Rapat terbatas kabinet yang kedua, Senin, 1 Februari 2016, belum memutuskan arah pengembangan lapangan gas Masela hingga Presiden Joko Widodo mendengar sendiri pandangan investor Inpex Shell.
Beberapa bulan terakhir mengemuka ke publik dua skenario. Pertama, dibangun pengolahan gas alam cair (LNG) di atas kapal terapung. Kedua, gas dialirkan ke daratan Maluku untuk dicairkan menjadi LNG dan sebagian lagi diolah menjadi pupuk serta bahan petrokimia lainnya.
Setiap skenario memiliki argumen dan perhitungan serta sulit dipertemukan satu sama lain meskipun sudah ditunjuk konsultan asing Poten & Partners untuk memberikan “pendapat” terhadap kelayakan yang dibuat oleh Inpex Shell.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Rencana pengembangan (POD) yang disodorkan investor dan diteruskan oleh Satuan Kerja Khusus (SKK) Migas kepada pemerintah pada dasarnya adalah bisnis investasi di hulu. Mulai dari kegiatan eksplorasi, produksi, hingga mengolahnya menjadi komoditas migas berupa kondensat (fraksi minyak ringan) dan utamanya LNG.
Bisnis hulu migas menganut aturan cost recovery, artinya semua biaya modal yang ditanam dan biaya operasi dibayar dari penjualan migas. Investor membuat model bisnis yang secara teknis dan keuangan memberi kepastian pengembalian modal dan keuntungan. Dalam proyek Masela, menurut Inpex Shell, hanya bisa dilakukan melalui proses pengolahan gas terapung di atas laut. Sementara itu, pemerintah, sebagaimana disampaikan Presiden, berkepentingan pada pengembangan ekonomi wilayah dan efek berganda sejak proyek dimulai, pada masa konstruksi hingga berproduksinya lapangan gas Masela.
Beda acuan
Dua kepentingan yang berbeda acuan. Ibarat dua orang berdebat, meski tentang buku yang sama, tetapi berbeda topik, sebab membacanya dari halaman yang berlainan. Inpex Shell memiliki bisnis inti di bidang hulu migas sehingga tidaklah adil untuk “memaksa” mereka masuk ke bisnis hilir petrokimia. Sebaliknya, investor juga harus memahami, pemerintah memiliki bukan saja wewenang, melainkan juga kepentingan besar terhadap pemanfaatan sumber daya alam.
Lantas bagaimana jalan keluar yang bisa membuat nyaman investasi dan sekaligus menjamin terakomodasinya kepentingan publik dari pengembangan gas Masela? Menurut penulis dapat dibuat sebagai berikut.
Pertama, investor diberi keleluasaan untuk membangun fasilitas LNG Plant terapung maksimal berkapasitas 3,75 juta ton per tahun. Kapasitas tersebut sama dengan LNG Plant PRELUDE yang sekarang ini sedang dibangun oleh investor yang sama di Korea. Dengan begitu, baik risiko teknis, konstruksi, dan keuangan sudah lebih terukur.
Kedua, sejumlah gas yang sama dialirkan ke daratan Maluku yang terdekat, yakni Pulau Selaru atau Tanimbar, yang berjarak 140-an kilometer. Selanjutnya, pemerintah menunjuk BUMN Indonesia yang memang sudah berpengalaman belasan tahun dalam membangun dan mengoperasikan LNG Plant ataupun industri hilir migas, seperti pupuk dan petrokimia. Adanya LNG Plant di daratan Maluku juga memudahkan transportasi gas untuk kepentingan, utamanya pembangkit listrik di kepulauan Indonesia bagian timur.
Dengan jalan tengah tersebut kiranya membuat semua pihak menjadi dimenangkan. Diharapkan, perdebatan publik usai, dan kita jelang segera eksekusi yang pro investasi sekaligus pro pembangunan wilayah.
ALHILAL HAMDI, KETUA TIM NASIONAL BAHAN BAKAR NABATI 2006-2008; ALUMNUS TEKNIK PERMINYAKAN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Februari 2016, di halaman 6 dengan judul “Masela, untuk Siapa?”.