Pasti ada puluhan atau paling tidak belasan alasan mengapa ibu kota negara Indonesia direncanakan akan dipindah ke Palangkaraya. Akan tetapi, berapa pun banyaknya alasan, kita harus dan sangat perlu memikirkan serius satu pertimbangan penting, yaitu Kalimantan Tengah dan Kota Palangkaraya adalah kawasan yang dikelilingi kawasan gambut yang luas, bahkan salah satu yang terluas di Indonesia.
Luas Kalimantan Tengah 153.559 kilometer persegi (km2) dan 52,2 persennya adalah hutan. Ibu kota Indonesia yang baru itu akan dibangun di atas lahan gambut yang luasnya 2,5 juta-3,0 juta hektar dan rawa seluas 595.263 hektar.
Gambut, terutama gambut tropika, adalah suatu bahan alam yang disusun oleh tumpukan hasil runtuhan bagian tanaman yang disiram air hujan dalam hitungan puluhan, ratusan, bahkan ribuan tahun. Ketebalannya bisa mencapai 30 sentimeter hingga 20 meter. Komposisi gambut itu sendiri lebih dari 90 persen berisi air. Apakah mungkin membangun suatu ibu kota negara di atas lahan gambut?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Seingat saya, tak ada referensi untuk ibu kota suatu negara di atas gambut, apalagi di atas gambut tropika. Kota yang dibangun di atas lahan gambut yang bisa dilihat sampai saat ini adalah Wageningen. Itu juga tak seluruh kota Wageningen dan jenis gambutnya bukan gambut tropika, melainkan gambut yang dibentuk di kawasan empat musim. Belanda dan Finlandia adalah negara yang memiliki sejarah panjang membangun kota di atas gambut.
Wageningen adalah kota di atas gambut dengan sejarah pembangunan hampir 200 tahun. Mereka memiliki infrastruktur serta teknologi pengelolaan dan pengendalian air di kawasan flat atau mendatar paling hebat di dunia. Pompa- pompa air bertebaran di seluruh sungai buatan di tengah kota guna mengendalikan banjir.
Gambut di kawasan itu bukan disusun dari tumpukan bahan tanaman, melainkan dari lumut yang tumbuh di kawasan suhu dingin. Bukan gambut yang berkayu seperti gambut tropika di Indonesia, melainkan gambut berlumut. Penanganannya relatif lebih mudah. Apa masalahnya membangun kota di atas gambut tropika?
Sumber air
Kita masih belum selesai belajar mengelola gambut dengan baik. Sekitar 25 tahun lalu, meski idenya benar, yaitu usaha membangun kawasan baru untuk pertanian beras sebagai ganti hilangnya 1 juta lahan subur di Pulau Jawa setiap 10 tahun, pemerintah pernah melakukan kesalahan desain dengan membangun kawasan proyek lahan gambut (PLG)
1 juta hektar.
Kesalahannya adalah desain kanal sepanjang 112 km yang dibuat untuk menyatukan dua sungai dan mengalirkan air segar mengalami kegagalan karena bukan air segar dari dua sungai yang bersatu, melainkan air yang keluar dari kawasan gambut dan membuat gambut menjadi kering. Dan, ketika terjadi beberapa kali El Nino, dimulai 1997/1998, Indonesia menjadi bulan-bulanan kritik dunia karena kebakaran memengaruhi sangat serius lepasnya karbon di atmosfer dan memengaruhi perubahan iklim.
Lebih serius lagi, kegagalan kita membuka kawasan gambut karena membuka kanal itu bukan menjadi ilmu untuk menjadi pembelajaran bagi kawasan gambut yang lain, di kawasan Sumatera, misalnya. Sebaliknya, kita malah mengulang membuka kawasan gambut dengan cara yang sama, yaitu membuka kanal-kanal untuk mencari cara mudah mengurangi kelebihan air dan membuka lahan sehingga kebakaran gambut pindah ke Sumatera.
Sudah mulai terlihat tanda-tanda kebakaran gambut juga terjadi di Papua. Generasi kita menjadi saksi bahwa kebakaran gambut terus berulang, terutama di musim kemarau yang menyimpang. Membayangkan pembangunan ibu kota negara dengan skala pembangunan fisik yang masif, seperti gedung bertingkat, jalan raya, perumahan, atau ringkasnya membangun Palangkaraya menjadi seperti Jakarta sekarang, dan dibangun di atas kawasan gambut, maka pengalaman pembangunan kanal di PLG bukan bandingannya.
Tingkat kerusakan hilangnya gambut sebagai kawasan penyimpan atau tandon air akan berlipat daripada hanya pembangunan kanal PLG. Belum lagi memikirkan akibat bagi kawasan-kawasan di sekitar Kalimantan Tengah. Sebagai gambaran, Kalimantan Selatan, tiga-empat dekade lalu bukan kawasan mudah banjir karena sebesar apa pun curah hujan di kawasan hulu, di daerah Kalimantan Tengah, air hujan itu disimpan di hutan-hutan gambut dan hanya dilepas perlahan pada musim kemarau. Ketika hutan-hutan gambut semakin menipis, air hujan itu menggelontor menjadi banjir.
