Keberagaman atau kebinekaan Indonesia datang dari berbagai latar ras, suku, dan budaya. Dengan memahami ini, diharapkan masyarakat Indonesia lebih toleran dan memahami perbedaan.
Apabila ditelusuri jauh ke belakang, seluruh masyarakat Indonesia berasal dari satu pohon evolusi yang kemudian bercabang-bercabang menjadi penduduk Kepulauan Nusantara yang beranekaragam saat ini. Sejak puluhan ribu tahun lalu, percampuran ras dan etnik tak terelakkan, membentuk kebinekaan yang sangat kompleks.
Hingga saat ini para arkeolog meyakini, nenek moyang masyarakat Indonesia berasal dari Afrika. Berdasarkan teori Out of Africa kedua, manusia modern atau Homo sapiens mulai bermigrasi keluar dari Afrika sejak 150.000 tahun lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebelumnya, menurut teori Out of Africa pertama terjadi gelombang migrasi Homo erectus dari Afrika 1,8 juta tahun lalu yang kemudian sampai di Pulau Jawa, Indonesia sekitar 1,5 juta tahun lalu. Namun, 100.000 tahun lalu mereka punah.
Sementara itu, manusia modern dari Afrika menurut teori Out of Africa kedua, tiba pertama kali di Papua sekitar 70.000 tahun silam. Mereka berjalan dari Afrika hingga ke Kepulauan Melanesia dan bergerak ke Papua serta Halmahera menjadi ras Melanesid dengan ciri fisik rambut keriting kemerahan dan berkulit hitam yang keturunannya sekarang adalah saudara-saudara kita di Papua dan Halmahera.
Selain bermigrasi ke Papua, manusia modern dari Afrika juga bergerak ke selatan sekitar Australia 30.000 tahun lalu, kemudian ke Nusa Tenggara Timur dan lanjut ke Pegunungan Meratus di Kalimantan, begerak lagi ke Pulau Sumatera sekitar 15.000 tahun lalu menjadi ras Australomelanesid dengan ciri badan kekar, kepala menonjol, dan hidup di goa-goa. Ras Australomelanesid berkembang hingga sekitar 5.000 tahun lalu dan sempat bertemu dengan manusia modern ras mongoloid yang bermigrasi dari China dan Taiwan ke Kepulauan Nusantara sekitar 5.000 tahun lalu.
Ras mongoloid yang merupakan penutur rumpun bahasa Austronesia muncul sekitar 7.000 tahun lalu. Mereka juga bermigrasi dari Afrika dan sampai di Taiwan sekitar 6.000 tahun lalu, kemudian bergerak ke selatan melalui Filipina, Sulawesi, Vanuatu, Polinesia, hingga Madagaskar.
”Jika ditelusuri lebih lanjut, kita semua adalah saudara. Kita berasal dari satu pohon evolusi yang sama, yang kemudian bercabang-cabang menjadi penduduk di Kepulauan Nusantara ini,” kata arkeolog senior Balai Arkeologi Yogyakarta, Prof Harry Widianto dalam Diskusi ”Jejak Manusia Nusantara” yang digelar majalah Historia dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Museum Nasional, Jakarta. Hadir pula sebagai pembicara sejarawan Universitas Indonesia Bondan Kanumoyoso serta politisi Grace Natalie.
KOMPAS/ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN–Diskusi ”Jejak Manusia Nusantara” yang digelar majalah Historia dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Museum Nasional, Jakarta, Selasa (5/11/2019).
Berlanjut ke masa kolonial
Menurut Bondan, percampuran ras dan etnis di Nusantara terus-menerus berlanjut, termasuk ketika negara-negara Barat membentuk koloni di beberapa wilayah Nusantara. Perdagangan global rempah mengundang kedatangan bangsa-bangsa lain ke Nusantara dan terjadilah percampuran luar biasa di sana.
”Sejak abad ke-18, Belanda mencoba mencerai-beraikan masyarakat dengan mengotak-kotakkan masyarakat Indonesia, tetapi gagal. Di Batavia, Belanda pernah mencoba mengelompokkan masyarakat dalam kampung-kampung etnis, seperti Pekojan, Melayu, Bandan, dan sebagainya, tapi gagal. Karakteristik orang Indonesia sejak dahulu cenderung suka bercampur. Identitas etnis perlahan-lahan pudar,” katanya.
Grace Natalie menambahkan, tak dimungkiri kadang warisan politik segregasi Belanda masih berlanjut hingga sekarang. ”Sekarang masih tetap ada kelompok masyarakat yang suka mengotak-kotakkan diri berdasarkan suku. Sebagai contoh, isu tentang putra daerah masih muncul di mana-mana dan selalu digaungkan saat pemilihan kepala daerah, pilpres, dan sebagainya. Isu agama juga dimainkan. Ternyata kita belum merdeka sepenuhnya dan masih terkungkung oleh politik pecah-belah Belanda,” paparnya.
Menurut Grace, apabila semua orang Indonesia menyadari bahwa kita semua merupakan percampuran dari berbagai macam ras dan etnis, semestinya jarak dan sekat itu hilang. Dengan berbagai macam penelitian dan riset ilmiah, bisa dibuktikan dengan sahih bahwa tidak ada suku atau etnis yang murni di Indonesia.
”Istilah (kemurnian) ras dan suku tidak lagi diperlukan. Sampai saat ini saya masih sering ditanya, Mbak Grace orang mana, ya? Manado atau Tionghoa? Dan, dari hasil tes DNA terhadap 16 orang, termasuk saya, ternyata kami semua campuran dari bermacam-macam ras dan etnis,” ungkapnya.
Menelusuri keberagaman
Pemimpin Redaksi Majalah Historia Bonnie Triyana mengatakan, Diskusi ”Jejak Manusia Nusantara” merupakan bagian dari Proyek DNA yang digelar majalah Historia. Pada masa kepemimpinan Adolf Hitler, di Jerman pernah digelar proyek penelitian untuk mencari ras mana yang paling unggul. Penelitian yang dipimpin komandan Schutzstaffel Jerman Heinrich Luitpold Himmler ini rupanya dilakukan untuk memberikan legitimasi bahwa ras Arya diyakini sebagai ras paling unggul yang kemudian justru berujung pada perisitwa holocaust.
”Proyek ini tidak mau mencari mana ras yang murni atau tidak. Tapi, proyek ini adalah sebuah gerakan untuk menelusuri keberagaman atau kebinekaan Indonesia yang datang dari berbagai latar ras, suku, dan budaya. Jadi tidak aneh kalau Najwa Shihab punya 10 nenek moyang. Kita ini beragam dan ini berbanding terbalik dengan anggapan riset Himmler pada masa pemerintahan Hitler,” ucapnya.
Tes DNA mampu memberikan data ilmiah soal komposisi ras, penelusuran nenek moyang, lini masa kehadiran ras. Semua adalah pengetahuan penting yang memberikan pencerahan asal usul, pengaruh luar, dan budaya yang jadikan kita orang Indonesia. Dengan pengetahuan mendalam soal DNA, diharapkan kita lebih toleransi, mampu memahami perbedaan satu sama lain, dan menjaga keutuhan bangsa dan budaya.–ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Editor YOVITA ARIKA
Sumber: Kompas, 6 November 2019