Indonesia, yang dikenal kaya dengan sumber alamnya, ternyata juga kaya akan kilat dan badai guntur. Bila kaIi ini diturunkan tulisan mengenai kilat tidaklah dimaksudkan untuk ikut ramai-ramai nimbrung bicara soal musibah pesawat terbang Garuda GA 035 di Polonia beberapa waktu yang lalu, yang konon akibat disambar petir. Apakah pesawat tersebut memang disambar petir atau tidak tentunya perlu penyelidikan, dan itu adalah tugas para ahli yang diberi tugas dan wewenang untuk menyelidiki.
Memang, dari dahulu sampai sekarang cuaca selalu bernasib sial; banyak orang memandangnya sebagai kendala penyebab bencana. Namun anehnya, orang tidak dapat pisah dari cuaca. Maka barangkali tak akan ada gunanya kalau hanya bicara mana yang paling baik dan tidak baiknya cuaca itu, apakah dia sebagai kendala pembawa bencana atau dia sebagai pembawa kenikmatan, tetapi yang paling baik adalah menerimanyasa sebagai faktor lingkungan yang perlu kita manfaakan dan perlu kita jaga kelestariannya.
Tujuh macam gejala
Bagi para penerbang, cuaca bukanlah barang asing, karena penerbanggn sangat erat kaitannya dengan cuaca yang selalu diperhitungkan dalam menjaga keselamatan penerbangan. Kalau kita melihat kapal terbang melaju di angkasa, rasanya seperti enak sekali bergerak mulus tanpa rintangan; berbeda dengan kendaraan di darat yang malang-melintang menyebabkan jalan menjadi macet. Kelihatannya memang begitu, tetapi jangan dikira bahwa di udara itu tak ada jalan berlubang seperti jalan aspal; bahkan lubang-lubang itu sering berbahaya karena tidak tampak biarpun dilihat dengan menggunakan mikroskop atau radarnya pesawat terbang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sekurang-kurangnya ada tujuh jenis gejala yang membuat ngeri para penerbang. Tiga gejala lainnya ialah pembentukan es di pesawat terbang (icing), kekaburan udara, dan kilat (lightning).
Barangkali dipandang sebagai barang kuno kalau sekarang ini kita berbicara soal petir dan badai guntur. Orang Mesir kuno yang hidup ribuan tahun lalu telah mengenal petir dan bahkan dianggap sebagai manifestasi kemarahan dewa. Dan tanpa merasa takut, Kyai Ageng Selo menangkapnya sehingga padepokannya selamat dari bencana, menurut legenda Jawa.
Lain dahulu lain sekarang. Petir yang dahulu pernah ditangkap Kyai Ageng Selok itu dengan teknologi canggih dewasa ini telah banyak dijinakkan dengan alat yapg disebut penangkal petir. Namun karena banyak sekali jumlahnya tak sempat pula seluruhnya dapat dijinakkan hingga masih banyak yang brutal menyambar bangunan-bangunan tinggi, antena pemancar dan bahkan sering mengganggu jaringan. listrik yang memaksa kita bersiap-siap dengan lilin apabila petir dan guntur mulai terdengar.
