Krisma Lekitoo seperti kamus hidup untuk urusan tanaman kayu. Ia hapal sebagian besar dari 1.500-an spesies tanaman kayu dari Papua. Ia pun menjadi satu dari segelintir dendrolog yang saat ini dimiliki Indonesia.
Di Indonesia, hanya ada segelintir orang yang menekuni ilmu dasar botani berupa taksonomi tumbuhan, lebih khusus ilmu taksonomi tanaman kayu. Di antara yang segelintir itu ada nama Krisma Lekitoo, seorang peneliti asal Papua Barat.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Krisma Lekitoo, peneliti dendrology atau tanaman kayu pada Balai Penelitian, Pengembangan, dan Inovasi Manokwari, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kamis (13/2/2020) di Manokwari, Papua Barat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di antara para peneliti kehutanan, Krisma diakui sebagai dendrolog–orang yang mempelajari tumbuhan berkayu–andal. Ia memiliki pengalaman menelusuri rimba raya di pelosok Papua selama 20 tahun. Dari situ, ia mengumpulkan setidaknya 1.500 spesimen daun beserta buah aneka tanaman kayu.
Spesimen-spesimen itu menjadi koleksi herbarium mini yang Krisma dirikan di Manokwari, Papua Barat. Herbarium tersebut kini menjadi rujukan para mahasiswa dan peneliti yang ingin mengenal morfologi dan taksonomi tanaman kayu.
Pengalaman panjang di lapangan membuat Krisma hapal sebagian besar dari sekitar 15.000 spesies tanaman kayu di Papua di mana 1.278 di antaranya endemik Papua. Selain itu, ia hapal sebagian besar dari 25.000 tanaman kayu di seluruh dunia.
Hapal nama spesies–termasuk nama ilmiah atau nama latinnya–buat Krisma merupakan talenta yang diberikan Tuhan. Ia mengasah talenta itu dengan belajar keras tentang karakteristik dan keunikan masing-masing tanaman secara detail. Lewat ciri-ciri itu, ia bisa mengenali setiap tanaman dengan baik.
Ia mengibaratkannya dengan cara manusia mengenali sesamanya yakni berdasarkan ciri-ciri fisik seperti letak tahi lalat, warna kulit, bentuk mata, dan tipe rambut. “Kalau kita tahu ciri-ciri seseorang dan sering bertemu pasti ingat nama,” katanya di Fakultas Kehutanan Universitas Papua (Unipa) di Manokwari, Kamis (13/2/2020), usai memberi kuliah.
Selain sebagai peneliti Balai Penelitian Kehutanan di Manokwari, Krisma juga tercatat sebagai dosen tamu di Unipa. Siang itu, ia tampak santai dengan kaos putih berkerah, celana gunung, dan tas kecil.
Bermain di hutan
Ketertarikan Krisma pada dunia tanaman terbentuk sejak kecil. Saat itu, ia terbiasa bermain di Hutan Gunung Meja yang saat ini bernama Taman Wisata Alam di Manokwari. Ia akrab dengan hutan dan aneka tetumbuhan di dalamnya.
Ketertarikan itu kian kental ketika ia melanjutkan kuliah di Fakultas Kehutanan Unipa (saat itu Fakultas Pertanian Unipa). Di kampus itulah ia mempelajari ilmu pengetahuan tentang tanaman berkayu (dendrologi) secara lebih sistematis. Itu adalah ilmu yang tidak banyak diminati orang itu. “Dendrologi ini langka karena untuk mempelajarinya kita harus tahu teori, mau masuk ke dalam hutan, dan mau praktik,” ujarnya.
Masa perkuliahan ia jalani dengan menyambi masuk-keluar hutan. Ia mengumpulkan spesimen-spesimen daun dari hutan sebagai bekal untuk mempelajari tanaman. Krisma biasa masuk-keluar hutan tiga hari. Setelah itu, ia tiga hari mempelajari aneka spesimen yang ia kumpulkan. Pokoknya rumusnya tiga hari-tiga hari. “Prinsip saya, mati-mati,” katanya untuk menunjukkan tekadnya mempelajari tanaman kayu sampai tuntas.
