Perguruan tinggi (PT) di Indonesia punya tiga tugas utama yang dikenal dengan Tridarma PT: pendidikan, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat. Dari tiga tugas utama tersebut, dalam masalah penelitian kita masih mencari bentuk yang tepat untuk mengevaluasinya.
Masalahnya, setelah penelitian selesai, bagaimana kita bisa mengetahui bahwa penelitian telah sukses dilakukan? Bahkan, pertanyaan mendasar masih perlu diajukan: apakah penelitian yang dilakukan memang pantas untuk diteliti?
Pertanyaan itu, walau sederhana, perlu dijawab secara serius karena laporan penelitian beserta laporan keuangan saja tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Kalaupun ada seminar hasil penelitian, pertanyaan itu pun tak dapat dijawab secara khidmat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pertanyaan itu akan terjawab secara positif apabila artikel yang diturunkan dari hasil penelitian dimuat pada sebuah jurnal internasional bereputasi. Mengapa demikian? Pertama, apabila telah berhasil dimuat, dapat disimpulkan hasil penelitian yang dilakukan memiliki hal yang baru dan memang pantas untuk diteliti. Sebuah jurnal yang bermutu tidak akan memuat artikel yang tidak memiliki kebaruan dan menghasilkan sesuatu yang biasa-biasa saja.
Kedua, artikel hanya bisa dimuat setelah melewati proses review oleh beberapa juri atau reviewer dalam ilmu yang sebidang. Karena ini jurnal internasional, tim juri pun bersikap sangat profesional dan tidak ada sikap ewuh pakewuh kalau editor sebuah jurnal ingin menolak sebuah artikel. Proses review memainkan peranan sangat penting dalam menilai sebuah artikel: pantas dimuat atau ditolak. Oleh sebab itu, untuk menjawab pertanyaan semula, apakah penelitian yang dilakukan memang pantas untuk diteliti tidak dapat dijawab oleh kegiatan seminar hasil penelitian yang berlangsung hanya beberapa menit. Apalagi, tim penilai pun kolega kita sendiri dari Indonesia.
Ali Ghufron Mukti (Kompas, 24/4/2018) mengemukakan data yang membuat kita berdecak kagum. Pada awal 2015 publikasi internasional Indonesia yang terindeks Scopus hanya 5.499. Akan tetapi, pada 2017 publikasi kita meningkat pesat jadi 18.814, dan ini berarti kita berada di peringkat ke-3, setelah Malaysia (30.681) dan Singapura (20.459). Bahkan, khusus pada triwulan pertama 2018, publikasi internasional Indonesia tercatat 5.125 publikasi, sedangkan Singapura 4.948 publikasi. Ini berarti kita telah mengalahkan Singapura! Sesuatu yang belum pernah kita bayangkan sebelumnya.
Unggul kuantitas
Meski demikian, kita harus agak hati-hati dalam membaca data yang kita miliki terkait publikasi internasional Indonesia yang terindeks Scopus. Kalau kita cermati lebih dalam, data yang dikemukakan Ali Ghufron di atas hanya berupa data kuantitas dari publikasi internasional kita. Banyak publikasi terindeks Scopus yang kita miliki berasal dari konferensi internasional yang prosidingnya diindeks oleh Scopus. Artikel yang dimuat dalam prosiding konferensi internasional ini biasanya tidak mengalami proses review yang ketat dan kualitasnya jauh di bawah artikel yang dimuat pada jurnal internasional bereputasi.
Secara kualitas tampaknya kita masih kalah jauh dari Singapura, Malaysia, dan Thailand. Ini tecermin dari peringkat universitas di ASEAN yang dikeluarkan oleh Times Higher Education pada 2018. Pada posisi 10 besar, Singapura merebut peringkat pertama dan kedua melalui National University of Singapore dan Nanyang Technological University. Malaysia menempatkan empat universitasnya (peringkat ke-3, 5, 7, dan 10), Thailand (4, 6, dan 8), dan Filipina (9). Tiga PT terbaik Indonesia, yaitu Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Indonesia, masing-masing menempati urutan ke-15, ke-17, dan ke-18 di ASEAN.
