Label penanda yang menunjukkan produk sawit ramah lingkungan menjadi kebutuhan masyarakat yang mulai menyadari akan pentingnya mengonsumsi produk yang berkelanjutan.
Pandemi Covid-19 membuat konsumen dan produsen mengubah kebiasaan lama serta mulai membuat keputusan yang berdampak positif bagi lingkungan ataupun masyarakat. Meningkatnya kesadaran konsumen ini dapat menjadi momen untuk mendorong pembangunan produk sawit berkelanjutan.
Direktur Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia Edi Sutrisno dalam diskusi daring, Kamis (13/8/2020), mengatakan, Covid-19 telah memberikan pembelajaran terhadap pola konsumi masyarakat. Masyarakat dinilai mulai tertarik menggunakan produk ramah lingkungan dan berkelanjutan, termasuk produk sawit.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hal ini juga terungkap dari hasil studi MarkPlus yang menyatakan bahwa sebanyak 82 persen responden bersedia mengubah konsumsi harian produk-produk yang menggunakan minyak kelapa sawit berkelanjutan apabila produknya tersedia di pasaran. Namun, meski produk sawit berkelanjutan sudah tersedia, konsumen masih sulit menemukannya karena penggunaan label pengidentifikasi atau penanda pada produk-produk tersebut sangat terbatas.
Manajer Senior Jangkauan dan Keterlibatan Komunitas Global Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) Imam El Marzuq mengatakan, sejak 2011 RSPO meluncurkan ekolabel untuk membantu konsumen mengidentifikasi produk yang menggunakan bahan baku sawit berkelanjutan. Ekolabel sebagai label penanda ini penting digunakan sampai nantinya sawit berkelanjutan menjadi norma.
”Kami mencoba membangun program yang mendorong perusahaan downstream, seperti retailer melakukan aksi nyata untuk meyediakan produk berekolabel di pasar. Kita memiliki produsen dan market terbesar, tetapi produk berekolabel masih sangat terbatas,” ungkapnya.
Imam menjelaskan, dalam sepuluh hingga dua puluh tahun terakhir, kebutuhan global terhadap minyak nabati, termasuk minyak sawit, mengalami peningkatan. Permintaan minyak nabati diprediksi 310 juta metrik ton. Adapun pada 2013, permintaan minyak nabati mencapai 105 juta metrik ton.
”Salah satu faktor utama peningkatan ini adalah bertambahnya jumlah populasi manusia. Produsen terus menghasilkan produk ini karena konsumsi minyak nabati rata-rata dipakai untuk kebutuhan manusia sehari-hari, seperti makanan maupun nonmakanan,” ujarnya.
Guru Besar Bidang Perlindungan Hutan IPB University Bambang Hero Saharjo menyatakan, aturan terkait pembangunan ataupun pembuatan produk-produk berkelanjutan harus dijalankan oleh semua pihak. Sebab, sering kali sejumlah pihak tidak menerapkan aturan meski sudah mendapatkan sertifikasi keberlanjutan. Aturan yang benar-benar diterapkan dapat menjadi dasar keyakinan bagi para konsumen untuk membeli produk tersebut.
Oleh PRADIPTA PANDU
Editor: ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 13 Agustus 2020