Melacak Pemikiran Saat Penciptaan

- Editor

Minggu, 23 Juli 2017

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pengamatan kosmologi modern menyimpulkan bahwa kosmos lahir sekitar lima belas milyar tahun lalu melalui Ledakan Besar (Big Bang). Pada peristiwa itu suatu keadaan energi tak berhingga ‘meledak’ dan memuai ke segala arah. Pemuaian menyebabkan suhu yang luar biasa tinggi menurun sehingga memungkinkan pembentukan materi cikal bakal galaksi, bintang dan planet bahkan mahluk hidup. Peninggalan era Ledakan Besar (LB) yang maha mampat dan panas itu dapat kita amati melalui radiasi gelombang mikro bersuhu 3°K (-270°C) yang sampai sekarang membanjiri kosmos.

Namun dari manakah LB Sendiri berasal? Adakah penyebabnya? Atau LB muncul begitu saja dari ketiadaan? Sudah lama pertanyaan menarik ini mengganggu benak. Namun kerapatan dan suhu tak berhingga LB menghalangi kita menerobos titik ‘penciptaan’ itu. Kita terbentur pada singularitas: suatu keadaan tak terdefinisi yang tak tembus oleh hukum fisika, tidak oleh teori relativitas umum Einstein sekaipun yang terkenal ampuh menyelesaikan problema rumit kosmos. Sementara, untuk melahirkan LB begitu saja dari kekosongan nampak melanggar hukum kekekalan massa dan energi.

Keterputusan ini seakan memaksa kita membayangkan kekuatan supernatural sebelum LB. Mungkin itulah sebabnya, lama setelah bukti LB ditemukan, teori Keadaan Tetap (Steady State) yang menyatakan kosmos tidak berawal dan tidak berakhir, tetap hidup. Untuk ilmuwan, terlepas keyakinan apa pun yang dianutnya, teori ini amat menawan karena tidak menghadapkannya pada kenyataan bahwa sesuatu bias muncul begitu saja tanpa penjelasan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Dari ‘tiada’ ke ‘ada’
Tahun 1973, fisikawan Ewdard Tryon dari City University New York, mencoba ‘menciptakan’ kosmos dari ketiadaan. Ia memanfaatkan prinsip ketidakpastian Heisenberg dalam mekanika kuantum. Singkatnya, mekanika kuantum meramal bahwa kehampaan dapat melahirkan sebuah system. Kian kecil energy sistem, kian lama kala hidup partikel semu atau fluktuasi kuantum ini. Fluktuasi seberat pasangan electron-positron dapat hidup selama seperbilyun-trilyun detik. Sementara yang energinya sebilyun-trilyun kali lebih kecil berthana hampir sedetik. Sebuah system berenergi nol tentu dapat hadir selamanya. Fluktuasi jenis ini berhasil diamati di laboratorium.

Tak ada limit ukuran untuk fluktuasi kuantum yang muncul setiap waktu dalam ruang kosong itu. Hanya fluktuasi besar lebih jarang daripada yang kecil. Sistem berukuran besar yang lahir dari mekanisme ini akan sulit dibedakan dengan LB, demikian Tyron berpendapat.

Walaupun amat menantang, penemuan Tryon tidak terlihat mengarah ke titik lebih jelas, sampai tahun 1974 ketika ilmuwan Cambndge, Inggris, Stehen W. Hawking, menemukan bahwa lubang hitam (daerah dalam ruang-waktu bermedan gravitasi kuat sehingga partikel cahaya pun tak dapat bebas dari pengaruhnya) ternyata berevaporasi perlahan. Padahal lubang hitam seharusnya tidak memancarkan radiasi.
Radiasi itu memang bukan berawal dari lubang hitam, melainkan dari daerah hampa tepat di luar permukaan lubang hitam. Seperti Tryon, Hawking menerapkan mekanika kuantum di sana. Karya Hawking sekaligus memungkinkan persoalan ‘penciptaan’ dibawa ke skala kosmos, bukan hanya dalam jagat ‘kecil’ kuantum.

