kelahiran, secara de jure keberadaannya tidak dianggap ada oleh negara. Hal ini mengakibatkan anak yang lahir tersebut tidak tercatat namanya, silsilah keturunannya, dan kewarganegaraannya serta tidak terlindungi keberadaannya.”
Oleh karena itu, 67 persen dari 88 juta anak usia 0-18 tahun, yaitu 55,61 juta jiwa (Kompas, 16/9), secara de jure keberadaannya tidak dianggap ada oleh negara. Pertanyaan, apakah mereka ini bukan sebagai warga negara Indonesia? Sejauh mana negara memberikan perlindungan terhadap anak-anak (orang-orang) yang lahir di wilayah Indonesia? Bagaimana negara hadir secara administrasi dalam memanusiakan manusia? Sejauh mana harmonisasi Kementerian Hukum dan HAM dengan Kementerian Dalam Negeri terkait status kewarganegaraan dan perlindungan hukum dalam administrasi kependudukannya?
Terhadap pertanyaan-pertanyaan itu, pemerintah seharusnya proaktif, segera hadir dengan berbagai peraturan perundangan sebagai landasan hukum untuk penyelesaiannya. Kenyataan di lapangan, akibat tak dimilikinya akta kelahiran ini, banyak anak tidak dapat mengenyam pendidikan, rentan terjadinya perdagangan anak, ataupun stigma sebagai ”anak haram” karena banyak anak dilahirkan di luar perkawinan yang sah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pasal 4 huruf k Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI menegaskan, anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia, apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya, adalah warga negara Indonesia.UU ini juga memberikan asas perlindungan maksimum. Artinya, pemerintah wajib memberi perlindungan penuh kepada setiap warga negara Indonesia dalam keadaan apa pun, di dalam ataupun di luar negeri.
BAP bertentangan UU
Dalam kenyataannya, untuk mengurus akta kelahiran bagi anak-anak ini, wajib dilengkapi berita acara pemeriksaan (BAP) dari kepolisian. Hal ini dipersyaratkan oleh Pasal 28 UU Administrasi Kependudukan (UU No 23/2006 jo UU No 24/2013). Begitu pula Pasal 90, yang memberlakukan denda keterlambatan bagi pengurusan akta kelahiran yang lebih dari 60 hari.
Begitupun untuk mengurus akta kelahiran anak yatim-piatu yang tidak diketahui orangtuanya, kendala utama adalah masih dipersyaratkan BAP dari kepolisian. Padahal, Pasal 4 huruf k UU No 12/2006 tentang Kewarganegaraan RI sudah menegaskan bahwa anak-anak ini adalah warga negara Indonesia. Pasal 34 UUD 1945 pun menegaskan, fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara.
Terkait dengan hak seorang anak, adanya persyaratan BAP ini bertentangan juga dengan Pasal 28D Ayat (4) UUD 1945, yang menegaskanbahwa setiap orang berhak atas status kewarganegaraan, maka negara wajib memberikannya kepada setiap penduduk. Oleh karena itu, tidak selayaknya anak-anak yang tanpa dosa ini dibikin BAP seolah-olah ada masalah pidana. Maka, persyaratan penerbitan akta kelahirannya cukup surat pengantar dari kepolisian setempat.
Persyaratan BAP bertentangan pula dengan Pasal 53 UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menegaskan setiap anak sejak kelahirannya berhak atas suatu nama dan status kewarganegaraan. Karena itu, pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM, termasuk di dalamnya melalui penerbitan akta kelahiran. BAP juga bertentangan dengan Pasal 5 UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak, bahwa ”setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas dam status kewarganegaraan”.
Gratis
Akta kelahiran merupakan dokumen dasar penduduk yang sangat penting karenadi dalam akta dijelaskan identitas diri dan status kewarganegaraan seseorang. Terbitnya UU No 24/2013 tentang Administrasi Kependudukan sebagai perubahan UU No 23/2006 menegaskan, pengurusan dan penerbitan dokumen kependudukan tidak dipungut biaya atau gratis. Pendanaan penyelenggaraan program dan kegiatan administrasi kependudukan ini dianggarkan dalam APBN dan dimulai pada APBN-P 2014.
Dengan terbitnya UU No 24/2013 ini, stelsel aktif dalam pelayanan administrasi kependudukan telah berubah dari penduduk menjadi yang aktif adalah pemerintah melalui petugas dengan pola jemput bola atau pelayanan keliling. Oleh karena itu, denda keterlambatan seharusnya dibebankan kepada APBN.
Oleh karena itu, penyelesaian terhadap 55,61 juta anak yang secara de jure keberadaannya tidak dianggap ada oleh negara ini tidak lain harus diberikan akta kelahiran secara gratis.
Terkait dengan masalah ini, guna menjamin kepastian hukum bagi rakyat Indonesia, Presiden Joko Widodo perlu segera menginstruksikan kepada Menteri Dalam Negeri untuksegera memberikan akta kelahiran gratis kepada setiap penduduk sebagai bukti kewarganegaraannya (sebagaimana stelsel aktif di pihak pemerintah) agar seluruh rakyat Indonesia dapat mengakses hak-haknya sebagai warga negara.
Menteri Dalam Negeri juga harus meneliti dan mencabut seluruh peraturan daerah yang memberatkan masyarakat dalam pengurusan dokumen kependudukan. Dengan demikian, negara benar-benar proaktif melayani rakyat.
Prasetyadji, peneliti senior Institut Kewarganegaraan Indonesia
—————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 September 2015, di halaman 6 dengan judul “Membenahi Pencatatan Sipil”.