Pemanasan global terus terjadi di Kutub Utara dan Kutub Selatan yang selama ini membeku. Hal itu dikhawatirkan mengganggu dinamika lautan.
Pemanasan global telah menyebabkan terganggungnya keseimbangan Kutub Selatan dan Kutub Utara Bumi. Kondisi ini dikhawatirkan bakal mengganggu dinamika lautan dan iklim global.
Stasiun pemantuan Argentina, Ezperanza, yang bermarkas di Semenanjung Antarika, mencatat rekor suhu baru 18,3 derajat celsius di benua yang diselimuti salju, es, dan dihuni penguin ini pada 6 Februari 2020. Sementara itu, Kutub Utara atau Arktik juga kehilangan es dengan cepat dan pada akhirnya mengubah sirkulasi lautan dunia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebelumnya, rekor terpanas di Antartika sebesar 17,5 derajat celsius terjadi pada Maret 2015. Terus meningkatnya temperatur di Kutub Selatan ini menjadi penanda semakin seriusnya pemanasan global.
Komite untuk Arsip Cuaca dan Iklim Ekstrem Organisasi Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization/WMO) tengah memverifikasi laporan ini apakah memang merupakan rekor baru untuk Benua Antartika.
”Catatan tersebut kemungkinan terkait dengan apa yang kita sebut peristiwa ’foehn’ regional atas wilayah tersebut, yaitu pemanasan udara yang cepat menuruni lereng,” sebut pelapor Cuaca dan Iklim Ekstremik WMO, Randall Cerveny, dalam pernyataan tertulis.
Verifikasi catatan suhu maksimum ini penting karena membantu kita membangun gambaran cuaca dan iklim di salah satu sudut Bumi yang dalam sejarah selalu membeku. ”Antartika, seperti Kutub Utara, kurang tercakup dalam hal pengamatan dan prakiraan cuaca meskipun keduanya memainkan peran penting dalam menggerakkan pola iklim dan lautan dan dalam kenaikan permukaan laut,” kata Cerveny.
Catatan WMO, Semenanjung Antartika, yaitu ujung barat laut dekat ke Amerika Selatan, merupakan salah satu daerah dengan pemanasan tercepat di planet ini, yaitu hampir 3 derajat celsius selama 50 tahun terakhir. Jumlah es yang hilang setiap tahun dari lapisan es Antartika meningkat setidaknya enam kali lipat antara tahun 1979 dan 2017.
Sebagian besar hilangnya es terjadi dengan melelehnya lapisan es dari bawah karena tergerus air laut yang relatif hangat, terutama di barat Antartika, sepanjang semenanjung, dan di Antartika timur.
Mencakup luasan 14 juta kilometer persergi, atau sekitar dua kali ukuran Benua Australia, Antartika memiliki suhu rata-rata tahunan sekitar -10 derajat celsius di pantai Antartika hingga -60 derajat celsius di bagian tertinggi interior. Lapisan esnya yang sangat tebal hingga 4,8 km dan mengandung 90 persen air tawar dunia cukup untuk menaikkan permukaan laut sekitar 60 meter jika semuanya mencair.
Data WMO juga menunjukkan, sekitar 87 persen gletser di sepanjang pantai barat Semenanjung Antartika telah mundur dalam 50 tahun terakhir dan sebagian besar menunjukkan perlambatan mundur dalam 12 tahun terakhir.
Namun, menurut gambar satelit dari Sentinel1 Eropa, retakan di Gletser Pulau Pinus di Antartika telah berkembang pesat selama beberapa hari terakhir.
Kutub Utara
Studi terpisah oleh NASA menunjukkan, pencairan es laut di Kutub Utara yang semakin cepat telah memicu perubabahan arus laut. Dengan menggunakan data satelit selama 12 tahun, para ilmuwan mengukur bagaimana arus sirkuler ini disebut Beaufort Gyre, menyebabkan masuknya air dingin ke laut dalam jumlah besar. Itu dikhawatirkan mengubah arus di Samudra Atlantik dan mendinginkan iklim Eropa Barat.
Beaufort Gyre selama ini menjaga lingkungan kutub dalam keseimbangan dengan menyimpan air segar di dekat permukaan laut. Air tawar ini penting di Kutub Utara sebagian karena membantu mengapungkannya di atas air asin yang lebih hangat dan membantu melindungi es laut dari pencairan, yang pada gilirannya membantu mengatur iklim Bumi. Selama beberapa dekade, air tawar ini terlepas ke Samudra Atlantik secara perlahan.
Tetapi, sejak 1990-an, sejumlah besar air segar atau setara 8.000 kilometer kubik telah masuk ke samudra. Studi yang diterbitkan dalam jurnal Nature Communications pada 8 Februari 2020 ini menemukan penyebab kenaikan konsentrasi air tawar ini adalah hilangnya es laut di Kutub Utara pada musim panas dan musim gugur.
”Jika Beaufort Gyre melepaskan kelebihan air tawar ke Samudra Atlantik, itu berpotensi memperlambat peredarannya. Dan, itu akan berdampak luas pada iklim, terutama di Eropa Barat,” kata Tom Armitage, penulis utama studi dan ilmuwan kutub di Jet Propulsion Laboratory NASA di Pasadena, California.
Air tawar yang dilepaskan dari Samudra Arktik ke Atlantik Utara dapat mengubah kepadatan air permukaan. Biasanya air dari Kutub Utara kehilangan panas dan kelembaban ke atmosfer dan tenggelam ke dasar lautan, di mana air dari Samudra Atlantik utara turun ke daerah tropis, seperti sabuk konveyor.
Laporan dari Panel Ahli Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2019 menyebutkan, muka air laut bisa bertambah 1 meter pada 2100 jika suhu global bertambah 3 derajat celsius. Kenaikan muka air laut ini terutama disumbangkan oleh melelehnya es di dua kutub Bumi.
Oleh AHMAD ARIF
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 11 Februari 2020