Ansambel kosmos
Lebih dari lima tahun lalu, ilmuwan Institut Teknologi Massachusetts, Alan Guth, mengembangkan teori menarik, bahwa LB tidak hanya melahirkan satu kosmos. Ada banyak kosmos saling tumpang tindih seperti gelembung-gelembung sabun. Masing-masing berkembang sesuai kondisi yang ada pada saat awal LB serta hukum-hukum fisikanya sendiri. Hukum berbeda menyebabkan kosmos-kosmos tersebut tidak saling berkomunikasi.

Kosmos banyak bukan gagasan baru. Tahun 1957 fisikawan Hugh Everett melempar ide ini, lagi-lagi dari sudut pandang kuantum. Di dalam dunia kuantum, tidak ada kenyataan sebelum ada pengamatan; yang ada hanyalah gelombang-gelombang keboleh-jadian. Realita tercipta ketika satu dari keboleh-jadian muncul (akibat pengamatan) dan sisanya runtuh. Menurut Everett, semua keboleh-jadian tercipta menjadi realita, tetapi dalam kosmos terpisah. Dalam ansambel kosmos Everett ini, semua kosmos identik namun masing-masing mempunyai tingkat energy berbeda, sehingga menempuh sejarah berbeda pula.

Mencari syarat awal
Lalu, bila kosmos ada banyak, kondisi bagaimanakah yang kemudian melahirkan kosmos kita? Tentunya ada syarat awal yang dibutuhkan kosmos yang baru tercipta. Syarat tersebut, ditambah hukum fisika yang berlaku menyebabkan kosmos ‘mengerti’ arah evolusinya.

Teori ‘klasik’ LB ternyata belum mampu menjawab pertanyaan ini. Mengapa gravitasi dalam kosmos begitu rupa sehingga kosmos mempunyai waktu cukup untuk memuai dan mendingin, tidak ambruk sejuta tahun setelah LB; sebelum punya kesempatan membentuk galaksi dan bintang-bintang misalnya? Mengapa muatan elektron tidak sedikit lebih kecil sehingga bintang tak pernah menghasilkan helium atau unsure berat lainnya (karbon, nitrogen, besi, dan lain-lain) yang menjadi cikal bakal planet serta penghuninya? Lebih mendasar lagi, bagaimana muncul materi dalam kosmos LB yang uniform, sebagaimana diperlihatkan gelombang mikro di atas?

Bila ada banyak kosmos, tentu ada banyak syarat awal. Kombinasi bagaimanakah yang melahirkan penghuni berakal? Boleh jadi ada kosmos indah hasil gabungan syarat awal berbeda, tapi apakah di dalamnya sempat hadir para makhluk hidup penanya yang mengagumi keindahannya?

Kita bias berhenti di sini dan berkata, mungkin Tuhan sengaja merahasiakan kondisi awal tersebut; Dia memilihnya begitu rupa menurut alasan yang tidak kita pahami. Namun mengapa Dia lalu membiarkan kosmos berevolusi menurut hukum fisika teratur (hukum gravitasi, elektromagnetik, dan sebagainya) yang dapat kita cerna? Wajarlah bila kita berharap dapat memahami prinsip pemilihan kondisi awal tersebut.

Brandon Carter melempar prinsip antropik tahun 1973 untuk menjelaskan banyak ‘kebetulan’ ini. Singkatnya prinsip ini menjawab pertanyaan: mengapa kosmos seperti yang kita amati sekarang, dengan sederhana: kalau kosmos tidak seperti ini, kita tidak hadir! Tidakkah prinsip ini membawa kita kembali ke era Ptolomeus yang mengharuskan Bumi (atau manusia) menjadi pusat kegiatan kosmos?

