KLHK masih memantau langsung kebakaran kilang minyak Pertamina di Balongan. Evaluasi akan dilakukan setelah pemadaman dan pendinginan selesai. Pemerintah pun didesak bersikap tegas atas peristiwa berulang ini.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan masih memantau kondisi kebakaran kilang minyak di kawasan PT Pertamina Refinery Unit VI Balongan di Indramayu, Jawa Barat. Ini akan menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah soal penyebab kebakaran pada kegiatan industri yang berisiko lingkungan hidup sangat tinggi tersebut.
Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) MR Karliansyah, Senin (29/3/2021), mengatakan, evaluasi tersebut akan segera dilakukan KLHK setelah selesai semua proses pemadaman dan pendinginan. Pihak Pertamina menyatakan proses pemadaman dan pendinginan membutuhkan waktu lima hari.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di sisi lain, ia mengapresiasi langkah cepat pihak Pertamina bersama Pemerintah Kabupaten Indramayu dalam mengevakuasi masyarakat ke tempat-tempat yang aman sesaat setelah insiden terjadi. Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebanyak 912 jiwa diungsikan akibat peristiwa yang terjadi pada Senin (29/3) pukul 01.59 WIB tersebut.
Adapun rincian pengungsi tersebut meliputi 220 jiwa di GOR Kompleks Perum Pertamina Bumi Patra, 300 jiwa di Pendopo Kantor Bupati Indramayu, dan 392 jiwa di Gedung Islamic Center Indramayu.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI—Mobil pemadam kebakaran melintas di depan kobaran asap dari kawasan Pertamina RU VI Balongan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Senin (28/3/2021). Tangki di kawasan tersebut meledak pada Senin dini hari. Data sementara Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Indramayu mencatat, setidaknya 20 orang luka-luka.
Dalam catatan Kompas, Pertamina RU VI Balongan beberapa kali terbakar. Pada Februari 2005, misalnya, enam pekerja di Pertamina RU VI Balongan menderita luka akibat pipa gas nitrogen yang dipasang meledak. Adapun Oktober 2008, tiga pekerja mitra juga mengalami luka setelah ledakan yang terjadi pada atmospheric residue hydro demetalizing di Kilang Balongan (Kompas.id, 29/3/2021).
Dari rentetan peristiwa ini, pemerintah dan penegak hukum didesak menindak tegas pihak yang telah menyebabkan insiden ledakan dan kebakaran kilang minyak di kawasan PT Pertamina RU VI Balongan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Senin. Tindakan tegas perlu dilakukan karena terus berulangnya insiden serupa yang berdampak pada lingkungan ataupun ekonomi masyarakat di sekitar kawasan.
Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak menyampaikan, kebakaran di Kilang Pertamina Balongan tentunya akan berdampak buruk bagi kondisi lingkungan dan masyarakat sekitar. Berbagai polutan berbahaya yang timbul dari kebakaran tidak hanya akan mencemari udara di sekitar kilang, tetapi bisa terbawa jauh tergantung pada arah dan kecepatan angin.
”Greenpeace mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengajukan tuntutan pidana terhadap Pertamina sebagai pelaku berulang bencana lingkungan. Ini bukan pertama kalinya dan ini tidak akan menjadi yang terakhir kecuali tindakan tegas diambil,” ujarnya dalam keterangan pers yang diterima Kompas, Senin.
Menurut Leonard, investigasi secara menyeluruh juga harus segera dilakukan terhadap insiden ini. Pihak Pertamina dinilai harus bertanggung jawab secara hukum jika dalam investigasi ditemukan adanya kelalaian ataupun pelanggaran prosedur kesehatan dan keselamatan operasi (HSE) yang membahayakan nyawa atau kesehatan para pekerja dan masyarakat sekitar.
Selain itu, kata Leonard, pemerintah juga harus menetapkan peraturan yang lebih ketat untuk industri perminyakan agar lebih aman dan lebih bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi. Pertamina, lanjutnya, perlu melakukan langkah mitigasi yang menyeluruh terhadap berbagai risiko kebakaran kilang, termasuk dampaknya bagi perekonomian dan kehidupan masyarakat sekitar.
Ia menambahkan, ketergantungan terhadap energi ekstraktif harus segera ditekan agar tidak ada lagi kejadian serupa. Pemanfaatan energi baru terbarukan, seperti surya dan bayu, harus menjadi terus ditingkatkan dan menjadi porsi terbesar dalam bauran energi nasional. Strategi Jangka Panjang Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim (LTS-LCCR) Indonesia juga harus memberikan arah kebijakan konkret untuk mewujudkan bauran energi tersebut.
Oleh PRADIPTA PANDU
Editor: ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 29 Maret 2021