Tim Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dalam dua ekspedisi kelautan Mei ini berfokus mengumpulkan data dasar. Tim Ekspedisi Widya Nusantara mengumpulkan data profil biogeokimia Samudra Hindia timur, sedangkan tim Ekspedisi Sabang menghimpun data terkait pengaruh proses hidrotermal.
Penelitian tersebut mutlak diperlukan mengingat Indonesia sama sekali belum memiliki data dasar di kedua tempat itu. “Jika data dasar sudah dimiliki, nantinya kajian potensi manfaat bisa dilakukan,” kata Pelaksana Harian Kepala Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dirhamsyah, Jumat (8/5), di Jakarta.
Ia mencontohkan, dari data biogeokimia di Samudra Hindia timur, seperti arah arus, massa air, dan materi organik, pemerintah bisa memperoleh data potensi produktivitas perikanan. Data bisa digunakan untuk memetakan lokasi plankton yang menjadi makanan ikan, lokasi pemijahan ikan, dan kapan tuna bermigrasi ke daerah tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sementara itu, di sekitar Teluk Sabang ada lubang-lubang fumarol yang menyemburkan gelembung gas dan uap air. Dari penelitian terhadap lubang hidrotermal (hydrothermal vent) di perairan Sabang, suatu fenomena geologi yang langka, tim bisa mendapatkan data terkait pengaruh panas yang dilepaskan lubang-lubang tersebut. Dari data itu, tim bisa meneliti pengaruh proses hidrotermal terhadap biota-biota di area tersebut. Tim juga beranggotakan peneliti geoteknologi yang mempelajari pengaruh adanya lubang-lubang hidrotermal di dasar laut terhadap potensi sumber energi.
Suasana di ruang kemudi Kapal Riset Baruna Jaya VIII yang digunakan untuk Ekspedisi Widya Nusantara dan Ekspedisi Sabang, Kamis (7/5).—-KOMPAS/JOHANES GALUH BIMANTARA
Dirhamsyah mengatakan, tim Ekspedisi Widya Nusantara (Ewin) dalam perjalanan menuju lokasi penelitian di area Samudra Hindia timur menggunakan Kapal Riset Baruna Jaya VIII. Tim kemungkinan tiba di lokasi pada 10 Mei dan menjalankan penelitian selama empat hari. Setelah itu, tim menuju Pelabuhan Teluk Bayur, Padang, Sumatera Barat, untuk mengakhiri Ewin.
Di Padang, sejumlah peneliti dan teknisi Ewin akan berganti dengan yang bertugas dalam Ekspedisi Sabang. Baruna Jaya VIII kembali berlayar dengan formasi tim baru menuju perairan Sabang. Kemungkinan kapal berangkat dari Padang pada 18 Mei.
Kedaulatan negara
Menurut Dirhamsyah, selain untuk tujuan ilmu pengetahuan, ekspedisi-ekspedisi ini juga memiliki nilai strategis bagi kedaulatan negara. Alasan itu mendasari pemilihan Pulau Rondo sebagai destinasi riset pertama dalam Ekspedisi Sabang. “Rondo adalah salah satu pulau terdepan Indonesia yang berhadapan dengan Laut Andaman dan data terkait pulau tersebut masih minim,” ujarnya.
Pulau Rondo tidak berpenghuni, tetapi TNI Angkatan Laut memiliki pos jaga di sana. Ia mengingatkan, kasus kemenangan Malaysia atas sengketa kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan tidak boleh terulang. Saat itu, wajar jika Indonesia kalah karena berdasarkan asas penggunaan wilayah, Indonesia tertinggal. Malaysia ketika itu sudah membangun mercusuar dan penangkaran penyu di area yang disengketakan.
Karena itu, tim LIPI melakukan sejumlah penelitian data dasar di pulau tersebut, seperti luasan mangrove, terumbu karang, dan jumlah ikan karang. Hasilnya akan menjadi bank data bagi pemerintah untuk menunjukkan Indonesia sudah berkegiatan di pulau tersebut untuk mengukuhkan kepemilikan.
Para teknisi di ruang laboratorium Kapal Riset Baruna Jaya VIII, Kamis (7/5), saat kapal sedang bersandar di Pelabuhan Nizam Zachman, Muara Baru, Jakarta Utara. Data yang diolah di laboratorium ini akan digunakan peneliti Ekspedisi Widya Nusantara untuk melakukan analisis.—-KOMPAS/JOHANES GALUH BIMANTARA
Pelaksana Tugas Deputi Ilmu Pengetahuan Kebumian LIPI Zainal Arifin menambahkan, penelitian di Samudra Hindia menjadi penting karena selama ini orientasi peneliti Indonesia, bahkan dunia, terlalu berfokus di area utara. “Pusat-pusat riset Indonesia lebih banyak berada di sepanjang pantai utara atau di wilayah Indonesia. Pusat pertumbuhan ekonomi atau kota pun umumnya di dekat perairan di wilayah Indonesia, seperti di utara Jawa atau pantai timur Sumatera,” katanya.
Di sisi lain, kata Zainal, kebanyakan teknologi penelitian kelautan berupa kapal dan peralatan di Indonesia cenderung hanya mampu meneliti laut dangkal, sampai kedalaman 200 meter. Padahal, laut-laut selatan Indonesia umumnya sangat dalam, bisa mencapai 6.000 meter. Kondisi itu membuat kebanyakan peneliti hanya paham sumber daya di laut dangkal.
J GALUH BIMANTARA
Sumber: Kompas Siang | 8 Mei 2015
Posted from WordPress for Android