Saat ini pemerintah perlu menyusun undang-undang yang memproteksi warga negara dari serbuan propaganda digital global. Mereka adalah korban langsung dari fenomena ini.
Rencana pemerintah menyiapkan regulasi untuk melindungi dan memproteksi dunia pers dari serangan platform digital dari luar memberi sinyal positif bagi keberlangsungan hidup media massa, terutama yang mengusung peran pencerdasan publik. Akan tetapi, ada hal yang lebih mendesak yaitu pemerintah mesti segera menyusun undang-undang yang memproteksi warga negara dari serbuan propaganda digital global.
Pada perayaan Hari Pers Nasional (HPN) 2020 di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Sabtu (8/2/2020), Presiden Joko Widodo menyatakan pemerintah segera menyiapkan regulasi untuk melindungi dan memproteksi dunia pers dari serangan platform digital. Ekosistem media massa harus dilindungi dan diproteksi supaya masyarakat mendapatkan konten berita yang baik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Gagasan membuat regulasi yang memproteksi media dari serbuan raksasa platform media digital seperti google dan Facebook ini lebih maju dari diskusi sebelumnya terkait urgensi subsidi negara atas konten jurnalisme berkualitas di media.Tapi ini baru dari sisi bisnis atau korporasi media, belum menyentuh sisi publik yang justru terdampak langsung dan paling parah dari propaganda politik dan ekonomi media digital berskala global,” kata Pengamat media Universitas Islam Indonesia sekaligus Doktor Kajian Sistem Penyiaran Publik di University of Munich, Masduki, Sabtu (8/2/2020) saat dihubungi dari Jakarta.
Masduki mencontohkan, Amerika Serikat sekarang membuat regulasi terbaru yang khusus memproteksi warganya dari serbuan propaganda digital global. Perang digital dengan Iran, Rusia dan negara-negara lain termasuk jual beli data pribadi melatarbelakangi lahirnya undang-undang ini. Di Indonesia, undang-undang ini diperlukan untuk memastikan literasi digital berjalan massif yang akhirnya bermuara pada jurnalisme yang sehat.
Masih Sporadis
Dalam lima tahun terakhir, aksi literasi digital marak di kampus-kampus lewat Gerakan Nasional Literasi Digital Siberkreasi atau Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi). Selain itu, unit-unit cek fakta atau Fact checking juga banyak didirikan.
Akan tetapi, gerakan-gerakan ini masih cenderung sporadis dan disponsori platform-platform global sebagai semacam Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR). Ada resiko penggerusan sikap kritis dari platform-platform digital yang rakus mengkapling iklan.
“Harusnya ada undang-undang yang mendorong literasi media dan kewargaan digital sehingga literasi media dan cek fakta bisa berlangsung secara berkelanjutan. Selama ini, Kementerian Komunikasi dan Informatika cenderung sibuk sebagai ‘pemadam kebakaran”’ dengan menutup situs-situs atau konten media sosial bermasalah. Mereka Lupa dengan tugas mendorong regulasi perlindungan menyeluruh warga. Draft RUU Perlindungan data pribadi bisa menjadi jalan keluar, tapi ia harus diperluas kontennya,” paparnya.
Sebelumnya, Pemimpin Redaksi The Jakarta Post, sekaligus mantan anggota Dewan Pers, Nezar Patria juga mengeluhkan bagaimana media-media sosial baru berbasis internet, seperti Facebook, Youtube, Google, dan Netflix, kini menguasai begitu banyak pendapatan tetapi mereka tidak memiliki kontrol yang baik terhadap konten. Dahulu, platform baru seperti ini tak mau memasuki wilayah konten. Namun belakangan, mereka turut memasuki wilayah konten sehingga menjadi penyedia konten sekaligus penyelenggara platform.
”Terjadi perang asimetris antara penyedia konten dan penyedia platform. Dalam hal ini, penyedia konten menderita karena hubungan asimetris (tak setara) itu. Di tengah keterjepitan ini, media mencari jalan dan bisnis model baru,” kata Nezar.
Menanggapi keberadaan media-media baru berbasis internet, menurut jurnalis senior Bambang Harymurti, media dan jurnalis Indonesia mesti bersatu membangun nilai tawar di hadapan platform-platform media baru. Jadi mesti ada kolaborasi setara antara penyedia konten, yakni media, dan penyedia platform, seperti Google, Facebook, dan Youtube.
Oleh ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Editor: ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Sumber: Kompas, 10 Februari 2020