Kita Beragam sejak Puluhan Ribu Tahun Silam

- Editor

Kamis, 7 November 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Keberagaman atau kebinekaan Indonesia datang dari berbagai latar ras, suku, dan budaya. Dengan memahami ini, diharapkan masyarakat Indonesia lebih toleran dan memahami perbedaan.

Apabila ditelusuri jauh ke belakang, seluruh masyarakat Indonesia berasal dari satu pohon evolusi yang kemudian bercabang-bercabang menjadi penduduk Kepulauan Nusantara yang beranekaragam saat ini. Sejak puluhan ribu tahun lalu, percampuran ras dan etnik tak terelakkan, membentuk kebinekaan yang sangat kompleks.

Hingga saat ini para arkeolog meyakini, nenek moyang masyarakat Indonesia berasal dari Afrika. Berdasarkan teori Out of Africa kedua, manusia modern atau Homo sapiens mulai bermigrasi keluar dari Afrika sejak 150.000 tahun lalu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Sebelumnya, menurut teori Out of Africa pertama terjadi gelombang migrasi Homo erectus dari Afrika 1,8 juta tahun lalu yang kemudian sampai di Pulau Jawa, Indonesia sekitar 1,5 juta tahun lalu. Namun, 100.000 tahun lalu mereka punah.

Sementara itu, manusia modern dari Afrika menurut teori Out of Africa kedua, tiba pertama kali di Papua sekitar 70.000 tahun silam. Mereka berjalan dari Afrika hingga ke Kepulauan Melanesia dan bergerak ke Papua serta Halmahera menjadi ras Melanesid dengan ciri fisik rambut keriting kemerahan dan berkulit hitam yang keturunannya sekarang adalah saudara-saudara kita di Papua dan Halmahera.

Selain bermigrasi ke Papua, manusia modern dari Afrika juga bergerak ke selatan sekitar Australia 30.000 tahun lalu, kemudian ke Nusa Tenggara Timur dan lanjut ke Pegunungan Meratus di Kalimantan, begerak lagi ke Pulau Sumatera sekitar 15.000 tahun lalu menjadi ras Australomelanesid dengan ciri badan kekar, kepala menonjol, dan hidup di goa-goa. Ras Australomelanesid berkembang hingga sekitar 5.000 tahun lalu dan sempat bertemu dengan manusia modern ras mongoloid yang bermigrasi dari China dan Taiwan ke Kepulauan Nusantara sekitar 5.000 tahun lalu.

Ras mongoloid yang merupakan penutur rumpun bahasa Austronesia muncul sekitar 7.000 tahun lalu. Mereka juga bermigrasi dari Afrika dan sampai di Taiwan sekitar 6.000 tahun lalu, kemudian bergerak ke selatan melalui Filipina, Sulawesi, Vanuatu, Polinesia, hingga Madagaskar.

”Jika ditelusuri lebih lanjut, kita semua adalah saudara. Kita berasal dari satu pohon evolusi yang sama, yang kemudian bercabang-cabang menjadi penduduk di Kepulauan Nusantara ini,” kata arkeolog senior Balai Arkeologi Yogyakarta, Prof Harry Widianto dalam Diskusi ”Jejak Manusia Nusantara” yang digelar majalah Historia dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Museum Nasional, Jakarta. Hadir pula sebagai pembicara sejarawan Universitas Indonesia Bondan Kanumoyoso serta politisi Grace Natalie.

KOMPAS/ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN–Diskusi ”Jejak Manusia Nusantara” yang digelar majalah Historia dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Museum Nasional, Jakarta, Selasa (5/11/2019).

Berlanjut ke masa kolonial
Menurut Bondan, percampuran ras dan etnis di Nusantara terus-menerus berlanjut, termasuk ketika negara-negara Barat membentuk koloni di beberapa wilayah Nusantara. Perdagangan global rempah mengundang kedatangan bangsa-bangsa lain ke Nusantara dan terjadilah percampuran luar biasa di sana.

”Sejak abad ke-18, Belanda mencoba mencerai-beraikan masyarakat dengan mengotak-kotakkan masyarakat Indonesia, tetapi gagal. Di Batavia, Belanda pernah mencoba mengelompokkan masyarakat dalam kampung-kampung etnis, seperti Pekojan, Melayu, Bandan, dan sebagainya, tapi gagal. Karakteristik orang Indonesia sejak dahulu cenderung suka bercampur. Identitas etnis perlahan-lahan pudar,” katanya.

Grace Natalie menambahkan, tak dimungkiri kadang warisan politik segregasi Belanda masih berlanjut hingga sekarang. ”Sekarang masih tetap ada kelompok masyarakat yang suka mengotak-kotakkan diri berdasarkan suku. Sebagai contoh, isu tentang putra daerah masih muncul di mana-mana dan selalu digaungkan saat pemilihan kepala daerah, pilpres, dan sebagainya. Isu agama juga dimainkan. Ternyata kita belum merdeka sepenuhnya dan masih terkungkung oleh politik pecah-belah Belanda,” paparnya.

Menurut Grace, apabila semua orang Indonesia menyadari bahwa kita semua merupakan percampuran dari berbagai macam ras dan etnis, semestinya jarak dan sekat itu hilang. Dengan berbagai macam penelitian dan riset ilmiah, bisa dibuktikan dengan sahih bahwa tidak ada suku atau etnis yang murni di Indonesia.

”Istilah (kemurnian) ras dan suku tidak lagi diperlukan. Sampai saat ini saya masih sering ditanya, Mbak Grace orang mana, ya? Manado atau Tionghoa? Dan, dari hasil tes DNA terhadap 16 orang, termasuk saya, ternyata kami semua campuran dari bermacam-macam ras dan etnis,” ungkapnya.

Menelusuri keberagaman
Pemimpin Redaksi Majalah Historia Bonnie Triyana mengatakan, Diskusi ”Jejak Manusia Nusantara” merupakan bagian dari Proyek DNA yang digelar majalah Historia. Pada masa kepemimpinan Adolf Hitler, di Jerman pernah digelar proyek penelitian untuk mencari ras mana yang paling unggul. Penelitian yang dipimpin komandan Schutzstaffel Jerman Heinrich Luitpold Himmler ini rupanya dilakukan untuk memberikan legitimasi bahwa ras Arya diyakini sebagai ras paling unggul yang kemudian justru berujung pada perisitwa holocaust.

”Proyek ini tidak mau mencari mana ras yang murni atau tidak. Tapi, proyek ini adalah sebuah gerakan untuk menelusuri keberagaman atau kebinekaan Indonesia yang datang dari berbagai latar ras, suku, dan budaya. Jadi tidak aneh kalau Najwa Shihab punya 10 nenek moyang. Kita ini beragam dan ini berbanding terbalik dengan anggapan riset Himmler pada masa pemerintahan Hitler,” ucapnya.

Tes DNA mampu memberikan data ilmiah soal komposisi ras, penelusuran nenek moyang, lini masa kehadiran ras. Semua adalah pengetahuan penting yang memberikan pencerahan asal usul, pengaruh luar, dan budaya yang jadikan kita orang Indonesia. Dengan pengetahuan mendalam soal DNA, diharapkan kita lebih toleransi, mampu memahami perbedaan satu sama lain, dan menjaga keutuhan bangsa dan budaya.–ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN

Editor YOVITA ARIKA

Sumber: Kompas, 6 November 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Seberapa Penting Penghargaan Nobel?
Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024
Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI
Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin
Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Berita ini 9 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:50 WIB

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:46 WIB

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:41 WIB

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:31 WIB

Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:22 WIB

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB