Kata atau istilah setan bisa jadi sedang sensitif akhir-akhir ini. Namun, tulisan ini tidak membahas partai atau politik, tetapi membahas generasi pendek (stunting) di negara ini.
Stunting baru-baru ini mendapat perhatian dari Kepala Bappenas dan bahkan Presiden Joko Widodo dalam rapat di Istana Negara, yang secara khusus membahas masalah ini.
Data kesehatan terakhir menunjukkan, dari 24,5 juta anak usia di bawah lima tahun (balita) di Indonesia, sekitar 9 juta atau 37 persen menderita stunting. Populasi stunting terbesar di Nusa Tenggara Timur dan Papua Barat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kondisi pemicu
Kalau kita menelaah stunting, pertama-tama yang harus kita cermati adalah tentang kondisi kehamilan kaum perempuan Indonesia. Dalam periode sembilan bulan yang sangat genting, ibu hamil harus mendapat asupan gizi cukup sehingga terhindar dari anemia ataupun KEK (kurang energi kronis). Tragisnya, ibu hamil penderita anemia di Indonesia masih cukup tinggi dan ini berpotensi pada rendahnya kualitas output kelahiran, yaitu berat bayi lahir rendah (<2,5 kg). Bayi lahir kurang berat akan memunculkan berbagai gangguan pertumbuhan.
Selanjutnya, periode anak balita yang disebut golden age. Periode ini ternyata menjadi titik rawan seorang anak karena mudah mengalami gangguan gizi. Problem kemiskinan, yang mendera 27 juta penduduk Indonesia, akan menekan akses pangan keluarga. Korban utamanya adalah anak balita. Anak balita termasuk kelompok rawan (vulnerable group) karena tumbuh kembangnya mudah dipengaruhi lingkungan sekitar, terutama ketersediaan pangan di tingkat keluarga.
Memasuki periode remaja, ancaman gizi yang mereka hadapi adalah anemia. Anemia hingga kini masih menjadi problem gizi yang paling sulit diatasi. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya asupan pangan hewani di Indonesia. Konsumsi ikan, telur, daging, dan susu yang rendah merupakan cermin daya beli kita. Jadi, kalau saat remaja mereka sudah anemia, pada periode selanjutnya, yakni dewasa muda hingga jenjang pernikahan, mereka akan senantiasa dibayangi problem gizi.
Dampak ”stunting”
Generasi stunting akan terbatas wawasannya karena secara intelektual mereka akan kalah dibandingkan dengan anak-anak yang pertumbuhannya normal. Kemampuan kognitif yang rendah akan mengancam daya saing generasi mendatang. Oleh sebab itu, memerangi stunting harus mendapat perhatian serius pemerintah yang konon baru menggenjot pembangunan SDM pada tahun 2019.
Posyandu sebagai ujung tombak program gizi di lapangan harus didongkrak kinerjanya. Image bahwa posyandu hanya sekadar tempat penimbangan anak balita dan pembagian bubur kacang hijau sudah saatnya diperbaiki. Berbagai intervensi gizi seperti pemberian makanan pendamping ASI untuk anak balita, kalau hanya berupa biskuit, daya ungkitnya sungguh tidak kelihatan.
Anak balita tidak memerlukan makanan khusus karena mereka umumnya makan seperti anggota keluarga lainnya. Mereka minum susu, makan telur, makan daging ayam, makan ikan, dan sebagainya. Jadi, kalau pendekatan food-based akan menjadi strategi pemberantasan stunting, berikan saja akses pangan bagi keluarga miskin yang di dalamnya terdapat anak balita, ibu hamil, ataupun ibu menyusui. Salah satu program yang bisa ditiru adalah bantuan pangan Pemerintah AS.
Metode kupon pangan sudah lama diterapkan di AS untuk membantu keluarga miskin di sana. Program Food Stamp atau program WIC (Women, Infants, and Children) adalah program yang sangat populer di AS.
Untuk program Food Stamp, orang miskin di AS memperoleh kupon senilai uang tertentu yang dapat digunakan untuk membeli makanan apa saja di setiap toko swalayan yang ada.
Sementara program WIC memberikan kupon yang di dalamnya sudah tercantum jenis makanan tertentu sebatas sereal, susu, telur, orange juice, dan peanut butter karena program WIC sasarannya adalah anak balita, ibu hamil dan menyusui dari keluarga miskin. Jenis makanan sengaja ditetapkan supaya dapat memenuhi gizi kelompok khusus ini.
Serupa subsidi pangan
Kalau saya perhatikan, penyelenggaraan program Food Stamp atau program WIC setali tiga uang dengan program subsidi pangan. Makanan yang dibeli dengan kupon sama persis dengan makanan yang tersedia sehari-hari di toko swalayan. Jadi, dalam hal ini orang miskin mendapatkan bantuan pangan gratis, sementara toko swalayan mendapat penggantian dari pemerintah sesuai harga yang berlaku di pasaran.
Dalam implementasi program kupon pangan ini sesungguhnya bukan hanya orang miskin yang diuntungkan, melainkan juga menciptakan pasar sehingga ekonomi atau perdagangan bahan pangan menggeliat.
Kebijakan raskin (kini disebut rastra) dulu diberikan kepada masyarakat miskin berupa beras. Mulai tahun 2017 telah diujicobakan bantuan pangan nontunai (BPNT) langsung kepada keluarga miskin senilai Rp 120.000 per keluarga per bulan. Komoditas pangan yang dapat dibeli dengan kartu BPNT masih sangat terbatas, dan belum sepenuhnya berorientasi pada penanganan masalah gizi atau pengurangan stunting.
Semoga model ini semakin disempurnakan mendekati bantuan pangan seperti di Amerika Serikat sehingga problem stunting dapat segera diatasi.
Ali Khomsan, Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat IPB
Sumber: Kompas, 25 April 2018