Adakah kosmos kuantum
Keterbatasan memahami era awal LB adalah karena kita terbentur titik singularitas. Bagaimana kita bias meramal sesuatu bila hukum fisika yang kita kenal tak berlaku di sana? Yang pasti, di titik itu medan gravitasi menguat luar biasa sehingga efek gravitasi kuantum menjadi dominan. Berarti kita bisa menerapkan teori kuantum yang ternyata member kejutan! Dalam kuantum tidak ditemukan titik singularitas. Konsekuensinya, lahir kosmos yang tidak berawal dan tidak berakhir di singularitas.

Penerapan kuantum pada medan gravitasi kuat mengharuskan pemakaian bilangan imajiner (ini konsep matematika yang sudah lama dikenal, bila 3 x 3 hasilnya 9 maka hasil kali bilangan imajiner 3i x 3i adalah -9). Untuk mudahnya anggaplah bola Bumi sebagai kosmos jenis ini. Waktu imajiner berjalan dari titik kutub utara sampai titik kutub selatan, dan ruang kosmos digambarkan oleh garis-garis lintang sepanjang lingkaran Bumi. Bila kita berjalan sepanjang waktu imajiner dari kutub ke selatan, ruang kosmos mengembang sesuai garis-garis lintang yang membesar. Pemuaian kosmos mencapai maksimum di Ekuator (garis lintang menjadi paling panjang), lalu mengerut ketika kita bergerak lebih ke selatan dan menjadi titik lagi di kutub selatan. Seperti juga tak pernah ditemukan singularitas di kutub selatan (hukum fisika tetap berlaku di sana), tak ada singularitas dalam kosmos kuantum ini.

Apabila kita kembali ke waktu real (tempat kita hidup sekarang), perhitungan menunjukkan singularitas tak dapat dihindarkan. Anda atau saya akan tetap tersedot dan lumat ke dalamnya (di sekitar lubang hitam misalnya) oleh gaya pasang surut gravitasi. Hanya bila Anda hidup dalam waktu imajiner, Anda selamat dari singularitas.

Apakah ini berarti bahwa dalam waktu real, kosmos berawal dan berakhir pada singularitas, tetapi dalam waktu ‘imajiner’ kosmos hidup kekal abadi? Apakah waktu ‘imajiner’ sesungguhnya lebih mendasar dan waktu real hanya penemuan fisika untuk mempermudah ‘pembangunan’ kosmos sesuai pengetahuan kita?

Pandangan ini memang baru gagasan yang dilontarkan Hawking dan beberapa rekan kerjanya. Hawking sendiri mengakui (antara lain dalam buku A Brief History of Time yang sempat menduduki puncak daftar best-seller selama sekitar 100 minggu di Sunday Times, London) bahwa belum seorang pun dapat memformulasikan teori gravitasi-kuantum seperti yang diinginkan. Teori yang kelak disebut Teori Penggabungan Agung itu (karena menyatukan hukum kosmos makroskopik dengan mikroskopik) dipercaya dapat mengungkap rahasia kosmos yang tertinggal. Dengan berani Hawking bahkan berharap dapat memahami pemikiran Tuhan ketika mencipta kosmos. Namun mungkin saja teori itu tak pernah ada. Kita boleh jadi hanya akan menemukan tak berhingga deretan teori yang menjelaskan kosmos secara lebih baik dari waktu ke waktu. Tak seorang pun dapat menjawabnya saat ini.

Yang jelas, teori yang saat ini dikembangkan memberi harapaan terhadap pemahaman pemunculan galaksi serta berbagai penghuni kosmos lain yang sukar dijelaskan LB. Soalnya, kosmos muda kuantum tidak pernah uniform. Selalu ada fluktuasi kuantum skala kecil yang diperkuat ketika ukuran kosmos membesar, begitu rupa sehingga cukup untuk melahirkan struktur di dalam kosmos, termasuk di dalamnya manusia-manusia yang penuh keingin-tahuan.

Karlina Leksono, staf BPPT yang sedang menempuh S-3 dalam bidang Space Astronomy di Inggris

Sumber: Kompas, 9 Agustus 1990

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 24 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB