CATATAN IPTEK
Pekan lalu, Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) menyerahkan dana 43,5 juta dollar AS kepada usaha kecil di negeri itu untuk mengembangkan riset dan teknologi keantariksaan.
Seperti yang diinformasikan NASA, lembaga tersebut telah menyeleksi 304 proposal yang dikirim terkait fase 1 program Small Business Innovation Research (SBIR) 2018 dan 44 proposal terkait program Small Business Technology Transfer (STTR). Hasil seleksi akan mendukung misi eksplorasi antariksa ke depan, sekaligus memicu pertumbuhan ekonomi negara itu.
Menurut Jim Reuter, penanggung jawab Space Technology Mission Directorate (STMD), banyak proposal yang menarik, kreatif, dan bisa memicu pelbagai temuan lain di NASA. ”Banyak usaha kecil dalam program SBIR yang akhirnya bekerja sama dengan NASA di bidang riset dan teknologi,” katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Proposal terpilih setelah memenuhi uji kelayakan, fasilitas dan kualifikasi yang dimiliki, selain efektivitas rencana kerja dan potensi komersialnya. Di antara proposal yang terpilih ada teknologi superkonduktor sebagai tenaga pendorong efisien tetapi ringan, yang dapat diaplikasikan sebagai sumber energi pesawat, ruang penyimpanan, dan pembangkit tenaga angin.
Ada juga semacam elektrolisa untuk mengubah karbon dioksida menjadi oksigen, yang tidak hanya berguna untuk menjaga ketersediaan oksigen di stasiun antariksa, tetapi juga menyediakan oksigen untuk ekspedisi di Mars.
Atau sistem kecerdasan buatan otonom yang mampu mengatur pesawat berawak ataupun tanpa awak, pipa osilasi panas yang dapat mengontrol suhu pesawat antariksa, dan unit pemroses tenaga yang efisien, bisa digunakan untuk pengiriman antarplanet, mendukung eksplorasi, serta misi-misi ilmiah.
Pesawat Tanpa Awak – Teknisi Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) menerbangkan pesawat terbang tanpa awak (UAV) untuk memantau kawasan sekitar Bintaro, Tangerang Selatan, Banten, Senin (3/9/2012). Pesawat yang dilengkapi kamera foto ini mampu terbang otomatis dengan ketinggian hingga 400 meter dan daya jelajah hingga 20 kilometer. Lapan mengembangkan teknologi UAV dengan sistem terbang otomatis untuk memantau risiko bencana, sumber daya alam, dan penginderaan jarah jauh di bidang pertahanan.–Kompas/Iwan Setiyawan
Dari dan untuk masyarakat
Di berbagai belahan dunia, upaya mengembangkan riset dan teknologi dengan melibatkan partisipasi masyarakat telah banyak dilakukan. Di Australia, misalnya, ada lomba program aplikasi tahunan GovHack, berawal dari lomba kecil di Canberra pada 2009. Kini, GovHack menjadi kompetisi nasional dengan jumlah peserta lebih dari 1.000 orang setiap tahun.
Dalam lomba ini, peserta—umumnya berbasis teknologi informasi—membentuk tim-tim kecil untuk menghasilkan aplikasi menarik sekaligus bermanfaat bagi publik. Peserta bisa menggunakan data yang dimiliki Pemerintah Australia secara terbuka, tidak mengherankan jika disebut GovHack.
Situs resmi GovHack menyebutkan, peserta harus bisa memadukan kreativitas, teknologi, dan inovasi dengan memanfaatkan data Pemerintah Australia agar dunia menjadi lebih baik dan menciptakan masyarakat yang lebih sejahtera.
Selama 46 jam, tim peserta harus mengidentifikasi masalah dan solusinya, membangun prototipe, memublikasikan kode sebagai bagian dari open source, dan membuat video singkat yang menjelaskan program mereka. Program bisa berupa situs web, aplikasi mobile atau augmented reality, metode analisis, bahkan model visualisasi 3D yang memudahkan orang memahami data dan pola. Oleh karena itu, ada penghargaan Best Geoscience Award dan Best Use of Taxation Statistics Award.
GovHack telah menginspirasi pemerintah negara bagian di seluruh Australia untuk memudahkan masyarakat mengakses data dan memahami penggunaan uang pajak, misalnya, sekaligus lebih fokus pada layanan masyarakat. Lebih penting lagi, dengan GovHack, Pemerintah Australia bisa berinteraksi dengan masyarakat, sektor swasta, dan memanfaatkan sumber daya yang ada sebagai bagian dari temuan atau solusi persoalan.
Salah satu program pemenang GovHack 2016 adalah Legends of Tomorrow. Menggunakan data distribusi dan proyeksi kependudukan di Victoria, pengguna aplikasi bisa melihat situasi kawasan itu pada masa depan, kualitas air di permukiman, siapa kira-kira yang akan menjadi tetangga, dan seterusnya.
Sistem lain—ciptaan beberapa mahasiswa teknologi informasi Universitas Queensland—memberikan alternatif kendaraan umum yang bisa digunakan, lengkap dengan titik perhentian— dari lokasi terdekat pengguna aplikasi ke tempat tujuan.
Bagaimana di Indonesia? Beberapa lomba mungkin sudah berjalan meski belum signifikan dampak dan gaungnya. Pemerintah Indonesia tampaknya perlu mempertimbangkan program yang bisa melibatkan masyarakat, meningkatkan gairah penemu, sekaligus bermanfaat bagi orang banyak. NASA dan Australia sudah menunjukkan caranya.–AGNES ARISTIARINI
Sumber: Kompas, 30 Mei 2018