Kawasan yang bernapas
Membicarakan kawasan gambut sangat berbeda dengan kawasan tanah mineral. Kawasan gambut itu seperti kawasan yang bernapas karena kemampuannya menyerap dan melepas karbon yang ditentukan oleh kandungan air di dalamnya. Suatu pengukuran yang pernah dilakukan di Kalimantan Tengah, kandungan karbon di lahan gambut mencapai 6.351,52 juta ton karbon.
Topik sangat kuat dibicarakan para ahli gambut dunia dalam dekade terakhir ini adalah proses penurunan permukaan lahan gambut karena pengurangan kandungan air yang dikenal dengan subsidence. Konversi lahan gambut tropis ke berbagai kepentingan (jalan raya, perumahan, perkantoran, pompa bensin, dan fasilitas-fasilitas publik di ibu kota), akan menyebabkan pelepasan karbon dari kawasan gambut yang sebelumnya disimpan stabil dalam jangka panjang.
Penurunan itu terjadi karena lepasnya CO2 ke atmosfer. Hasil suatu penelitian, penurunan dalam lima tahun pertama setelah drainase mencapai 142
cm. Tingkat kehilangan karbon rata-rata selama lima tahun pertama adalah 178 t CO2eq/ hektar/tahun dan berkurang menjadi 73 t CO2eq/ha/tahun pada tahun-tahun berikutnya. Kehilangan karbon itu berpotensi menyebabkan hilangnya rata-rata 100 t CO2eq/ha/tahun setelah lebih dari 25 tahun. Kekhawatiran inilah yang akan terjadi ketika kawasan gambut dan apalagi hutan gambut dikonversi menjadi kawasan non- gambut. Gambut akan hilang.
Apa yang harus dilakukan?
Sejak Bung Karno mencanangkan rencana pemindahan ibu kota ke Palangkaraya tahun 1957, dan diulang kembali tahun 1965 di Bandung, sudah ada beberapa tim yang bekerja untuk merealisasikan rencana itu di beberapa periode kepresidenan. Sebaiknya hasil-hasil kajian berbagai tim itu digelar ke publik atau minimal dalam suatu forum ilmiah di berbagai tingkatan lokal dan nasional untuk mencari penyelesaian dari tantangan yang muncul.
Apa pun kesimpulannya, harus ditaati dan menjadi acuan pemerintah. Memilih Palangkaraya sebagai ibu kota Indonesia yang baru harus melakukan kajian serius terhadap tata air, tenaga kerja terampil pengelola drainase, menghindari pembangunan infrastruktur yang membelah kubah gambut, dan membangun kawasan sekitar untuk mendukung kebutuhan penduduk ibu kota dalam skala yang memadai. Bukan hanya cukup.
Dalam suatu spirit untuk menyebarkan, dan mempercepat proses pembangunan merata bukan hanya Jakartasentris, pemikiran Bung Karno memindahkan ibu kota ke Palangkaraya itu memang suatu solusi. Namun, belajar dari keriuhan rencana perpindahan yang terjadi saat ini, harus ada suatu skala yang lebih tinggi dan jumlah pilihan kepindahan tak hanya terjadi satu kali dan satu tempat.
Maksudnya, harus ada suatu produk hukum atau undang- undang (UU) untuk menetapkan bahwa hingga tahun 3000, Indonesia setiap 50 tahun akan mengalami perpindahan ibu kota, misalnya.
Rakyat akan tahu bahwa Palangkaraya tidak selamanya menjadi ibu kota negara karena setelah Palangkaraya, akan berpindah ke salah satu kota di kawasan Sumatera, selanjutnya ke Sulawesi, dan kapan suatu hari Manokwari juga mempunyai kesempatan akan menjadi ibu kota Republik Indonesia karena itu diperintah UU. Dengan demikian, perpindahan ibu kota bukan hanya isu, melainkan sebuah skenario besar bagaimana Indonesia menyebarkan pembangunan ke 17.000 pulau yang dimiliki.
Apakah pindah ibu kota itu hal istimewa? Tidak juga. Ada negara yang pernah tiga kali ganti ibu kota. Jerman, misalnya, semula Berlin, kemudian pindah ke Bonn tahun 1949, dan 1990 balik lagi ke Berlin. Bahkan, Italia pernah pindah ibu kota empat kali: Turin, Florence, Salerno, kini Roma.
Daftar negara yang pernah pindah ibu kota juga berderet panjang, Amerika, Rusia, India, Brasil, dan Polandia. Persoalannya memang bukan hanya ke mana kita akan memindahkan ibu kota, melainkan kapan kita mulai. Dengan cara yang benar dan serius.
Bambang Setiadi Pendiri dan Mantan Ketua Himpunan Gambut Indonesia (HGI)
Sumber: Kompas, 9 Mei 2019