Memahami Negeri Sendiri

- Editor

Rabu, 25 Oktober 2017

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Indonesia adalah negara paling plural di Bumi. Terdiri dari lebih 17.000 pulau, lebih dari 600 bahasa, suku, dan berbagai adat kebiasaan membuat kita mudah tertipu oleh bayangan identitas kenegaraan dan kebangsaan yang tunggal. Pengetahuan kita untuk memahami pluralitas bangsa selalu dikaburkan oleh rujukan tunggal: modernisasi dan pembangunan.

Demikianlah Pusat Kajian Representasi Sosial merumuskan kondisi negeri ini. Pusat Kajian Representasi Sosial—berdiri tahun 2008, satu dari tujuh lembaga dalam jejaring internasional—adalah lembaga penelitian yang mengkhususkan diri pada upaya memahami fenomena sosial yang kompleks.

”Representasi sosial memungkinkan kita memahami genesis dari berpikir sosial,” kata Risa Permanadeli, pendiri dan Direktur Pusat Kajian Representasi Sosial.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Menurut Risa, Indonesia sebagai negara dan bangsa plural memiliki varian berpikir yang juga plural. Inilah yang tidak pernah dipertimbangkan dalam politik negara dan berbangsa. Penjajahan Belanda ratusan tahun masih berdampak sampai sekarang: pemerintahan yang mengacu pada negara dan bangsa singular seperti di Eropa. Satu ras, satu agama, satu bahasa. ”Ketika politik pembangunan dijalankan dengan perspektif singular, terjadilah perpecahan bangsa,” ujar Risa.

Singularisme yang berlangsung sepanjang penjajahan Belanda justru dilestarikan sepanjang 32 tahun pemerintahan rezim Orde Baru. Pembagian kawasan administratif di seluruh wilayah Nusantara, misalnya, dibuat berdasarkan struktur pemerintahan model Jawa. Dari dusun, desa, kelurahan, kecamatan, hingga kabupaten. Banyak contoh sistem pemerintahan adat yang menjadi korban, termasuk Nagari di Sumatera Barat.

Dalam scholar.unand.ac.id disebutkan, Nagari adalah sekumpulan kampung yang dipimpin seorang penghulu dalam sistem kekerabatan dan pemerintahan adat masyarakat Minangkabau. Nagari dibatasi alam, seperti bukit, sungai, dan hutan. Batas-batas ini tak lagi signifikan ketika wilayah dibagi pemerintah secara administratif dan penghulu pun beralih menjadi lurah beserta perangkatnya. Demikian pula halnya di berbagai wilayah lain. Gampong di Aceh, Huta atau Nagori di Tapanuli, Banjar di Bali, dan Wanua di Sulawesi Utara.

Singularisme Orde Baru bahkan mengubah makanan pokok yang semula begitu beragam di Nusantara menjadi satu jenis: beras. Hilanglah sagu, jagung, singkong, dan ubi, yang sebenarnya sangat signifikan untuk mendukung ketahanan pangan. Dampaknya adalah kasus-kasus kekurangan pangan hingga busung lapar terutama di kawasan Indonesia bagian timur, yang tidak mudah ditumbuhi padi sehingga harga beras begitu mahal.

Dalam Pilkada DKI Jakarta yang panas, kerukunan pluralisme dipecah belah dengan politik identitas. Agama dan asal-usul keturunan dikobar-kobarkan, padahal pada kenyataannya, leluhur manusia Indonesia berasal dari empat gelombang migrasi dari Afrika, Asia daratan (meski akarnya juga Afrika), Taiwan, dan terakhir pelaut-pelaut dari Arab, India, dan Eropa via jalur barat serta pelaut Tiongkok dari jalur timur. ”Dari sisi genetik, tidak ada orang asli Indonesia yang berhak mengklaim diri paling pribumi,” kata Herawati Sudoyo, profesor genetika dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman (”Mengenali Diri, Menghargai Kebinekaan”, Kompas, 16 Juli 2017).

Herawati menambahkan, justru di migrasi tahap keempat muncul perbedaan identitas karena dibawanya agama-agama baru: Hindu, Buddha, Islam, Kristen, dan Katolik. Agama-agama ini bertemu dengan kepercayaan lokal yang sudah ribuan tahun berkembang di Nusantara. Perbedaan semakin tajam karena politik pecah belah kolonial Belanda, termasuk dengan memunculkan konsep pribumi dan pendatang.

Pendekatan singular seperti di atas: desa, beras, agama, dan ras, jelas melahirkan prasangka sosial yang memicu perpecahan, bahkan juga kekerasan. Di sinilah peran perspektif representasi sosial untuk memahami negeri ini, sekaligus menghentikan penggunaan isu-isu singular untuk tujuan jahat.–AGNES ARISTIARINI

Sumber: Kompas, 25 Oktober 2017

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Biometrik dan AI, Tubuh dalam Cengkeraman Algoritma
Habibie Award: Api Intelektual yang Menyala di Tengah Bangsa
Cerpen: Lagu dari Koloni Senyap
Di Balik Lembar Jawaban: Ketika Psikotes Menentukan Jalan — Antara Harapan, Risiko, dan Tanggung Jawab
Tabel Periodik: Peta Rahasia Kehidupan
Kincir Angin: Dari Ladang Belanda Hingga Pesisir Nusantara
Surat Panjang dari Pinggir Tata Surya
Ketika Matahari Menggertak Langit: Ledakan, Bintik, dan Gelombang yang Menggetarkan Bumi
Berita ini 43 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 12 November 2025 - 20:57 WIB

Biometrik dan AI, Tubuh dalam Cengkeraman Algoritma

Sabtu, 1 November 2025 - 13:01 WIB

Habibie Award: Api Intelektual yang Menyala di Tengah Bangsa

Kamis, 16 Oktober 2025 - 10:46 WIB

Cerpen: Lagu dari Koloni Senyap

Rabu, 1 Oktober 2025 - 19:43 WIB

Tabel Periodik: Peta Rahasia Kehidupan

Minggu, 27 Juli 2025 - 21:58 WIB

Kincir Angin: Dari Ladang Belanda Hingga Pesisir Nusantara

Berita Terbaru

Artikel

Biometrik dan AI, Tubuh dalam Cengkeraman Algoritma

Rabu, 12 Nov 2025 - 20:57 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Tarian Terakhir Merpati Hutan

Sabtu, 18 Okt 2025 - 13:23 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Hutan yang Menolak Mati

Sabtu, 18 Okt 2025 - 12:10 WIB

etika

Cerpen: Lagu dari Koloni Senyap

Kamis, 16 Okt 2025 - 10:46 WIB