Pertengahan Februari lalu, di tengah maraknya aksi demo prodemokrasi di sejumlah negara Timur Tengah, di kolom ini diketengahkan teknologi yang berperanan dalam mendukung aksi demo (Kompas, 16/2). Saat itu, dua teknologi yang dimaksud—seperti telah banyak diberitakan—adalah internet dan seluler. Keduanya merupakan teknologi yang kini sering disebut sebagai ICT/TIK (teknologi informasi dan komunikasi).
TIK memang potensial untuk mengomunikasikan ide, rencana aksi, koordinasi, pengumpulan dana, dan sebagainya. Karena peranan strategisnya, TIK menjadi tulang punggung revolusi (yang didukung oleh teknologi) digital. Selain untuk mendukung demo, TIK juga potensial untuk mendukung aktivitas prodemokrasi, yang dicirikan oleh pemerintahan yang transparan.
Kini, ketika ada banyak pemerintahan yang risau melihat perkembangan di Timur Tengah, TIK yang potensial untuk mendukung aksi demo tersebut juga coba ditangkal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Antidemo konvensional
Pada masa lalu, aksi demo lazim ditangkal dengan semprotan meriam air.
Sarana lain adalah gas air mata. Gas yang juga dikenal dengan nama lakrimator ini menyebabkan mata perih dan mengucurkan air mata. Selain untuk membubarkan kerumunan massa, gas ini juga bisa digunakan dalam perang kimia. Pengguna melontarkan gas ini dalam wadah bertekanan, bisa juga dalam wujud granat, yang dilemparkan atau diluncurkan dari senapan khusus.
Masuk dalam jenis ini adalah gas yang bisa membuat orang batuk-batuk hebat dan mata tak bisa melihat, yang hilang efeknya bila korban lalu menghirup udara segar. Efek gas ini memang tidak menetap. Gas pelepuh, seperti mustar atau gas saraf, jauh lebih berbahaya dan bisa menyebabkan luka permanen atau bahkan kematian.
Berikutnya, aparat juga tidak jarang menggunakan peluru karet. Meski diklaim tidak mematikan, ada juga korban peluru jenis ini yang meninggal. Karena karet berpotensi memantul dengan arah yang sulit dikontrol, bahan ini pun kemudian diganti dengan bahan lain.
Kini, ketika lebih banyak aparat ditugaskan untuk memelihara perdamaian dan melumpuhkan demonstrasi, senjata mematikan sebenarnya merupakan pilihan yang jarang, kecuali seperti dilakukan oleh loyalis Moammar Khadafy di Libya. Sejak awal dekade ini pun Pentagon lebih banyak mencurahkan dollar untuk penelitian dan pengembangan senjata yang bisa mengejutkan, menakutkan, memusingkan, atau apa saja kecuali yang mematikan (Time, 21/7/2002).
Hanya, pengembangan senjata semacam ini tak lepas dari kritik, sebagian besar dari aktivis hak asasi manusia yang berpandangan bahwa teknologi seperti itu akan lebih banyak digunakan untuk menindas para pembangkang, selain melanggar kesepakatan senjata internasional.
Antidemo nonkonvensional
Perhatian terhadap upaya menangkal aksi demo modern tentu saja kini banyak diberikan oleh rezim yang merasa diri rawan dari aksi semacam itu. China adalah salah satunya. Salah satu jendela untuk mengintip kesiapan China dalam penangkalan aksi demo berbasis TIK adalah pameran perlengkapan militer IDEX, yang pekan silam berlangsung di Abu Dhabi.
Kalau saat menghadapi aksi demo di Lapangan Tiananmen tahun 1989 China mengerahkan tentara dan tank, kini ada banyak cara untuk membubarkan massa, bahkan untuk mencegah mereka berkumpul, tulis Jeremy Page di harian The Wall Street Journal (1/3).
Di antara perlengkapan yang dipamerkan China adalah peralatan pengintaian canggih, juga peralatan untuk pengendalian massa.
Adapun yang secara khusus ditujukan untuk menangkal pemanfaatan TIK, baik oleh aktivis prodemokrasi maupun kelompok perlawanan lain, adalah alat pemacet internet dan telepon seluler.
Di antara perusahaan China yang memproduksi peralatan semacam ini adalah CETC International. Perusahaan ini, seperti disinggung dalam laporan The Wall Street Journal di atas, juga mengiklankan alat pengendali massa yang menyerupai senjata bunyi (sonic weapon) yang ditawarkan kepada kepolisian.
Dialektika
Di luar aspek politik, ketika menyimak teknologi yang digunakan baik oleh pihak perlawanan maupun penguasa, kita melihat adanya perkembangan dialektis yang sebelum ini juga menjadi ciri dalam penerapan iptek.
Salah satu contoh populer dari prinsip yang dulu acap digunakan oleh mendiang teknolog Iskandar Alisjahbana ini adalah insektisida. Ketika menghadapi hama wereng, petani menggunakan insektisida untuk membasminya. Namun, seiring dengan waktu, wereng mengembangkan resistensi terhadap insektisida tadi sehingga selanjutnya insektisida tidak efektif lagi dan manusia harus menemukan insektisida baru dengan teknologi yang lebih canggih. Hal serupa bisa dikatakan untuk antibiotik.
TIK sendiri pada dasarnya juga bukan teknologi yang imun dari tantangan. Ada virus yang harus dihadapi dengan antivirus dan dalam teknologi militer dikenal adanya electronic counter measures (ECM) manakala ada upaya untuk memacetkan sistem atau peralatan. ECM bahkan sempat dilawan dengan electronic counter-counter measures (ECCM).
Saat ini, pendemo masih bisa menikmati kecanggihan TIK untuk menggalang dan mengoordinasikan demo. Akan tetapi, manakala aparat rezim yang diktatorial dan represif juga menguasai TIK dan sistem penangkalnya, bisa jadi TIK yang menjadi andalan para aktivis antirezim totaliter bisa kurang atau bahkan tidak efektif lagi.
Dalam kaitan inilah aktivis dan pendemo juga perlu mengembangkan sumber daya manusia TIK untuk mendukung kegiatannya.
Benar seperti yang sering disinggung mantan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, dewasa ini yang berlaku adalah brainwarfare, adu pintar di antara pihak-pihak yang punya kepentingan berseberangan. Dalam kaitan adu pintar ini pula, pendemo modern juga perlu memahami bahwa kenyataannya pada TIK juga terkandung titik lemah. Tanpa menyadari hal ini, bisa terjadi aksi yang sudah dirancang rapi untuk momen yang menentukan tidak bisa dijalankan karena TIK yang mendukungnya telah di-hack, di-crack, atau dimacetkan lawan. [NINOK LEKSONO]
Sumber: Kompas, 2 Maret 2011