Meluruskan El Nino

- Editor

Sabtu, 22 September 2001

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Berita Kompas tanggal 28 Agustus 2001 mengatakan titik-titik api terus bermunculan di Kalimantan Timur. Dari segi meteorologi kemunculan titik-titik api ini tidak perlu diherankan karena sebagai daerah dengan curah hujan tipe monsun, bulan Juli-Agustus merupakan bulan terkering, sehingga apabila pemerintah dan masyarakat tidak berhati-hati dalam pengelolaan hutan secara baik dan terpadu, mudah sekali terjadi kebakaran.Pada tahun 1997, ketika kekeringan yang sangat berat melanda Indonesia, ‘kita’ memiliki kambing hitam yang dapat dituding sebagai penyebabnya, yaitu El Nino. Untuk tahun ini kemungkinan tersebut sangat kecil karena prediksi El Nino, baik nasional maupun internasional, menyebutkan bahwa kemungkinan terjadi El Nino pada tahun ini adalah kecil dan kalaupun terjadi intensitasnya juga akan sangat kecil.

Dari studi yang dilakukan oleh grup riset iklim ITB, ditemukan bahwa El Nino dengan intensitas kecil, mempunyai pengaruh yang tidak signifikan terhadap kekeringan di Indonesia. Itu berarti untuk kekeringan tahun ini kemungkinan penyebabnya ada monsun ataupun sebab-sebab lokal lainnya.

Kata “El Nino” pada awalnya adalah sebutan para nelayan Peru terhadap fenomena arus laut hangat dan lemah yang bergerak kearah Selatan sepanjang pantai Peru dan Ekuador. Fenomena ini biasanya muncul pada akhir Desember (sekitar waktu Natal).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kata El Nino itu sendiri hanya sesekali dikaitkan dengan pemanasan skala besar yang terjadi sekali dalam beberapa tahun yang mempengaruhi ekologi lokal dan regional. Pemanasan perairan pantai ini, ternyata berkaitan dengan pemanasan lautan Pasifik yang jauh lebih intensif mulai dari pantai timur sampai dengan ‘garis hari’ (date line), di mana pemanasan ini dimanifestasikan dalam bentuk anomali Suhu Muka Laut (SML), sehingga merupakan fenomena raksasa yang meliputi seluruh daerah tropis lautan Pasifik dan berkorelasi dengan pola anomali iklim global.

Komponen atmosfer yang berkaitan dengan El Nino adalah ‘Osilasi Selatan’, yaitu fluktuasi tekanan atmosfer bagian timur Lautan Hindia dan bagian tenggara daerah tropis lautan Pasifik. Osilasi ini dinyatakan dalam suatu indeks yang disebut Indeks Osilasi Selatan (IOS) yang merupakan selisih antara tekanan atmosfer muka laut Tahiti dan Darwin. Para ilmuwan sering kali menyebutkan interaksi laut-atmosfer ini sebagai ENSO yang merupakan singkatan dari El Nino-Southern Oscillation, meskipun oleh masyarakat awam hanya disebut dengan El Nino saja.

Berdasarkan uraian di atas, tampaknya sangat sulit untuk mendefinisikan kejadian El Nino, karena telah terjadi perubahan arti. Beberapa ahli berpendapat bahwa kejadian tersebut adalah fenomena perairan pantai, sedangkan yang lain beranggapan merupakan fenomena global yang meliputi seluruh perairan tropis lautan Pasifik. Sementara itu bagi orang awam yang tidak mengerti, seperti di Indonesia, didefinisikan sebagai kekeringan yang melanda seluruh wilayah Indonesia.

Dalam kamus Meteorologi, El Nino adalah sebutan untuk anomali sirkulasi arus sepanjang pantai barat Amerika Selatan yang terjadi sekitar waktu Natal, sekali dalam beberapa tahun dengan pengaruh yang sangat negatif terhadap sistem perikanan nelayan Peru. Pada waktu kejadian, air dingin arus Humboldt di pantai Peru dan Ekuador akan diganti oleh masa air panas arus balik ekatorial, yang karena sangat miskin zat hara dan panas menimbulkan bencana kematian bagi biota laut seperti terumbu karang, populasi ikan, dan lain-lain, di perairan pantai tersebut.