Ketekunan Krisma membuahkan hasil. Ia menjadi mahasiswa dengan prestasi menonjol di kampus. Namun, pada satu titik ia merasa usahanya mempelajari dendrologi sudah mentok. Ia kesulitan memadukan ciri khas tumbuhan, nama latin, dan kunci identifikasinya. “Saya merasa butuh orang yang pintar (untuk mengajari saya),” katanya.
Jalan untuk mendalami dendrologi terbuka tahun 2000. diterima menjadi peneliti pada Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan pada Kementerian Kehutanan (kini Badan Penelitian, Pengembangan, dan Inovasi KLHK) dengan tugas di Balai Penelitian Kehutanan di Manokwari. Balai ini mempelajari seluruh aspek kehutanan di Tanah Papua.
Profesi ini membuat Krisma bisa mengenal Kade Sidiyasa, peneliti senior yang juga dendrolog andalan Kementerian Kehutanan. Dari “suhunya” itu Krisma menyerap banyak pelajaran termasuk kiat menjadi dendrolog.
“Saya bangga disebutnya sebagai murid (Kade), karena setahu saya tidak ada peneliti lain yang disebutnya murid,” kenang Krisma tentang almarhum gurunya itu.
Penerus
Setelah bertahun-tahun menjadi peneliti tanaman kayu, Krisma gelisah karena pakar dendrologi di Indonesia sangat terbatas. Ia berharap bisa mencetak kader-kader yang mau menekuni ilmu ini. Saat ini, ada sembilan orang yang Krisma didik secara khusus agar bisa menjadi penerusnya.
Meski tergolong ilmu dasar, pengenalan terhadap tumbuhan membuat seseorang bisa memahami ekologi dengan tepat dan benar. Jika tidak paham, bisa keliru. Krisma mencontohkan kekeliruan penyebutan pohon matoa sebagai tanaman endemik Papua pada acara di Hutan Pers Tanaman Spesies Endemik Indonesia di Kalimantan Selatan beberapa waktu lalu.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Krisma Lekitoo, peneliti dendrology atau tanaman kayu pada Balai Penelitian, Pengembangan, dan Inovasi Manokwari, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kamis (13/2/2020) di Manokwari, Papua Barat, menunjukkan koleksi buah awetan yang disimpan di herbarium kantornya. Koleksi menjadi penting bagi peneliti untuk memudahkan dalam mempelajari identifikasi lebih lanjut jenis tanaman.13 Februari 2020
Menurut Krisma, matoa bukan tanaman endemis Papua karena secara alami tanaman itu juga menyebar di luar Papua, bahkan hingga Thailand. “Hanya saja matoa tumbuh baik di Papua,” kata dia.
Selain soal pengkategorian, lanjut Krisma, dendrologi juga bermanfaat jika digabungkan dengan ilmu geologi. Keberadaan tumbuhan tertentu bisa menunjukkan potensi tambang mineral pada suatu lokasi. Karenanya, pemetaan jenis-jenis tumbuhan bisa sekaligus memetakan potensi tambang di lokasi tersebut.
Saat ini Krisma sedang mempersiapkan bukti ilmiah identifikasi baru temuan sedikitnya tujuh spesies baru tanaman kayu dari pelosok hutan di pedalaman Papua.
Krisma Lekitoo
Lahir: Wasior (Teluk Wondama, Papua Barat), 31 Juli 1976
Istri: Novita Panambe
Pendidikan:
SMAN 1 Manokwari (1990-1993)
S1 Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih (1993-1998)
S2 Magister Ilmu Kehutanan Universitas Gadjah Mada (2009-2011)
Pekerjaan: Peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Oleh ICHWAN SUSANTO DAN HARRY SUSILO
Editor: BUDI SUWARNA
Sumber: Kompas, 27 Februari 2020