Sudah 40 tahun Krismono mendedikasikan hidupnya untuk ikan lokal dan ekosistem perairan. Bagi dia, kebanggaan terbesar adalah saat penelitiannya berguna untuk banyak orang.
KOMPAS/MELATI MEWANGI—Ketua Kelompok Peneliti Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan (BRPSDI) Jatiluhur Krismono saat ditemui di Kantor BRPSDI Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat, Jumat (5/2/2021).
Bagi Profesor Krismono (65), ikan lokal adalah warisan dunia yang rentan terluka akibat kegiatan manusia. Upaya penyelamatan bersama sumber daya ikan lainnya harus dilakukan demi menjamin masa depan manusia tetap cerah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Salah satu ikan lokal yang menarik perhatiannya adalah sidat (Anguilla sp). Ikan ini bernilai ekonomi tinggi karena diklaim memiliki kandungan omega 3 tinggi yang baik untuk kesehatan. Harganya mencapai Rp 150.000 per kilogram di tingkat nelayan dengan pasar utama Jepang, Korea, dan China. Di dunia, Indonesia termasuk 10 besar negara produsen sidat.
Akan tetapi, nasibnya tidak secerah nilai ekonominya. Saat Krismono memulai misi penyelamatan sidat pada tahun 2010 di Poso, Sulawesi Tengah, populasi ikan itu terancam. Daerah Aliran Sungai Poso adalah salah satu daerah dengan potensi besar sidat di Tanah Air.
ARSIP LIPI/TRIYANTO—Sidat (Anguilla marmorata) di Danau Poso, Tentena, Sulawesi Tengah, 2007.
Menjadi ketua pelaksana tim penelitian dari Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan (BRPSDI), Krismono turun ke lapangan. Perjalanan dilakukan menjelajahi muara Sungai Poso di Teluk Tomini hingga Danau Poso. Hal itu tidak lepas dari cara hidup sidat sebagai ikan katadrom atau hidup di perairan tawar dan pergi ke laut lepas untuk bertelur.
Waktu penjelajahan itu sengaja dipilih malam hari. Sidat aktif bergerak hingga mencari makan di malam hari. Biasanya dilakukan sekitar pukul 22.00 dan berakhir pukul 06.00.
Dibantu pengetahuan warga setempat, tim peneliti menentukan empat lokasi pengambilan sampel sidat. Selain muara Sungai Poso, ada juga kawasan Pandiri, Sulewana, dan Tentena (Danau Poso). ”Sampel diambil menggunakan alat tangkap bubu, pancing, hingga wayamassapi (alat tangkap tradisional berbentuk segitiga berbahan bambu),” kata Krismono saat ditemui di Kantor BRPSDI di Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat, Jumat (5/2/2021).
Dari perjalanan itu, satu per satu persoalan terkuak. Banyak warga menangkap sidat pada fase benih karena minimnya pengetahuan yang tepat. Padahal, jika dibiarkan berkembang menjadi dewasa, harga jualnya bisa lebih tinggi.
Indukan sidat juga diambil secara masif di Tentena, Danau Poso. Kondisi itu rentan mengganggu migrasi sidat untuk memijah di laut lepas. ”Padahal, waktu yang dibutuhkan benih sidat dari muara sungai hingga menjadi dewasa di danau bisa mencapai 12 tahun,” ujar Krismono.
Kondisi bertambah runyam saat dibangun bendungan untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di Sulewana yang berpotensi mengganggu migrasi sidat. Banyak benih sidat tidak bisa naik ke Danau Poso karena tertahan bendungan. Saringan pada bendungan juga membuat induk tidak bisa menuju muara.
Akan tetapi, penelitian yang berjalan dua tahun itu juga melahirkan solusi. Warga di sekitar lokasi pengambilan sampel, misalnya, sedikit demi sedikit mengurangi penangkapan benih dan indukan. Pemerintah juga membuat peraturan terkait kawasan konservasi ikan sidat untuk melindungi anakan dan indukan di kawasan Gua Boko dan Sungai Tomasa, yang alirannya tidak melintasi bendungan.
Bahkan, penelitian itu berujung pada munculnya peraturan hukum. Salah satunya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 19 Tahun 2012 tentang Larangan Pengeluaran Benih Sidat (Anguilla sp) dari Wilayah Negara Republik Indonesia ke Luar Wilayah Negara Republik Indonesia. Selain itu, ada juga Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 80 Tahun 2020 tentang Perlindungan Terbatas Ikan Sidat.
Sejumlah inovasi juga dibuat Krismono bersama peneliti lainnya. Untuk sidat, ia membuat inovasi teknologi jalur ikan bernama eelway bersama Yayuk Sugianti. Tahun 2012, eelway diterapkan di PLTA Sulewana. Pembangunan kedua dilakukan di lokasi yang sama pada tahun 2019.
