SESAAT setelah malam datang, tengoklah langit ke arah barat. Jika langit cerah, akan tampak serumpun bintang cukup redup pada ketinggian 15 derajat. Kumpulan bintang itu, secara internasional disebut Pleiades. Dengan teleskop kecil, gugus bintang ini terlihat bak kumpulan permata biru yang cemerlang.
Sebagian masyarakat Indonesia mengenal gugus bintang itu sebagai Bintang Tujuh. Namun, peneliti etnoastronomi yang juga pembina Himpunan Astronomi Amatir Jakarta Widya Sawitar, Selasa (8/4), menilai penyebutan itu kurang tepat. Seharusnya, disebut Bintang Tujuh Bidadari atau Tujuh Puteri.
”Istilah Bintang Tujuh sejatinya mengacu pada Bintang Biduk atau rasi Ursa Mayor yang penggambarannya ada di relief Candi Borobudur,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Gugus bintang adalah kumpulan bintang yang berjumlah puluhan hingga ratusan ribu. Sementara galaksi berisi miliaran bintang. Gugus adalah bagian dari galaksi.
Bintang Tujuh Bidadari akan tampak di langit malam selepas Matahari terbenam hingga akhir April. Ia akan terlihat kembali di arah timur menjelang Matahari terbit pada Juli nanti. Waktu terbaik mengamati gugus ini pada November karena ia akan terlihat di sepanjang malam.
Nama Pleiades diambil dari mitologi Yunani dan dalam bahasa Inggris disebut Seven Sisters. Penamaan tujuh bintang terang di gugus ini diambil dari nama tujuh Pleiad itu dan dua bintang tambahan menggunakan nama Pleione, ibu Pleiades dan Atlas, suami Pleione.
Masyarakat Jawa menyebut bintang ini sebagai lintang kartika, dua kata yang memiliki makna sama, yaitu bintang. Penamaan itu menunjukkan pandangan istimewa orang Jawa terhadap gugus ini, yaitu menjadi ”bintangnya bintang”.
Tujuh bintang terang dalam gugus itu dianggap sebagai tujuh bidadari yang turun dari kahyangan untuk mandi di Bumi dalam legenda Jaka Tarub. Dalam Babad Tanah Jawi karya R Ng Yasadipura yang diterjemahkan Amir Rochkyatmo dkk (2004) disebutkan, satu bidadari yang akhirnya menjadi istri Jaka Tarub bernama Dewi Nawangwulan atau Dewi Ratna Juwita.
Widya menambahkan, lintang kartika juga menjadi ilham tari Bedhaya Ketawang. Bedhaya artinya tari, sedangkan ketawang berasal dari kata tawang yang berarti langit. Secara harfiah, tarian ini bermakna tarian langit.
Tari klasik dan sakral yang dibawakan sembilan penari itu hanya ditampilkan saat upacara peringatan penobatan raja di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
KGPH Hadiwidjojo dalam Bedhaya Ketawang (1981) mengutip pendapat RT Warsadiningrat menyebut, tari ini semula bernama lenggotbawa yang diciptakan Bathara Guru pada tahun 167. Tari ini ditarikan tujuh bidadari yang diciptakan dari tujuh permata indah.
Selanjutnya, Ratu Laut Selatan menambahkan dua penari lagi sehingga total menjadi sembilan orang. Tarian ini dipersembahkan sebagai perlambang curahan cinta Sang Ratu pada Sultan Agung, Raja Mataram yang menurunkan raja-raja di Keraton Surakarta dan Yogyakarta kini.
Syair lagu sinden yang mengiringi tarian secara jelas juga menggambarkan sang raja sebagai bintang. Selain itu, salah satu posisi penari Bedhaya Ketawang juga mirip susunan bintang dalam Pleiades meski tak persis. ”Ahli Bedhaya Ketawang mengakui lintang kartika adalah ilham tarian. Namun, mereka tak dapat menunjukkan yang mana lintang kartika itu,” ujarnya.
Bagi bangsa-bangsa besar lain, Pleiades juga memberikan makna penting dalam kehidupan mereka. Bukan dalam makna riil seperti penunjuk arah atau penanda musim, tetapi lebih bermakna filosofis.
Fisis gugus
Lepas dari semua mitologi yang melingkupi, Bintang Tujuh Bidadari merupakan gugus terbuka (open cluster) yang berisi bintang-bintang biru terang yang masih dibalut kabut debu sisa materi pembentukannya. Ini menandakan gugus ini masih berumur muda, terbentuk sekitar 100 juta tahun lalu.
Dosen Astronomi Institut Teknologi Bandung, M Ikbal Arifyanto, mengatakan, gugus bintang terbentuk dari sebuah awan molekul antarbintang yang runtuh dan membentuk banyak bintang dalam satu ikatan gravitasi.
Setelah bintang terbentuk, sisa materi yang tak menjadi bintang menyelimuti gugus bintang itu. Bintang baru akan terlihat saat angin bintang menyibak gas tersebut. Warna biru pada gas yang menyelimuti bintang itu merupakan refleksi cahaya bintang oleh debu di sekitarnya.
”Pembentukan bintang dan gugus bintang di Galaksi Bimasati masih banyak terjadi,” kata Ikbal. Sebagai galaksi berbentuk spiral, Bimasakti masih mengandung banyak materi antarbintang, terutama di lengan galaksi, yang masih cukup untuk membentuk bintang baru.
Ikatan gravitasi antarbintang pada gugus terbuka cukup lemah. Interaksi di antara bintang anggota gugus bisa membuat anggota gugus terlepas dari ikatan. Bintang yang terlepas itu biasanya bermassa kecil.
Ikatan lemah dan interaksi di antara anggota gugus bisa juga mengubah susunan gugus. Kondisi ini rentan terjadi pada Pleiades. Bintang bermassa besar cenderung tertarik ke pusat gugus, sedangkan yang lebih kecil berada di bagian luar gugus.
Perubahan bentuk dan susunan gugus dipengaruhi oleh evolusi setiap bintang anggota gugus. Bintang bermassa besar yang berumur pendek akan menjadi supernova yang memicu gugus kehilangan massa sehingga radius gugus pun mengecil agar stabil.
Ikbal menambahkan gaya pasang surut galaksi juga memengaruhi evolusi gugus bintang. Jika gaya ikat gugus lebih kecil dari gaya pasang surut galaksi, gugus akan mudah tercerai berai. Proses ini butuh waktu ratusan juta tahun.
Oleh: M Zaid Wahyudi
Sumber: Kompas, 10 April 2014