Salah satu ucapan Presiden yang disambut hangat di dalam dan di luar DPR adalah keputusan mewujudkan anggaran 20 persen APBN untuk pendidikan.
Sambutan ini berdasarkan asumsi, kekurangan dana menjadi faktor utama impotensi pendidikan nasional selama ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Benarkah? Sepertinya tidak. Asumsi itu keliru. Kalaupun tambahan anggaran itu diwujudkan secara efisien, efektif, dan mencapai sasaran, hal itu justru mengukuhkan penyakit yang membuat pendidikan tak berdaya melaksanakan misinya. Sistem pendidikan kita mandek, bahkan amburadul, bukan (hanya) karena kekurangan dana, tetapi lebih dari itu, terkait ketiadaan konsep idiil yang mendasari.
Tidak ada sistem apa pun yang tepat sebagaimana adanya (in itself). Ia tepat, maka itu dinilai baik, ditinjau dari konteks tujuan perumusannya, untuk apa ia diadakan. Dengan predikat ”nasional”, fungsi pendidikan jelas berdimensi nasional (kepentingan negara-bangsa) selain individual (hak warga negara perseorangan). Berarti, kejelasan citra dari komunitas nasional yang diidam-idamkan harus ada lebih dulu. Dan, citra ini merupakan keputusan nasional yang disepakati oleh semua negarawan, politikus, dan cendekiawan bangsa.
Namun, justru citra ideal itu yang tidak ada, belum pernah ada. Padahal, bahan-bahan untuk perumusan tersebar dalam ucapan, tulisan para pendiri negara-bangsa—adakalanya begitu eksplisit, dan kandungan-kandungan pasal/ayat UUD.
Jadi, jangan disalahkan jika para profesional di Depdiknas bekerja seadanya, pragmatis/reaktif, mengesankan amburadul, ganti menteri ganti kurikulum. Keamburadulan kian parah karena tidak ada konsep nasional yang integralistik, disuntikkan aneka otonomi ke dalam proses pendidikan, mulai otonomi daerah yang berlapis—provinsi, kabupaten, kota—hingga otonomi sekolah yang atomistis.
Kini departemen diberi dana kerja amat besar, padahal tidak ada program aksi relevan yang disiapkan sebelumnya.
Mengingat negara-bangsa tidak ”memberi” kriteria tentang apa yang harus dilakukan oleh pendidikan nasional, sebagai lembaga formal tertinggi dalam memasok suatu kualitas pendidikan, wajar Depdiknas menyiapkan konsep pendidikan demi pendidikan itu sendiri. La noblesse oblige! Jangan membiarkan pemerintah terus memperlakukan pendidikan hanya sebagai urusan marjinal dalam seluruh urusan politik yang ditangani.
Tiga keharusan
Paling sedikit ada tiga keharusan yang membenarkan departemen bertindak demikian, yaitu yang bersifat konstitusional, moral, sosial dan ekonomis.
Dalam Pembukaan UUD 1945 tertera, dengan menyatakan kemerdekaannya, rakyat Indonesia bertekad, antara lain, ”mencerdaskan kehidupan bangsa”. Para pendiri Republik menyadari betapa kehidupan bangsa perlu dicerdaskan mengingat unsur-unsur konstitutifnya tidak homogen. Maka, kecerdasan merupakan satu keharusan demi pemahaman genuine sebagai dasar kesatuan dan persatuan di tengah kemajemukan alami. Persatuan dalam arti menerima adanya aneka perbedaan dengan ikhlas, penuh toleransi (integrasi). Kesatuan dalam arti menyatukan dan menegakkan kesamaan (unifikasi).
Mencerdaskan kehidupan bangsa dilakukan melalui pendidikan sebab kecerdasan tidak genetically fixed, tetapi dapat diajarkan. Berhubung anak didik adalah warga bangsa, melalui kecerdasannya karakter bangsa dibantu membaik menjadi terpuji. Jadi, mendidik anak bangsa tidak hanya merupakan keharusan konstitusional, tetapi juga moral.
Pendidikan untuk semua anak perlu dipertegas dengan keharusan sosial, yaitu memberi pendidikan yang sama kepada anak perempuan dan laki-laki. Kesamaan ini merupakan keharusan mengingat jenis kolektivitas yang dikehendaki adalah kehidupan berbangsa di mana ada keadilan jender dan political independence bagi perempuan, yang berarti punya hak suara, hak memilih dan dipilih untuk memegang jabatan politis dan jabatan teknis apa saja yang dia mampui secara fisik dan mental.