Pemicu fenomena ini adalah melemahnya angin passat tenggara di daerah sentral Pasifik yang berkaitan dengan osilasi selatan. Segera setelah daya dorong angin pasat di daerah ini melemah, maka masa air hangat/panas yang terkumpul di pantai barat sentral Pasifik akan bergerak ke arah timur dan meneruskan perjalanannya ke arah selatan hingga mencapai pantai ekuador dan Peru (12 derajat Lintang Selatan).

Jika diperhatikan secara lebih teliti, definisi tersebut hanya memberi gambaran secara kualitatif dan sangat sulit diterapkan secara ilmiah. Oleh karena itu perlu dilakukan pendefinisian secara kuantitatif, sehingga ENSO dapat diukur dan diamati secara lebih baik.

Awal tahun 1980-an, Scientific Committee on Oceanic Research mendefinisikan El Nino sebagai: Peristiwa munculnya masa air panas sepanjang pantai Ekuador dan Peru jauh ke selatan hingga mencapai Kota Lima, 12 derajat Lintang Selatan (LS). Anomali suhu muka laut yang teramati harus lebih besar atau sama dengan 1 kali standar deviasi untuk sekurangnya 4 bulan berurutan. Anomali suhu muka laut ini harus teramati paling sedikit oleh tiga dari lima stasion pengamatan pantai Peru.

Pada saat yang bersamaan, kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan ENSO difokuskan pada daerah yang disebut NINO 3, yang didefinisikan sebagai daerah yang dibatasi oleh 5 derajat Lintang Utara (LU)  sampai 5 derajat LS dan 150 derajat Bujur Barat (BB) sampai 90 derajat BB. Dengan demikian prediksi ENSO yang dihasilkan oleh model dapat diverifikasikan dengan data pengamatan. Oleh Badan Meteorologi Jepang (JMA) disusun suatu prosedur standar yang objektif untuk menemukan dan mengamati El Nino secara kuantitatif di mana prosoedur
tersebut dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu:
1. Analisa suhu muka laut rata-rata bulanan dengan ukuran grid 2 derajat X 2 derajat.
2. Hitung anomali suhu muka laut bulanan rata-rata
3. Temukan perioda dalam mana nilai anomali (perataan lima bulanan) suhu maka laut lebih besar sama dengan 0.5 derajat selama sekurang-kurangnya 6 bulan berurutan.

Perataan lima bulanan anomali suhu muka laut digunakan untuk menghilangkan pengaruh variasi antar musim lautan Pasifik. Dengan demikian dapat didefinisikan periode El Nino dan mengukur intensitasnya secara kuantitatif. Dengan menggunakan prosedur standar tersebut di atas, National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) mendefinisikan suatu daerah pengamatan baru yang kemudian terjadi sangat populer dan diterima secara luas oleh peneliti ENSO, yaitu daerah NINO 3.4 (5 derajat LU- 50LS 1700-1200 BB). Berdasarkan anomali SML daerah inilah fenomena El Nino di definisikan dan intensitasnya dihitung.

El Nino terjadi jika anomali SML daerah NINO 3.4 lebih besar sama dengan +0.5 derajat C untuk minimum selama 6 bulan berurutan dan sebaliknya untuk La Nina. Dengan menggunakan definisi di atas, grup riset iklim ITB menghitung intensitas El Nino sejak tahun 1950 dan menemukan bahwa El Nino 1997/ 1998 merupakan El Nino terkuat dengan intensitas 25 (derajat C. Bulan).

Data mutakhir yang dikumpulkan oleh penulis menunjukkan bahwa anomali SML NINO 3.4 pada bulan Juli 2001 baru mencapai nilai +0.28 derajat C, sehingga adalah tidak benar untuk mengatakan bahwa kekeringan dan kebakaran hutan yang terjadi saat ini di Indonesia disebabkan oleh El Nino yang belum terjadi.

Zadrach L Dupe, Kepala Lab Klimatologi-ITB.

Sumber: Kompas, Minggu, 2 September 2001

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 4 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB