Sebagai orang yang hidup di desa, Khoirul Rosyadi tidak terlepas dari pelajaran agama yang cukup kental.
Saat menempuh pendidikan SMP, dia sembari ngaji di Pondok Pesantren (Ponpes) KH Mohammad Kholil Gresik. Salah satu ponpes yang didirikan oleh murid KH Muhammad Kholil Bangkalan.
”Kalau siang, saya sekolah SMP-nya di SMP NU 2 Gresik. Malam dan paginya saya ngaji di Ponpes KH Mohamamd Kholil Gresik,” kenangnya kepada Jawa Pos Radar Madura (JPRM) Senin (9/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Setelah lulus SMP, dia melanjutkan ke SMAN Sidayu, Gresik. Dalam waktu bersamaan, dia nyantri di Ponpes Baiturrahim, Kecamatan Bungah, Gresik. Pada 1993, lulus SMA, lalu melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
Dia diterima sebagai mahasiswa di Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta melalui jalur Penelusuran Bibit Unggul Daerah (PBUD).
Saat itu, dia diterima di jurusan filsafat. Selama kuliah, Rosyadi aktif di pers mahasiswa Balairung UGM hingga lulus.
”Proses intelektual saya sebenarnya banyak dibangun dan dibentuk di pers mahasiswa,” katanya.
Setelah lulus, pria berkacamata itu melanjutkan pascasarjana di kampus yang sama. Tepat 1998, Rosyadi melanjutkan studi di jurusan sosiolosi UGM dan 2001 dia dinyatakan lulus S-2.
Setelah lulus, Rosyadi juga sempat bekerja sebagai wartawan majalah Forum Keadilan, Jakarta. Namun, oleh keluarganya diminta menjadi guru. Karena itu, dia melamar jadi dosen. Pada 2001, dia diterima di Universitas Airlangga (Unair).
Akhir 2002, dia ditelepon Mutmainnah, dosen sosiologi Universitas Trunojoyo Madura (UTM) yang juga teman karibnya saat kuliah di UGM.
Dia diminta untuk mengajar di Prodi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Budaya (FISIB) UTM. Tidak lama kemudian, Rosyadi diterima melanjutkan kuliah di sosiologi RUDN Moscow, Rusia.
Saat melanjutkan studi di Rusia, dia menjabat sebagai ketua tanfidziyah PCINU Rusia pada 2010–2012.
Kemudian, kembali ke UTM pada 2014 dan mulai aktif mengajar kembali. Saat ini diberi amanah sebagai wakil dekan III FISIB UTM.
Hampir 20 tahun dia mengabdi di UTM hingga menyandang guru besar.
”Jalani semuanya dengan ikhlas dan istiqamah meskipun banyak dinamika dalam setiap proses,” ucapnya.
Konsistensi dan keistiqamahan Rosyadi patut menjadi teladan bagi mahasiswa. Pria kelahiran Gresik, 12 April 1974, itu belum lama ini dinobatkan sebagai guru besar ilmu sosiologi di UTM.
Dalam catatan hidup Rosyadi tidak pernah terlintas untuk menjadi guru besar. Semua itu mengalir laksana air meskipun proses yang dilalui tidak mudah.
Selama menjadi dosen sosiologi UTM, Rosyadi konsentrasi meneliti kebudayaan Madura. Khususnya, penelitian berkenaan dengan sosiologi ekonomi dan sosial kapital. Menurut dia, masyarakat Madura mengalami banyak perubahan di bidang sosial.
”Harusnya, sosiologi ini menjadi kekuatan di luar modal ekonomi untuk menciptakan masyarakat yang lebih makmur dan sejahtera,” terangnya.
Faktanya, kata dia, masyarakat Madura memiliki problematika sosial kemiskinan. Meskipun pada kenyataannya, secara sosial kapital masyarakat Madura sangat mampu.
Hal itu disebabkan oleh kesenjangan yang mengakibatkan watak individualisme masyarakat. Hal tersebut bisa terjadi karena pengaruh teknologi dan kebudayaan populer.
”Kebudayaan taretan dibi’ itu sudah mulai luntur akibat pengaruh beberapa hal tadi,” urainya.
Untuk mengatasi kesenjangan sosial di Madura, dia menyarankan agar ada peran masyarakat kelas menengah. Meliputi kiai, tokoh masyarakat, serta kaum intelektual dan ekonomi kelas menengah.
”Kesadaran sosial masyarakat kelas menengah ini sangat penting dengan melakukan gerakan yang berpihak pada masyarakat kelas menengah ke bawah untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan yang merata,” papar penulis buku Budaya Pasar Madura Eksotisme, Kapitalisme, dan Moralitas Pasar Tradisional itu. (za/luq)
Berta SL Danafia
Sumber: RadarMadura.id – Rabu, 11 Oktober 2023