Ketiga keharusan itu perlu digenapi keharusan ekonomis, yaitu pendidikan untuk semua harus diartikan sebagai pendidikan yang menjangkau anak miskin dan cacat, tidak terbatas anak kaya dan sempurna. Kehidupan bangsa baru dapat dikatakan cerdas bila tiap warganya yang berlatar belakang apa pun dapat naik dari tempat kelahiran terendah ke tingkat pencapaian tertinggi berkat pendidikan. Lagi pula bangsa yang berhasil pada masa depan adalah yang tidak hanya membukakan pintu bagi sebagian talenta dari sebagian anak-anaknya, tetapi mengembangkan semua talenta dari semua anaknya.
Dalam menyusun konsep pendidikan, Depdiknas seharusnya berprinsip bahwa misinya berurusan dengan nilai, tidak hanya transmisi pengetahuan dan keterampilan antargenerasi, tetapi membudayakan manusia karena sistem nilai yang dihayati adalah budaya. Pembudayaan nilai-nilai asing oleh sistem pendidikan biasa terjadi di banyak bangsa. Melalui penghayatannya, dengan sadar melakukan aneka perubahan guna mewujudkan jenis masyarakat nasional yang mereka idealkan.
Oleh karena itu, secara esensial pendidikan adalah proses yang membiasakan manusia sedini mungkin mempelajari, memahami, menguasai, dan menerapkan nilai-nilai yang disepakati bersama sebagai berguna bagi individu, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negaranya. Bagi kita, juga ada nilai-nilai asing yang harus bisa dihayati sebagai budaya alami melalui pendidikan demi kemajuan individual dan kolektif. Salah satu yang amat penting dan menentukan adalah ”semangat ilmiah”, yaitu ilmu pengetahuan dalam arti proses, yang mengembangkan ”pengetahuan” menjadi ”pengetahuan ilmiah” dan tentu saja disiplin yang sudah jadi (ilmu pengetahuan dalam arti produk).
Semangat ilmiah diperlukan untuk semakin menyempurnakan pembawaan human kita. Ia membantu menciptakan pengetahuan ekstra genetik agar terbebas dari ketergantungan pada pengetahuan genetik semata. Ia juga berguna dalam pembentukan pengetahuan ekstra somatik, yaitu informasi yang disimpan di luar tubuh, di tempat khusus—perpustakaan, laboratorium, museum, dan lain-lain.
Integritas departemen
Semangat ilmiah dan ilmu pengetahuan yang dihasilkan juga dapat menyempurnakan hidup kemakhlukan kita. Kita hidup di antara dua infinitas alami yang keberadaannya amat menentukan kondisi kehidupan makhluk di bumi, baik dalam arti positif maupun negatif. Di satu pihak ada yang besar tak terhingga, yaitu galaksi di angkasa luar, nebula bercahaya warna-warni dari Bimasakti, planet-planet dari sistem solar. Di lain pihak, ada yang kecil tak terhingga, seperti sel hidup, jaringan neuron, DNA, subatomic particles. Akses ke potensi natural yang dikandung kedua infinitas itu terbukti dimungkinkan oleh ilmu pengetahuan.
Jadi, sistem pendidikan yang kita kembangkan demi mencerdaskan bangsa adalah bagian dari kebudayaan. Maka, sungguh aneh jika urusan kebudayaan tidak dikembalikan ke jajaran departemen yang mengurus pendidikan. Lebih aneh lagi jika Depdiknas membiarkannya tetap begitu. Mana integritas intelektual departemen ini? Cakupan kebudayaan jauh lebih luas dari sekadar kesenian selaku pemancing dollar turis asing! Nilai-nilai perlu diolah oleh kecerdasan melalui penemuan dan kombinasi baru demi pembentukan peradaban baru yang sejalan tuntutan abad XXI dan selanjutnya.
Bila konsep pendidikan nasional yang menyeluruh dan terpadu telah selesai, berikan kepada politik agar diterima. Politik harus memutuskan konsep yang ia sendiri tidak mampu merumuskannya. Dengan cara begini alih-alih politik mengorupsi pendidikan, the intellectual integrity of education needs to contribute to the decorruption of politics. Bagaimanapun ada politik dalam pendidikan, sebagaimana ada pendidikan dalam politik.
Daoed JOESOEF Alumnus Université Pluridisciplinaires Panthéon-Sorbonne
Sumber: Kompas, Rabu, 3 September 2008 | 00:59 WIB