Pengawasan dari Pemda Bantul Masih Lemah
Pemerintah Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, didesak melindungi kawasan gumuk atau bukit pasir di wilayah pesisir selatan. Perlindungan itu berupa menetapkan gumuk pasir sebagai area konservasi sehingga perusaknya bisa dikenai sanksi tegas.
”Pemerintah Kabupaten Bantul seharusnya segera menetapkan gumuk pasir sebagai kawasan konservasi sehingga berbagai kegiatan yang merusak gumuk bisa dicegah sejak awal,” kata peneliti Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Gadjah Mada (UGM), Eko Sugiharto, Senin (12/1), di Yogyakarta.
Gumuk pasir di kawasan Parangtritis merupakan fenomena alam yang terbentuk sejak ribuan tahun lalu. Pasir itu berasal dari material vulkanik Gunung Merapi yang mengalir ke beberapa sungai lalu terbawa sampai laut selatan. Karena ada ombak dan angin, pasir di laut kemudian terbawa ke pantai dan wilayah sekitarnya membentuk bukit-bukit dalam beragam bentuk.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, gumuk pasir di Parangtritis itu mulai rusak karena berbagai penyebab, termasuk maraknya tambak udang. Padahal, gumuk pasir memiliki fungsi ekologis yang penting, misalnya untuk mencegah intrusi atau peresapan air laut ke lapisan air tanah (Kompas, 12/1).
Eko mengatakan, keberadaan gumuk pasir di Parangtritis penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem di wilayah pesisir. Jika gumuk pasir dirusak, wilayah pesisir akan mudah terkena abrasi atau pengikisan daratan pantai karena gelombang air laut.
”Karena itu, kalau Pemkab Bantul punya niat baik melindungi lingkungan pesisir, seharusnya gumuk pasir benar-benar dijaga,” katanya.
Untuk itu, gumuk pasir layak ditetapkan sebagai area konservasi. Penetapan gumuk pasir sebagai area konservasi juga bisa diikuti pengembangan kawasan itu menjadi tempat penelitian dan obyek wisata. ”Sangat penting untuk menjaga gumuk pasir yang masih ada karena rehabilitasi gumuk yang sudah rusak sulit dilakukan,” ujarnya.
Tersisa 45 hektar
Pelaksana Tugas Kepala Laboratorium Geospasial Pesisir Parangtritis Ari Dartoyo mengatakan, luas area potensial gumuk pasir di Parangtritis sekitar 500 hektar. Namun, berdasarkan pengukuran yang dilakukan Laboratorium Geospasial Pesisir Parangtritis pada 2012-2013, gumuk pasir tersisa sekitar 45 hektar. ”Pembangunan rumah, kegiatan pariwisata, dan pembuatan tambak udang merupakan sejumlah penyebab kerusakan gumuk pasir,” tuturnya.
Laboratorium Geospasial Pesisir Parangtritis adalah lembaga yang dibentuk Badan Informasi Geospasial bekerja sama dengan Fakultas Geografi UGM dan Pemerintah Kabupaten Bantul. Lembaga itu bergerak dalam riset tentang kawasan pesisir, termasuk gumuk pasir.
Peneliti Laboratorium Geospasial Pesisir Parangtritis, Dwi Sri Wahyuningsih, mengatakan, luas area gumuk pasir yang diubah menjadi tambak udang mencapai belasan hektar. Jika tak ada tindakan tegas dari Pemkab Bantul, gumuk pasir yang rusak karena tambak udang bisa terus meluas.
Menurut Badan Lingkungan Hidup Bantul, usaha tambak udang jenis vannamei di Bantul mulai marak tahun 2013. Diperkirakan ada sekitar 240 pengusaha tambak yang tersebar di Kecamatan Srandakan, Kretek, dan Sanden dengan luas areal tambak sekitar 30 hektar. Hampir semua tambak itu ilegal karena dibuat di atas lahan milik Keraton Yogyakarta tanpa dilengkapi izin apa pun.
Ketua Komunitas Save Our Sand Dunes Lives Budianto menuturkan, pembangunan tambak udang di gumuk pasir terjadi karena lemahnya pengawasan. ”Pembangunan tambak udang di gumuk pasir sudah terjadi lebih dari setahun lalu, tapi sepertinya enggak ada pencegahan dari pemerintah,” katanya.
Tambak udang kebanyakan dibuat oleh warga setempat dengan bantuan dana dari pihak luar. Modal untuk pembuatan sejumlah kolam tambak di suatu kawasan dan pembelian peralatan bisa mencapai Rp 1,5 miliar. ”Tambak udang di kawasan gumuk pasir tersebar di empat lokasi dengan jumlah kolam sekitar 20,” ujar warga Desa Parangtritis itu.
Kepala Bappeda Bantul Tri Saktiyana berjanji akan menertibkan ratusan tambak udang ilegal di pesisir selatan, termasuk di areal gumuk pasir. (HRS)
Sumber: Kompas, 13 Januari 2015