Menurut Ali Ghufron, dalam mengatasi masalah kualitas publikasi internasional inilah kita perlu mengundang dosen asing yang berkualifikasi tinggi (profesor atau associate professor yang memiliki h-index lebih dari 20). Dengan kemampuan dan pengalaman mereka yang hebat, diharapkan mereka akan mampu menularkan ilmunya kepada koleganya di Indonesia. Kita tentu saja sepakat dengan kebijakan yang baik dan mulia ini.
Namun, dua hal penting yang harus kita cermati. Pertama, apakah profesor asing itu akan mudah menularkan kemampuannya kepada patnernya dari Indonesia? Secara alamiah, kemampuan atau kepakaran akan dapat ditularkan secara mulus apabila pemberi dan penerima ilmu tak berbeda kualitas yang jauh.
Ini artinya, kita harus menyiapkan pakar yang seimbang dengan dosen asing tersebut. Kalau demikian halnya, multiplier effect yang ditimbulkan oleh dosen asing itu tidak akan banyak: hanya untuk pakar yang levelnya juga sudah tinggi dan pada bidang ilmu yang sangat spesifik pula.
Kedua, banyak profesor yang produktif di luar negeri, di samping karena kehebatannya secara pribadi, juga disebabkan fasilitas laboratorium yang dimilikinya. Oleh sebab itu, dalam kasus seperti ini, mendatangkan dosen asing semata-mata tidak akan mampu meningkatkan kualitas dosen kita apabila tidak diikuti oleh peningkatan fasilitas laboratorium di pihak kita.
Dari uraian di atas, saya menyarankan, sebaiknya upaya mendatangkan dosen asing ini dilakukan secara terbatas melalui proyek percontohan terlebih dahulu. Barangkali cukup 10 dosen asing terlebih dahulu didatangkan. Kita uji terlebih dahulu asumsi-asumsi yang kita bangun selama ini. Dari sini tentu akan banyak pelajaran yang akan kita petik. Kalau kedatangan dosen asing ini membawa manfaat yang banyak, baru ditingkatkan jumlahnya secara perlahan-lahan.
Manfaatkan pascasarjana
Selain itu, guna meningkatkan kualitas publikasi internasional, kita perlu juga memanfaatkan sumber daya profesor kita sendiri. Kita perlu mengumpulkan para profesor Indonesia yang produktif pada berbagai bidang ilmu dan pernah menulis di jurnal internasional bereputasi sebagai pengarang pertama, dan utamanya sebagai corresponding author. Lalu, para profesor produktif ini ditugaskan di universitas-universitas di seluruh Indonesia untuk membimbing dan mengajar mahasiswa S-2 dan S-3 bersama dengan profesor di universitas lokal. Kita berharap dari kegiatan pendidikan dan penelitian ini lahir lulusan-lulusan yang hebat dengan publikasi yang hebat pula.
Untuk itu, tentu ada prasyaratnya. Program pascasarjana harus didesain secara serius. Mahasiswa S-2 dan S-3 harus yang fresh graduate dan bukan orang kantoran yang kerja sambil kuliah. Kita berharap mayoritas mahasiswa pascasarjana memiliki beasiswa, terutama beasiswa bidik misi bagi mahasiswa yang kurang secara ekonomi.
Sekarang, program pascasarjana, terutama di daerah-daerah, dibiarkan berjalan tanpa arah dan tanpa kendali mutu yang meyakinkan. Dalam beberapa hal, karena kualitas masukan mahasiswanya yang parah, kita lebih gampang membimbing mahasiswa S-1 daripada mahasiswa S-2 atau S-3. Ke depan, kondisi ini tak boleh dibiarkan lagi.
Syamsul Rizal Profesor di Universitas Syiah Kuala; Alumnus ITB dan Universitaet Hamburg, Jerman
SUmber: Kompas, 15 Mei 2018