Untuk merekayasa megahunian bertingkat tinggi yang terintegrasi dengan infrastruktur kawasan perkotaan berskala besar berkelanjutan, kita harus mampu menjaga keseimbangan ekologis lingkungan tropis.
KOMPAS/RIZA FATHONI–Pembangunan rumah susun terintegrasi Stasiun Tanjung Barat, Jakarta Selatan, Selasa (24/9/2019). Melalui konsep pembangunan berorientasi area transit moda transportasi, sekitar stasiun kini menjadi pusat hunian vertikal yang dikembangkan pemerintah ataupun swasta.
Pada saat fenomena ”bumi yang tidak mengkota” akibat pandemi Covid-19 menyadarkan kita betapa ”langit biru dan ruang terbuka hijau” (blue space and green open space) merupakan sesuatu yang sangat kita impikan selama ini.
Selain itu, kondisi wabah tersebut juga menyadarkan kita bahwa masih terdapat kondisi kepadatan hunian di perkotaan yang tidak layak. Keadaan ini sangat rentan pada kegagalan pengelolaan lingkungan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ada dua hal yang menjadi pembelajaran dalam pembangunan hunian perkotaan. Pertama, pentingnya pengintegrasian antara aspek kualitas udara yang bersih dan ruang terbuka hijau. Ini perlu dimasukkan ke dalam perekayasaan hunian perkotaan tanpa harus mengalami kejadian ”bumi yang tidak mengkota”. Kedua, investasi infrastruktur lingkungan jadi hal mutlak dan dibutuhkan untuk menjaga ketangguhan kesehatan di kawasan hunian.
”Hyper-urbanism”
Pembangunan hunian berskala mega di kota-kota besar di Indonesia di satu sisi menggerakkan mesin produktivitas, meningkatan nilai tambah industrialisasi perkotaan. Akan tetapi di sisi lain ada risiko berupa kerentanan terhadap kesenjangan distribusi kesejahteraan serta penurunan kualitas lingkungan.
Untuk itu diperlukan upaya untuk menjaga keseimbangan ekologis. Harus ada kombinasi antara perekayasaan pengelolaan sumber daya perkotaan dan perekayasaan konservasi kelestarian lingkungan.
Intensifikasi lahan secara vertikal (sky-scraper) dan mencakar bumi (ground-scraper) serta ekstensifikasi horizontal ke arah laut (sea-front), ke arah sungai (river-front) memerlukan paradigma perencanaan yang berubah. Pendekatan morfologis hamparan zonasi (dua dimensi) digantikan dengan pendekatan fisiologis matriks jejaring ekosistem volumetrik (tiga dimensi).
Hal ini sesuai dengan semakin tingginya tingkat kompleksitas dan kerumitan proses pembangunan megahunian perkotaan. Pembangunan bergeser dari sekadar perekayasaan hunian, tempat kerja, dan infrastruktur. Pembangunan harus menekankan kesatuan ekosistem hibrida hunian padat vertikal dan mobilitas multilevel yang mandiri dan tangguh. Ini harus didukung sistem konservasi energi, pengelolaan kelestarian sumber daya air, dan ketahanan sistem pangan perkotaan.
Kolaborasi megastruktur hunian
Kepadatan huni dan mobilitas warga perkotaan yang sangat tinggi menuntut perancangan kawasan secara multi-level mega-space dan multi-level mobility. Ini harus dilakukan secara fabrikasi terhadap struktur modularnya. Ini merupakan rangkaian proses industrialisasi infrastruktur ruang megahunian perkotaan.
Selain perekayasaan infrastruktur megahunian perkotaan, diperlukan perekayasaan suprastruktur pemenuhan kebutuhan hunian berskala besar dengan konsep kolaborasi lintas program dan pelaku.
Ada risiko akan terjadinya ketimpangan keseimbangan dan keharmonisan antarmasyarakat berpenghasilan tinggi dan masyarakat berpenghasilan rendah. Mitigasi atas masalah ini bisa dilakukan dengan kebijakan ”hunian berimbang” di kawasan permukiman besar. Kebijakan ini mewajibkan pembangunan hunian dengan komposisi 1:2:3.
Pengembang yang membangun satu unit rumah mewah wajib pula membangun dua unit kelas menengah serta tiga unit rumah sederhana. Kebijakan ini dalam pelaksanaannya bisa lebih fleksibel. Pengembang bisa melakukan komposisi 1:3 atau komposisi 2:3.
Pendekatan yang selama ini digunakan dalam melaksanakan kebijakan tersebut, didasarkan pada prinsip pemenuhan kewajiban soal tanggung jawab sosial pelaku usaha/pengembang. Namun dalam pelaksanaannya banyak kendala. Ada aspek nilai lahan yang sangat sulit dikolaborasikan dengan skema tersebut. Untuk itu, pendekatan konsep kolaborasi kawasan harus diubah menjadi konsep kesetaraan berbagi nilai manfaat (benefit shared value equity).
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA–Bangunan rumah susun sederhana sewa (Rusunawa) yang diprioritaskan untuk pekerja di kawasan industri sekitar Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Kamis (22/8/2019).
Kawasan dikolaborasikan dengan menggunakan prinsip creating shared value (CSV). Konsep ini menggantikan prinsip corporate social responsibility (CSR). Prinsip CSV memanfaatkan skema kolaborasi berbasis nilai tangkapan lahan (land value capture-based collaboration) antara pemerintah, pemerintah daerah, dan pelaku usaha.
Diharapkan kolaborasi perekayasaan suprastruktur tata kelola dan kepranataan ini dapat disinergikan dengan kolaborasi program hibrida fungsi ruang megahunian secara berkelanjutan.. Tujunnya, berbagi nilai manfaat (co-benefit), berbagi huni secara seimbang (co-living), dan berbagi peran dalam menjaga keseimbangan ekologis (co-environment).
Rekayasa ”dialog” dengan alam
Tema peringatan Hari Lingkungan Hidup Dunia 2020, yaitu ”Connect with Nature”. Dengan demikian kita dapat memanfaatkan momentum ini untuk penyadaran pemikiran terhadap pentingnya ”langit biru dan ruang terbuka hijau”. Ini tidak hanya bisa disaksikan pada saat ”bumi tidak meng-kota”, tetapi bisa kita alami dalam keseharian kehidupan perkotaan ke depan.
Untuk merekayasa megahunian bertingkat tinggi yang terintegrasi dengan infrastruktur kawasan perkotaan berskala besar berkelanjutan, kita harus mampu menjaga keseimbangan ekologis lingkungan tropis.
Pendekatan perancangan megahunian yang direkayasa secara multi-level high density space dan multi-level mobility harus menerapkan prinsip ”dialog dengan alam”. Ini dijalankan melalui pengolahan konsep arsitektur kawasan dan menara megahunian yang bisa bernapas (breezeways towers), sky verandah garden, serta self-sufficient resources management.
Harus ada dialog antara rekayasa suprastruktur kolaborasi pengelolaan kompleksitas megahunian dengan rekayasa infrastruktur pengendali keseimbangan ekologis. Agar ada konektivitas hunian dengan alam secara berkelanjutan.
(Budi Prayitno Guru Besar Arsitektur Permukiman dan Urbanisme UGM)
Sumber: Kompas, 21 April 2020