Degradasi lingkungan telah memicu kematian dini jutaan orang. Kegagalan mengatasi laju kerusakan lingkungan ini akan mengancam keberlangsungan hidup manusia di Bumi.
Sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Lingkungan Ke-4 berhasil memotret masa depan suram umat manusia akibat merosotnya mutu lingkungan. Namun, pertemuan itu gagal menyepakati solusi untuk mengatasi akar masalahnya, salah satunya terkait pencemaran plastik.
Suasana pembukaan Sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Lingkungan (United Nations Environment Assembly/UNEA) yang ke-4 di Nairobi, Senin (11/3). Pertemuan ini akan berlangsung hingga Jumat (15/3). –Kompas/Ahmad Arif
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebanyak 157 Menteri Lingkungan atau yang mewakili dan lebih dari 5.000 peserta dari 179 negara mengikuti Sidang PBB tentang Lingkungan (United Nations Environment Assembly/UNEA) Ke-4 yang digelar di Nairobi, Kenya, pada 11-15 Maret 2019. Pertemuan tersebut dibuka dengan semangat mencari solusi mengakhiri krisis global terkait degradasi lingkungan, dengan salah satu agenda terbesarnya mengatasi soal plastik yang mencemari lingkungan, terutama lautan.
Menteri Lingkungan Estonia, yang juga Pemimpin Sidang UNEA Ke-4, Siim Kiisler, saat membuka sidang mengingatkan bahwa masa depan manusia berada pada fase kritis karena berbagai masalah lingkungan global. Persoalan itu terutama perubahan iklim, hilangnya keberagaman hayati, kelangkaan air bersih, degradasi lahan, polusi udara, dan pencemaran lautan.
Dampak buruk kerusakan lingkungan terhadap kehidupan manusia itu secara gamblang dipaparkan dalam Global Environment Outlook (GEO), yang diluncurkan di sela-sela sidang itu. Dalam laporan studi berjudul ”Planet Sehat, Manusia Sehat” itu dipaparkan mengenai konsekuensi dari polusi dan kerusakan lingkungan terhadap kesehatan.
Kompilasi data dari 250 ilmuwan yang berasal dari 70 negara itu menyebutkan, sekitar 25 persen kematian global disebabkan kondisi lingkungan buruk. Dalam tahun 2015, 9 juta orang meninggal karena persoalan lingkungan.
Pencemaran udara
Polusi udara menduduki peringkat pertama penyebab kematian global dengan rata-rata 7 juta orang per tahun. Terkait polusi udara, kebakaran hutan dan lahan di Indonesia tahun 2015 yang memicu kabut asap termasuk yang terparah dan diperkirakan penyumbang bagi 100.000 kematian dini. Kebakaran hutan di Kalimantan juga memicu migrasi kelelawar yang menyebarkan virus nipah.
REUTERS/KIM HONG-JI–Kompleks apartemen di Seoul, Korea Selatan diselimuti debu halus pada Rabu (6/3/2019) ketika polusi udara di Seoul mencapai level terburuk di awal Maret 2019.
Joyeeta Gupta, profesor lingkungan dari University of Amsterdam yang menjadi salah satu koordinator studi itu, mengatakan, dibutuhkan aksi nyata dalam skala besar-besaran untuk mencegah kematian dini jutaan orang pada tahun 2050 di dunia. ”Masyarakat yang paling rentan terdampak, rata-rata paling sedikit kontribusinya terhadap kerusakan lingkungan,” ujarnya.
Dalam laporan itu juga disebutkan, pembengkakan konsumsi, sampah makanan, dan polusi dari negara-negara maju merupakan salah satu faktor yang memperparah kemiskinan dan penyakit di negara-negara miskin. Oleh karena itu, dibutuhkan sistem lebih berkelanjutan dalam pembangunan ekonomi untuk mencegah kematian dan krisis kesehatan.
Paul Ekins, profesor ekonomi dari University College London yang juga koordinator studi ini, menambahkan, ”Setiap orang, setiap negara perlu melakukan hal lebih drastis agar spesies kita bertahan.”
Joyce Msuya, Penjabat Kepala UN Environment, mengatakan, ”Fakta-fakta ilmiah sudah nyata. Kesehatan dan kesejahteraan manusia secara langsung terhubung dengan kondisi lingkungan kita. Karena itu, kami menyerukan penduduk Bumi untuk mengubah pola hidupnya dan pemerintah di setiap negara harus memimpinnya.”
