Salah satu keunggulan menggunakan mobil listrik adalah kenyamanan dan tentunya ramah terhadap lingkungan. Mengapa disebut nyaman? Bagi yang sudah mengemudikan tentu akan mengakuinya.
Bayangkan di dalam kokpit mobil listrik sudah tidak ditemukan lagi tuas rem tangan dan persneling. Sebagai gantinya berupa tombol-tombol maju, mundur, netral, parkir dan rem tangan.
Soal kecepatan juga tidak kalah. Torsi awal mobil listrik jauh lebih tinggi dibandingkan mobil berbahan bakar fosil, bahkan yang sudah menggunakan turbo.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Mengenai peredaman juga jangan khawatir karena masih setara dengan mobil bensin atau solar. Bahkan dari segi bobot lebih berat karena harus “menggendong” baterai di dalamnya.
Lantas dari hitung-hitungan biaya untuk satu liter mobil BBM Rp7.650 (Pertalite) dan Rp12.500 (Pertamax) setara mobil listrik 1,3 kWh dengan harga Rp1.200 (harga diskon di Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum/SPKLU).
Sebagai gambaran, mobil listrik dengan baterai penuh (biaya pengisian) senilai Rp50.000 mampu menempuh jarak 300 kilometer (km).
Sedangkan mobil berbahan bakar bensin dengan jarak tempuh yang sama rata-rata menghabiskan 30 liter (Rp229.500 untuk Pertalite dan Rp375.000 untuk Pertamax).
Tak hanya itu. Kendaraan listrik juga bebas dari polusi sisa pembakaran maupun suara. Begitu juga dengan limbah baterai sudah terpecahkan karena bisa didaur kembali.
Harga
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terus menggulirkan program “Langit Biru” seiring dengan kualitas udara yang memburuk sehingga berbagai upaya terus dilakukan agar kualitas udara menjadi sehat. Karena itu, penggunaan kendaraan yang bebas polusi menjadi suatu keharusan.
Meski mobil listrik memiliki sederet keunggulan. Sayangnya pengguna mobil listrik atau dikenal sebagai “Battery Electric Vehicle” (BEV) belum begitu banyak.
Bahkan populasi mobil listrik di Ibu Kota tercatat masih rendah. Berdasarkan data Gaikindo, hanya 687 unit tahun 2021 dan itu pun sudah termasuk armada taksi.
Salah satu yang membuat banyak pertimbangan membeli mobil listrik terletak pada harganya. Seperti salah satu produk buatan Korea untuk versi bensin dikenakan harga Rp363,9 juta, sedangkan untuk versi listrik Rp697 juta.
Selain pertimbangan harga juga menyangkut suku cadang terutama baterai. Pertanyaan yang masih menyeruak saat ini “berapa lama usia pakai dan berapa harga baterai baru kalau nantinya pengisian sudah tidak optimal lagi?”.
Pengisian baterai
Namun PLN memiliki strategi sendiri dalam rangka mewujudkan program “Langit Biru” dengan terus memberikan dukungan bagi pemilik kendaraan listrik. Yakni menyediakan lebih banyak SPKLU melalui unit distribusi yang ada di Indonesia.
General Manager PT PLN Unit Induk Distribusi (UID) Jakarta Raya, Doddy B Pangaribuan
mengatakan, SPKLU telah tersedia di sepanjang jalur Jakarta-Bali. Dengan demikian, pemilik kendaraan listrik tidak perlu khawatir untuk menempuh perjalanan pulang-pergi (pp) Jakarta-Bali.
Tak hanya itu, PLN UID Jakarta Raya juga terbuka menjalin kerja sama dengan mitra untuk mendirikan SPKLU. Menurut Doddy, terdapat sejumlah model kerja sama yang ditawarkan.
SPKLU ini dipastikan akan memberikan keuntungan kepada mitra karena kalau pengisian normal di rumah bisa memakan waktu 17 jam maka di SPKLU hanya membutuhkan waktu kurang dari satu jam. Bahkan dengan ultra cepat (fast) hanya butuh waktu 20 menit.
Saat ini memang baru tersedia 18 unit SPKLU yang dikelola PLN. Sedangkan untuk tahun 2022 ditargetkan bisa 25 SPKLU yang tersebar di 18 lokasi.
Mitra
Dengan demikian, seiring bertambahnya populasi kendaraan listrik, baik sepeda motor maupun mobil, sudah barang tentu harus dibarengi dengan saran pendukung, yakni SPKLU.
Tak hanya itu, PLN UID Jakarta Raya juga tengah mengincar pemanfaatan transportasi umum berbasis listrik.
Seperti Mayasari sebagai salah satu operator bus TransJakarta yang memiliki 30 unit bus listrik. Meski diakui untuk “nozel” diserahkan kepada pihak ketiga (bukan PLN) mengingat sistem yang dimiliki berbeda dengan kendaraan listrik pada umumnya.
Doddy memastikan PLN UID Jakarta Raya ingin menjalin kerja sama dengan transportasi berbasis listrik mengingat konsumsinya yang besar. Selain itu juga memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat.
Tak hanya itu, TransJakarta masih akan memperbanyak armada bus berbasis listrik dengan ukuran kecil dan medium agar dapat menjangkau lebih banyak masyarakat. Hal itu seiring dengan kebijakan menekan jumlah penggunaan kendaraan pribadi di Ibu Kota.
Baterai sendiri
Memang untuk mewujudkan penggunaan kendaraan listrik bukanlah perkara yang mudah. Salah satu yang menjadi sandungan saat ini dari segi harga yang membuat masyarakat harus berpikir ulang sebelum membelinya.
Beberapa produsen mobil dan motor siap untuk memasok untuk versi murah. Namun–lagi-lagi–masyarakat belum tertarik untuk membeli terutama terkait jaminan usia kendaraan dan baterai.
Dengan demikian, persoalannya kembali kepada penggunaan baterai. Apabila memang ke depan strateginya adalah menggantikan transportasi dengan kendaraan yang menggunakan baterai, sudah sewajarnya dari sekarang dipikirkan untuk memproduksi baterai sendiri termasuk untuk mendaur ulang baterai yang sudah habis usianya.
Belajar dari pengalaman bus listrik TransJakarta yang memiliki “nozel” berbeda dengan kendaraan pada umumnya, maka patut juga dipertimbangkan pemberlakuan SNI setiap kendaraan listrik yang beroperasi di Indonesia.
Terjangkau
Dengan berbagai jaminan ketersediaan dan kepastian infrastruktur kendaraan listrik maka dapat dipastikan harga mobil dan sepeda motor listrik kian terjangkau.
Persoalannya memang baterai, mengingat investor yang berminat juga masih menghitung-hitung “akankah uang yang akan ditanam untuk membangun pabrik baterai bakal balik?”.
Harapannya pada peresmian pabrik baterai untuk mobil listrik kolaborasi Hyundari Motor Group dengan LG Energy Solution di Karawang, Jawa Barat, oleh Presiden Joko Widodo bisa menjadi jawaban akan mahalnya kendaraan listrik di Indonesia.
Kalau pabrik itu sudah beroperasi maka volume kendaraan listrik bisa terus bertambah dan harganya lebih terjangkau. Tentunya juga berkualitas.
Reporter: Antara
Editor: Sunu Dyantoro
Sumber: TEMPO.CO, Minggu, 26 Juni 2022