Tahun 2016 telah mulai dijalani dan semua tantangan yang ada di dalamnya, tentu saja, harus dihadapi dan diselesaikan.
Bagi negara-negara di kawasan ASEAN, khususnya Indonesia, salah satu tantangan nyata adalah pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Indonesia adalah salah satu negara penggagas berdirinya Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara pada 1967. Latar belakang politik yang dikembangkan menjadi ekonomi dan kesejahteraan jadi falsafah utama pembentukannya.
Dalam bidang politik, ASEAN jelas membuat kawasan ini relatif kompak bahkan kuat serta “aman” dari gangguan negara- negara adidaya. Kenyamanan itu segera dilanjutkan pada sektor ekonomi dengan sasaran besar: kesejahteraan masyarakat sekawasan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hal ini karena kesadaran bahwa kawasan seluas 4,4 juta kilometer persegi atau sekitar 3 persen dari luas dunia, memiliki lebih dari 625 juta penduduk atau sekitar 8,8 persen dari total jumlah penduduk dunia. Hal lain adalah kesuburan alam sebagai aset yang membuat kawasan ini memang merupakan sebuah kekuatan besar jika dikelola dengan baik.
Para kepala negara anggota ASEAN segera bersepakat untuk mewujudkan transformasi ASEAN menjadi kawasan yang bebas untuk pergerakan barang, layanan, investasi, tenaga kerja terlatih serta kebebasan arus modal.
Semua itu disusun dalam bentuk kerja sama berbagai bidang: pembangunan serta penguatan kemampuan sumber daya manusia, pengakuan terhadap kualifikasi profesional, konsultasi yang erat pada kebijakan finansial dan makroekonomi, pengukuran pembiayaan perdagangan, meningkatkan keterkaitan komunikasi dan infrastruktur, mengembangkan transaksi elektronik, pengintegrasian industri sekawasan untuk memajukan sumber daya kawasan, serta meningkatkan keterlibatan sektor swasta.
Ragu dan gamang
Target dua tahunan telah dimulai sejak 2010 dan diselesaikan pada 2015. Beberapa sektor yang telah dirasakan antara lain pariwisata, transportasi udara, layanan kargo, pergudangan bahkan layanan kesehatan.
Pengaturan terhadap pengakuan kerja sama telah ditandatangani pada tujuh sektor, yaitu layanan rekayasa, layanan arsitektural, layanan perawatan kesehatan, layanan kedokteran, layanan kedokteran gigi, layanan akuntansi, serta layanan penilik.
Pasokan semua layanan tadi dilakukan dalam empat tahapan, dan kita telah sampai pada tahapan terakhir: pergerakan serta kehadiran tenaga kerja antarnegara ASEAN. Dalam rangka penyebaran tenaga kerja inilah Malaysia menujukkan keunggulannya dalam ketersediaan tenaga spesialis, pakar, serta profesional. Negara lain umumnya baru terbiasa dengan kunjungan bisnis atau penempatan tenaga kerja korporat, dan belum siap dalam pengiriman maupun menerima tenaga kerja berbasis individu.
Tantangan bagi setiap negara ASEAN menghadapi MEA adalah terkait kesiapan mental setiap warga negara berbasis latar belakang pendidikan dan kesehatan, serta kondisi tiap negara berbasis kepemimpinan, situasi politik, stabilitas ekonomi, kesenjangan antardaerah dalam satu negara serta sosok integritas bernegara yang tumbuh.
Tidak pula dapat dilepaskan pengaruh umum yang terjadi di dunia, seperti ketidakpastian politik, terorisme, ragam penyakit yang semakin berat serta berbagai kasus penyelundupan, termasuk penyelundupan manusia. Semua ini membuat keraguan, bahkan kegamangan. Bukan hanya bagi individu setiap negara sebagai aset tenaga kerja, juga yang dirasakan oleh setiap negara meskipun para kepala negara terus memberikan dorongan.
Vokasional dan profesional
Ditinjau dari sudut tenaga kerja, maka Indonesia baru siap pada tenaga kerja vokasional. Selama ini biasa terdengar pergerakan warga Indonesia bekerja di negara lain. Pada tenaga kerja profesional, meskipun ada, jumlahnya amat kecil, menunjukkan kemampuan berkompetisi di luar negara sendiri masih rendah.
Sementara itu, jumlah tenaga profesional berbasis rasio dengan jumlah penduduk belum pula mencukupi. Penyikapan terhadap hal ini harus jelas serta terarah. Pergerakan tenaga kerja antarnegara ASEAN sudah memiliki pengaturan untuk dimulai.
Tenaga kerja profesional selain untuk kepentingan dirinya, juga harus menjadi bagian dari ketahanan nasional. Agar profesionalisme mereka berjalan benar, sesuai dengan kaidah universalisme serta menjadi bagian dari ketahanan nasional, maka pelibatan profesi dalam penapisan, pengawasan serta pembinaan akan amat membantu, bahkan menghidupkan tanggung jawab kelompok profesi terhadap negara serta masyarakat.
Kedokteran sebagai profesi tertua, juga di Indonesia, telah menunjukkan hal ini dengan baik melalui keberadaan Konsil Kedokteran Indonesia produk Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Model seperti ini secara bertahap telah pula diikuti oleh profesi lain, seperti hukum dan teknik.
Bagi profesi lain yang belum cukup berpengalaman memang dapat dilakukan secara bertahap, di bawah pemerintah, sebelum dilepaskan secara mandiri. Kemandirian ini justru membuat setiap profesi menjadi tenaga strategis. Selain bertanggung jawab, juga memiliki daya saing yang diperlukan untuk sebuah pembangunan “negara” kawasan, seperti ASEAN dengan MEA ini.
Menaldi Rasmin, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Alumnus Lemhannas PPRA-43
———————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 Januari 2016, di halaman 6 dengan judul “MEA dan Kesiapan Profesi”.