Muatan listrik yang meloncat
Kilat dan petir yang dahulu dianggap sebagai salah satu bentuk kemarahan dewa menjadi usang setelah Benyamin Franklin pada tahun 1749 dapat menunjukkan adanya muatan listrik di udara dan di dalam awan. Namun karena belum adanya alat-alat yang memadai; penemuan Benyamin Franklin tersebut untuk sementara terkatung-katung. Baru pada tahun, 1933 setelah Sir Basil Schonland dari Afrika Selatan memperkenalkan kilat dalam bentuk foto, penemuan Franklin kembali diakui. Kemudian tahun 1949 seorang ahli Fisika Skotlandia bernama C.T.R. Wilson mempelajari kilat itu dengan radar dan pesawat terbang. Dari hasil penelitian itu dapat diketahui, kilat adalah bentuk loncatan muatan listrik dalam jumlah besar yang kecepatannya sampai 10 milyar sentimeter tiapi detik atau kira-kira sepertiga kecepatan cahaya. Energi yang dibawa sekitar 1.000 milyar watt atau 1 juta Megawatt atau kurang lebih 6000 kali daya listrik yang dihasilkan oleh generator pembangkit listrik Jatiluhur. Loncatan muatan listrik ini timbul karena beda tegangan yang besarnya sekitar 1 milyar volt; lebih hebat lagi suhu udara yang dilewati dapat mencapai 30.000 derajat Kelvin atau kira-kira 5 kali suhu permukaan matahari. Karena pemanasan ini udara itu mengembang dengan sangat cepat dan menimbulkan suara ledakan yang disebut guntur. Umumnya guntur dapat didengar pada jarak kurang dari 15 km. Dari arah loncatannya, kilat dibedakan menjadi tiga macam, ialah kilat dari awan ke awan, dari bagian satu ke bagian lain di dalam awan yang sama, dan dari awan ke tanah. (Gambar 1)
Awan guntur sebagai sumber kilat
Muatan listrik yang dapat menimbulkan kilat berasal dari sejenis awan yang dalam kalangan meteorologi disebut Kumulonimabus, atau awan kemawang yang sangat besar. Di langit, awan jenis ini terlihat seperti gundukan awan yang dari jauh sering seperti besi landasan tempa yang dipakai para pandai besi. Awan ini puncaknya mencapai tinggi lebih dari 6 km, bahkan ada yang mencapai 20 km. Awan ini juga disebut awan badai guntur yang sangat ditakuti para penerbang, karena di dalam awan yang megah dan kelihatan tenang ini terdapat olakan udara seperti air yang mendidih dan mengandung campuran butir-butir air di bagian tengah dan bawah serta butir-butir atau kristal es di bagian atas.
Olakan udara di dalam awan tersebut menyebabkan butir-butir air dan es saling bergesekan dan memisahkan muatan-muatan dalam bentuk ion-ion. Umumnya muatan negatif terbawa oleh butir-butir air yang turun sehingga di bagian atas awan tertinggal muatan positip dan di bagian bawah terkumpul muatan negatip sehingga awan dapat dipandang sebagai batang berkutub listrik dua atau dipol. Selanjutnya kelompok muatan ini dapat menarik muatan-muatan listrik lawan jenisnya dari awan lain atau dari permukaan bumi sehingga terjadilah sistem kelompok muatan yang saling berhadapan. Bila kelompok muatan itu jumlahnya menjadi sedemikian besar sehingga beda potensialnya cukup tinggi terjadilah loncatan yang disebut kilat. Awan guntur itu banyak sekali di kawasan tropik termasuk di Indonesia, dan bahkan Indonesia termasuk kawasan terkaya nomor 2 di dunia setelah Brasil. Di Brasil, rata-rata sebanyak 220 hari dalam setahun berbadai guntur, di Medan 127, Bangka 138, Jakarta 125, Kalijati 149. Selanjutnya daerah badai guntur di Indonesia terlihat pada gambar berikut ini. (Gambar 2)
Dalam awan yang sudah dewasa, banyaknya muatan listrik menjadi maksimum dan demikian pula banyaknya kandungan air di dalam awan, sehingga pada saat maksimum tersebut umumnya frekuensi kilat membesar dan hujan turun sangat deras serta disertai angin turun (downdraft) yang disertai pula dengan langkisau yang kecepatannya mencapai 30-40 knot (mil per jam). Keadaan semacam ini sangat berbahaya bagi pesawat terbang yang sedang melandas karena kecepatan angin sebesar itu dapat merubah arah pesawat.
Pembentukan awan guntur
Agak sulit rasanya untuk mengatakan faktor mana yang menyebabkan terjadinya cuaca termasuk timbulnya awan guntur ini, karena banyak sekali faktor yang terlibat yang perlu diperhitungkan. Namun sekurang-kurangnya ada tiga faktor utama yang diperlukan, ialah adanya daerah pemanasan kuat yang memudahkan udara lembab dapat naik dengan cepat sehingga pengembunan dan pembekuan banyak terjadi. Daerah pegunungan dapat memudahkan kenaikan udara tersebut; di samping itu daerah-daerah industri yang mengeluarkan bahan-bahan butiran dalam ukuran besar dan banyak juga dapat membantu kemudahan terbentuknya awan guntur itu.