Eelway terdiri dari jalur berbentuk persegi panjang yang bagian alasnya diberi substrat kasar dan berserabut. Selain itu, ada juga kolam peristirahatan bagi benih sidat (glass eel), tangki perangkap penampungan sementara benih sidat, dan tangki rilis untuk melepaskan benih tersebut ke perairan. Inovasi ini diharapkan bisa membantu benih sidat bermigrasi dari hilir hingga hulu.
KOMPAS/MELATI MEWANGI—Sejumlah ikan asli Sungai Citarum dan ikan introduksi tertangkap pada jaring yang dipasang oleh peneliti dari Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan di Waduk Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat, Kamis (22/10/2020).
Selamatkan Citarum
Jauh sebelumnya, Krismono tidak pernah akrab dengan ikan. Dia masuk Jurusan Biologi Universitas Gadjah Mada setelah tidak diterima di jurusan kedokteran umum di kampus yang sama. Bahkan, saat studi di jurusan biologi, dia belum intens mendalami sumber daya ikan dan waduk.
”Hanya saja, dulu saya selalu membayangkan bakal punya tempat kerja yang sepi dan tenang, seperti waduk dan danau,” katanya.
Mimpinya terwujud saat bekerja dan ditempatkan di BRPSDI tahun 1981. Di belakang kantornya terhampar Waduk Jatilihur. Di danau itu, cinta pada ekosistem air muncul.
Seperti banyak waduk lain di Indonesia, Jatiluhur juga menyimpan potensi bahaya terhadap ekosistem perikanan. Kualitas perairannya rentan memburuk akibat limbah rumah tangga hingga industri. Keberadaan keramba jaring apung konvensional juga memicu sisa pakan berbahaya bagi ekosistem.
Lagi-lagi, kesadaran masyarakat untuk menjaga ekosistem sangat berpengaruh di sini. Bersama rekan-rekannya, Krismono terus melakukan sosialisasi untuk menjaga kondisi Sungai Citarum dan Waduk Jatiluhur.
Paling anyar, Krismono terlibat dalam program Citarum Harum sejak 2018. Tujuannya adalah meminimalkan potensi pencemaran dan kerusakan lingkungan di sungai sepanjang 269 kilometer itu.
Dari hasil penelitian, ada harapan baru di Citarum. Penelitian pada Oktober 2020 menunjukkan, ikan-ikan lokal yang sempat hilang mulai muncul kembali di Jatiluhur.
KOMPAS/MELATI MEWANGI—Ketua Kelompok Peneliti Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan Krismono
Sejumlah ikan lokal yang ditemukan di delapan lokasi pengambilan sampel adalah ikan kebogerang atau twospots catfish, ikan lalawak dari famili Cyprinidae, dan ikan lempuk atau butter catfish. ”Ini indikator dari kualitas air yang baik sebab beberapa ikan khas sempat menghilang dan baru muncul saat ini,” katanya.
Krismono juga mengembangkan keramba jaring apung (KJA) yang ramah lingkungan di sejumlah waduk. Di Waduk Jatiluhur dan Cirata, pada tahun 2018, ada KJA dengan sistem manajemen air melalui resirkulasi dan tanaman (SMART) yang dikembangkan bersama peneliti Lismining Pujiyani Astuti.
Konstruksi KJA SMART dilengkapi berbagai komponen yang membedakan dengan KJA konvensional. Komponen itu antara lain kolam keramba dengan penampung pakan, pompa penyedot sisa pakan, dan penampung dilengkapi filter. Ada pula perangkat hidroponik, komponen lahan basah (wetland), dan komponen filter fisik.
Di KJA SMART ada tambahan lapisan penghambat penguraian dan penampung sisa pakan di bagian bawah. Adapun kolam KJA konvensional hanya dilengkapi jaring yang tak ideal menampung sisa pakan.
Kini, hampir 40 tahun mengabdikan diri untuk ikan lokal dan ekosistem air, Krismono belum ingin berhenti. Dia masih ingin menularkan semangat penelitian pengelolaan sumber daya ikan ideal krpada peneliti muda.
Agus Arifin (35), peneliti BRPSDI, mengatakan, Krismono kerap memotivasi anak muda untuk terus berkarya dan menulis karya ilmiah ataupun jurnal populer. ”Dinikmati, kata beliau, jangan dijadikan beban,” kata Agus.
Selain itu, Krismono mengatakan, masih banyak lingkungan perairan di Indonesia yang harus terus diperbaiki. Dia juga selalu rindu kegembiraan saat beragam penelitian dituntaskan. ”Bagi saya, kegembiraan peneliti itu saat penelitiannya digunakan untuk kebaikan bersama,” ucapnya.
Krismono
Lahir: Solo, 21 April 1955
Pendidikan:
S-1 Fakultas Biologi UGM (lulus 1981)
S-2 Pascasarjana IPB Jurusan Ilmu-ilmu Perairan (1988)
S-3 Pascasarjana IPB Jurusan Manajemen Sumber Daya Perairan (2012)
Profesor Riset LIPI (2013)
Oleh MELATI MEWANGI
Editor: CORNELIUS HELMY HERLAMBANG, DAHONO FITRIANTO
Sumber: Kompas, 12 Maret 2021