Sudah hampir dua dekade, tiap empat atau tiga tahun sekali, Indonesia ikut serta dalam tes internasional, seperti TIMSS dan PISA. Karena itu, masuk akal mempertanyakan apakah pendidikan Indonesia telah memperoleh manfaat secara berarti dari kesertaan pada tes-tes tersebut.
Tes-tes internasional bermanfaat untuk keperluan diagnosis. Khususnya, dari tes tersebut dapat dikenali kecakapan mana yang masih kurang dikuasai para pelajar. Lalu, apakah tak mungkin didiagnosis dengan tes yang dibuat sekolah atau guru sendiri? Tentu saja mungkin, tetapi ada baiknya juga tes internasional itu menjadi bahan rujukan walau bukan satu-satunya.
Biang masalah dan dasar kritik pendidik tradisional terhadap tes terstandardisasi itu muncul karena hasil tes-tes ini digunakan dengan tak semestinya. Hasil tes diungkap media sebagai pemeringkatan pendidikan sejumlah negara berdasarkan rata-rata nilai. Lalu, hasil pemeringkatan antarnegara ini dibuat jadi berita heboh berbagai media dan jadi ”bahan bakar” perdebatan politik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Padahal, secara umum, hampir mustahil membandingkan pendidikan dua negara karena faktor dan keadaan dua negara tak memungkinkan disamakan. Apalagi untuk membandingkan 70-an negara di dunia. Misalnya, bagaimana mungkin membuat peringkat pendidikan negara Finlandia atau Singapura dengan Indonesia yang memiliki jumlah populasi pelajar, keadaan ekonomi, serta skala geografi sangat berbeda?
Lebih mustahil lagi memberikan satu angka tertentu untuk melabelkan atau menggambarkan mutu pendidikan suatu negara. Karena pendidikan memiliki dimensi yang luar biasa banyak, menyimpulkan sesuatu berdasarkan satu angka tertentu yang mewakili ratusan dimensi tentunya berisiko.
Yang juga jamak, hasil yang tak baik sering kali ditanggapi dengan sikap defensif atau pembelaan yang berlebihan. Memang mudah mencari-cari kecacatan metodologi suatu tes. Karena itu, mungkin dipikir kecacatan atau kelemahan itu dapat menawarkan permakluman mengapa hasil suatu negara buruk.
Tes kecakapan bernalar
Sudah hampir pasti metodologi tes-tes internasional tersebut tak sempurna, pasti ada banyak kekurangannya. Namun, bagi pendidikan dasar sampai tinggi di Indonesia seharusnya tak pernah terlalu terkejut dengan hasil tes- tes internasional selama ini. Hasilnya kurang lebih seperti gambaran kenyataan di kelas. Pengamatan kualitatif pada kecakapan membaca, menulis, bicara, dan apalagi bernalar dari lulusan SMA yang menjadi mahasiswa tahun pertama di perguruan tinggi juga tak terlalu jauh dari gambaran hasil tes-tes internasional itu.
Harus jujur dan diakui pula konsep dan pelaksanaan tes internasional seperti TIMSS dan PISA tersebut masih lebih baik dan terbuka dibanding ujian nasional (UN) Indonesia. Soal-soal yang akan digunakan, disiapkan melalui prosedur standar saksama, termasuk dilakukan uji pendahuluan. Kemudian, setelah pelaksanaan tes, sejumlah soal yang digunakan dipublikasikan dan dilaporkan pengkajian terhadap jawaban para pelajar. Praktik baik seperti ketaatan prosedur standar dan keterbukaan ini sejatinya dapat dirujuk oleh pengelola penilaian pendidikan di Indonesia. Dari kajian mendalam, para pendidik dan penentu kebijakan dapat mengenali kecakapan apa yang belum dikuasai pelajar. Lalu, dapat dirancang langkah perbaikan dalam pembelajaran di kelas, bahkan di buku, kurikulum, sampai pelatihan guru.
Sudah sering disampaikan bahwa tes-tes internasional itu secara umum cenderung menekankan penilaian kecakapan yang bersifat bernalar, karena perancangnya bervisi bahwa pelajar hari ini akan memasuki dunia kerja yang sarat teknologi. Kecakapan berpikir canggih akibatnya ditekankan. Kecakapan menyelesaikan masalah yang benar- benar baru yang menuntut kecakapan berpikir tinggi sekaligus berpikir kreatif justru yang menjadi perhatian utama. Pelajar dituntut menerapkan kecakapan yang diperoleh di kelas pada permasalahan nyata hari ini yang mungkin belum ditemui sebelumnya, tak peduli kurikulum yang digunakan di sekolahnya seperti apa.
Berdasarkan rangkaian hasil tes hampir dua dekade yang diikuti Indonesia, dilaporkan belum ada tanda kecenderungan peningkatan berarti. Namun, sudah dikenali dan banyak dilaporkan bahwa kurangnya pembelajaran kecapakan berpikir tingkat tinggi merupakan satu kelemahan sistem pendidikan kita.
Sesungguhnya, jika tak dilakukan perubahan berarti pada sistem pembelajaran di kelas, khususnya pengasahan kecakapan bernalar, tak boleh berharap akan muncul perbaikan pendidikan yang berarti. Tak boleh juga berharap banyak akan terjadi peningkatan nilai secara berkelanjutan dan berarti di tes-tes internasional tersebut. Tak boleh berangan-angan akan ada peningkatan hasil secara berarti jika memang praktik pembelajaran nyaris sama selama ini.
Keberhasilan pendidikan nasional butuh perbaikan tepat pada sasaran proses pembelajaran bernalar. Seperti pengobatan yang baik, penanganan harus tepat pada bagian yang memang sakit. Bukankah kritik akan rendahnya nilai kebangsaan, integritas dan moral merupakan buah tak langsung dari tak suburnya budaya bernalar di pendidikan?
Guru dan bahan ajar
Guna membenahi pendidikan, pelatihan guru dan perbaikan bahan ajar merupakan dua hal yang paling strategis untuk ditindaklanjuti.
Pada saat yang sama, dua upaya tersebut membutuhkan dana yang besar sekaligus waktu yang lama. Sementara Indonesia tak memiliki kemewahan dengan dana yang besar. Kecuali itu, untuk mengumpulkan guru dari daerah terpencil ke ibu kota terdekat untuk ikut pelatihan, juga bukan urusan sepele. Belum lagi kepergian para guru itu ke pelatihan akan mengganggu jadwal belajar para murid. Para pelajar Indonesia pun tak memiliki kemewahan untuk menunggu waktu yang lama guna memperoleh pendidikan yang baik.
Untuk mengatasi kendala ini, pemanfaatan teknologi modern dapat dipertimbangkan. Upaya sederhana seperti penyebaran video pendek (5 menit) berisi inovasi pendekatan pembelajaran dan bahan ajar bermutu melalui telepon seluler langsung ke guru dapat menjadi solusi perbaikan pendidikan yang mungkin, langsung berdampak, dan murah.
Permasalahan pendidikan yang dihadapi Indonesia sangat besar dan pelik. Namun, sangat mungkin dibenahi dan butuh waktu sekitar satu dekade untuk dilihat buahnya, seperti yang dibuktikan China, asalkan segera berbenah tepat sasaran hari ini.
IWAN PRANOTO Guru Besar Matematika ITB; Atase Pendidikan dan Kebudayaan di KBRI New Delhi, India
Sumber: Kompas, 26 Januari 2018