Daerah rawan
Meskipun sejumlah muatan listrik telah terkumpul dalam kelompok-kelompok di dalam awan, namun tak semudah itu loncatan muatan terjadi. Di samping beda potensial listrik yang tinggi, masih lagi diperlukan dorongan dadakan (trigger) yang dapat menimbulkan loncatan pemula (leader).
Umumnya jatuhan curah hujan yang keluar dari awan menjadi pendorong dan pembawa muatan, sehingga terbentuk semacam saluran yang makin lama makin panjang dan penuh dengan muatan listrik dan kemudian memudahkan terjadinya loncatan-loncatan kecil yang kemudian diikuti oleh loncatan yang besar berupa kilat. Sebenarnya sebuah pesawat terbang tidaklah semudah itu disambar petir, karena bila dibandingkan dengan ukuran besarnya awan dan kelompok muatan yang ada di dalam awan guntur itu sangat kecil. Bayangkan ukuran pesawat terbang yang hanya beberapa meter dibandingkan dengan awan yang berukuran luas sekitar 200-400 km2 atau daerah yang berjejari 5-10 km dan tingginya 80-20 km.
Olah karena itu bila ada pesawat terbang yang sampai disambar petir, termasuk yang kebetulan pesawat tersebut dalam lintasan kilat atau melalui daerah kelompok muatan di dalam awan yang kemudian bertindak sebagai pendorong atau pembuat saluran yang memudahkan terjadinya loncatan muatan atau kilat.
Kelompok muatan listrik di dalam awan umumnya terdapat di sebelah atas dari bagian awan yang bersuhu 0oC kira-kira pada tinggi 6-9 km dan di bagian bawah di dekat dasar awan. Oleh karena itu mamang berbahaya apabila pasawat terbang berada di daerah ini (Gambar 3).
Kini awan semacam ini telah dapat diamati dan dikenali dengan baik dengan menggunakan radar cuaca atau satelit cuaca.
Tak benar kilat dan badai guntur selalu dipandang sebagai pembawa bencana itu. Memang benar kalau yang ditinjau hanya segi bahayanya, Tetapi di samping itu, kilat dan badai guntur juga sangat bermanfaat. Bayangkan, udara yang ada di sekitar bumi kita yang disebut atmosfer itu 78 persen terdiri atas gas Nitrogen (N2) yang adanya dalam bentuk senyawa dengan gas lain. Oleh kilat senyawa itu dapat terurai sehingga molekul gas Nitrogen terlepas dan bersama air hujan terbawa ke tanah dan yang memberikan kesuburan tanah. Di samping itu kilat dan badai guntur bertindak sebagai generator pembangkit listrik atmosfer yang menjaga keseimbangan medan listrik atmosfer.
Menurut penelitian atmosfer ini adalah medan listrik yang sistemnya serupa dengan konduktor yang terdapat dalam kondensator. Ionosfer merupakan bidang kondensator yang bermuatan listrik positip dan bumi merupakan bidang kondensator yang bermuatan negatif. Di dalam atmosfer ini medan listrik mempunyai gradien potensial sekitar 60-120 Volt permeter di dekat permukaan bumi dan sekitar 10 Volt per meter pada tinggi sekitar 6 km.
Dengan kilat dan badai guntur yang setiap menitnya tidak kurang dari tiga badai guntur terjadi di muka bumi ini, medan listrik atmosfer tersebut terjaga keseimbangannya. Bayangkan kalau tidak ada kilat atau badai guntur maka tegangan itu makin lama makin kuat dan dapat mengakibatkan bencana yang lebih besar.
Cuaca adalah pemberian Tuhan, maka pasti tidak akan merugikan apabila manusia tahu bagaimana memanfaatkannya dan dapat menjaga kelestariannya.
Drs. Soerjadi Wh,dari Badan Meteorlogi dan Geofisika Jakarta
Sumber: Kompas 31 Mei 1987