Menjauhi target
Dalam rekomendasinya bagi pengambil kebijakan, GEO 2019 menuntut ada perubahan sikap. Jika itu tak dilakukan, tren degradasi lingkungan kian cepat. Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) pada 2030 dan pencapaian mutu lingkungan yang disetujui secara global pada 2050 tak akan terpenuhi.
Kondisi saat ini menunjukkan, pola konsumsi, produksi, dan keadilan tak berkelanjutan. Kebanyakan indikator lingkungan, seperti peningkatan kualitas dan cadangan air bersih, perbaikan mutu udara, pengurangan pencemaran laut, hingga penghentian laju pemanasan global, menunjukkan pada arah keliru.
Dengan skenario seperti biasanya atau business-as-usual (BAU), diprediksi terjadi krisis besar lingkungan, yang akan berdampak pada krisis kemanusiaan. Polusi udara akan terus meningkat dan memicu kematian dini jutaan orang.
Sidang UNEA Ke-4 kali ini menyepakati sejumlah resolusi penting, lima di antaranya diusulkan delegasi Indonesia, yaitu terkait perubahan pola konsumsi dan produksi, perlindungan ekosistem laut, serta pengelolaan mangrove, gambut, dan terumbu karang berkelanjutan. Namun, pertemuan itu dinilai belum bisa lepas dari jeratan business-as-usual. Salah satu kritik yang menderas adalah kegagalan menyepakati solusi radikal terkait pencemaran plastik, yang sejak awal jadi salah satu soal yang dibahas.
FERGANATA INDRA RIATMOKO–Warga membuang sampah yang dibungkus plastik di tumpukan sampah yang terbengkalai di kawasan Lempuyangan, Yogyakarta, Rabu (27/3/2019). Akses menuju Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan masih ditutup sejak Minggu (24/3/2019) oleh warga yang melayangkan protes. Penutupan TPST tersebut membuat sampah di berbagai kawasan di DIY terbengkalai.—KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Padahal, sejak pembukaan, Kiisler menyoroti masalah sampah plastik ini, yang disebut telah masuk dan mencemari lautan hingga 8 juta ton per tahun. ”Dalam draf deklarasi menteri, saya meminta para anggota membuat target nasional ambisius untuk mengurangi sampah dan meningkatkan penggunaan bahan terbarukan, khususnya untuk mengurangi pemakaian plastik,” ujarnya.
India sebenarnya mengusulkan pengakhiran produksi dan penggunaan plastik sekali pakai dengan tenggat tahun 2025. Salah satu alasannya adalah plastik sekali pakai seperti kantong plastik, mendominasi 36 persen dari 400 juta ton plastik yang diproduksi secara global setiap tahun.
Usulan itu mendapat dukungan dari Uni Eropa dan disambut antusias banyak negara lain, tetapi lalu gagal disepakati karena ditentang keras delegasi Amerika Serikat. Daripada mengakhiri pemakaian plastik sekali pakai yang artinya akan mengganggu produksi material turunan dari minyak fosil itu, AS mendorong resolusi pada pengelolaan sampah dan mencegah masuknya plastik ke lautan.
Sikap AS itu terkait dengan kepentingan industri plastik mereka, yang berencana meningkatkan produksi plastiknya sekitar 40 persen hingga 2025 (The Guardian, 26 Desember 2017). ”Pada akhirnya, Amerika Serikat yang menang. Resolusi dalam UNEA kali ini yang dipilih akhirnya lebih lunak, tanpa menyinggung penghentian produksi plastik,” kata anggota Delegasi Republik Indonesia, Mohammad Noor Andi Kusumah.
David Sutasurya dari Indonesian Zero Waste Alliance, ditemui di Nairobi, menyesalkan posisi Indonesia yang dinilai tak progresif terkait masalah plastik ini. ”Padahal, kita juga korban dari sampah plastik ini. Kita tak mungkin bisa menyelesaikan persoalan plastik ini jika memisahkannya dari produksinya,” ujarnya.
Namun, anggota Delegasi Republik Indonesia dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Noer Adi Wardojo, mengatakan, dalam pertemuan multilateral seperti ini, lazimnya sulit mencari kesepakatan yang progresif karena perbedaan kepentingan antarnegara.
Pada akhirnya, laju degradasi lingkungan tampaknya tak bisa dihentikan karena tetap saja yang berlaku business-as-usual. Itu berarti umat manusia harus bersiap menghadapi kondisi terburuk karena daya dukung bagi kehidupan terus merosot.–AHMAD ARIF
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 28 Maret 2019