 75.000-200.000 ekor Trichogramma.
Trichogramma sebanyak itu untuk keperluaan pemberantasan hama harus dikembangbiakkan dalam laboratorium dengan menggunakan telur serangga inang sebelum bisa dilepaskan ke areal perkebunan. Untuk pengembangbiakan dalam jumlah yang banyak itu diperlukan biaya pemeliharaan di laboratorium dan biaya memberi makan serangga yang menjadi inang mahal sekali.
Biasanya Trichogramma dibiakkan secara massal dengan menggunakan telur serangga Corcyra atau Sitotroga. Biaya dan tenaga yang dibutuhkan untuk memberi makan dari serangga inang tersebut cukup besar.
Salah satu usaha untuk mengatasi kendala itu ialah dengan membuat pakan buatan untuk Trichogramma. Universitas Queensland, Australia, berhasil mengembangkan pakan buatan untuk pemeliharaan Trichogramma australicum dan Trichogramma prestiosum di laboratorium. Keberhasilan memelihara Trichogramma sampai dewasa dengan menggunakan pakan buatan baru pertama kali dilakukan di Australia.
Pakan buatan itu terbuat dari campuran darah serangga (hemolymph), kuning telur ayam, susu, garam anorganik dan antibiotik merupakan media yang baik untuk memelihara serangga parasitoid Trichogramma spp. Sayangnya pemeliharaan Trichogramma belum ekonomis karena masih menggunakan darah serangga.
Trichogramma dapat tumbuh sampai menjadi serangga dewasa dengan menggunakan pakan buatan itu. Kemampuan untuk memberantas hama oleh Trichogmmma dewasa yang besar memakan pakan buatan tidak kalah dengan Trichogramma dewasa yang muncul dari telur serangga lainnya (pakan alamiah).
Pengembangan itu di Indonesia bisa lebih ekonomis jika dikaitkan dengan industri ulat sutera. Darah serangga yang dibutuhkan dapat diperoleh dari pupa ulat sutera setelah kepompongnya di ambil untuk pembuatan sutera.
Jika komposisi kimia dari darah serangga telah diketahui secara menyeluruh maka dapat dibuat media yang komposisi kimianya mirip dengan darah serangga itu. Media buatan pengganti darah serangga yang saat ini dicoba di laboratorium di Universitas Queensland baru berhasil mendukung pertumbuhan Trichogramma sampai menjadi larva.
(Ahmad Nil Dahlan, peneliti pakan buatan Trichogramma di University of Queensland, Australia)
Sumber: Kompas, tanpa tanggal dan tahun