Kehamilan merupakan investasi sumber daya manusia yang harus direncanakan dan dijaga dengan baik. Oleh karena itu, kehamilan di usia terlalu muda, terlalu tua, kehamilan terlalu sering, dan kehamilan yang jaraknya terlalu dekat akan merusak investasi itu. Kehamilan di usia muda bisa mengancam nyawa dan masa depan bangsa.
Kamis, 18 Juni 2015, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan revisi usia minimal perkawinan perempuan 16 tahun pada Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diajukan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Yayasan Kesehatan Perempuan, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, dan Aliansi Remaja Independen. Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati berbeda pendapat dengan menyetujui perubahan usia perkawinan perempuan menjadi 18 tahun.
Dalam sejumlah literatur disebutkan, remaja merupakan peralihan dari masa anak dengan masa dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek atau fungsi untuk memasuki masa dewasa. Dalam masa itu, anak mengalami masa pertumbuhan dan perkembangan fisik ataupun psikis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dari sisi kesehatan, remaja yang menikah dan langsung hamil berisiko tinggi mengalami masalah kesehatan reproduksi. Tahun 2004, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut istilah “remaja” ialah usia 10-19 tahun. Jadi, kehamilan remaja merupakan kehamilan pada perempuan usia 10-19 tahun.
Ketua Perkumpulan Obstetri Ginekologi Indonesia (POGI) Nurdadi Saleh, Jumat (19/6), mengatakan, pada usia 16 tahun, perempuan dalam proses tumbuh kembang secara fisik dan psikis, termasuk organ-organ reproduksinya. Indung telur dan panggulnya belum sempurna. “Umur 16 tahun termasuk remaja belum dewasa. Padahal, untuk hamil, seseorang harus sudah dewasa,” ucapnya.
Menstruasi tak bisa menjadi ukuran seseorang matang untuk hamil, tetapi hanya pertanda perempuan bisa hamil. Indung telur belum sempurna pada remaja menghasilkan telur tak sempurna sehingga banyak kasus keguguran dan lahir prematur.
Selain itu, tulang panggul belum matang jadi faktor risiko utama terjadi partus macet (obstructed labor), disproporsi panggul dengan kepala janin (Cephalo pelvic disproportion). Risiko lain ialah malaposisi janin, dan kontraksi rahim tak optimal dalam persalinan.
Proses tumbuh kembang remaja berlangsung hingga usia 20-21 tahun. Jadi, waktu terbaik hamil ialah saat proses tumbuh kembang selesai, yakni usia 20-40 tahun. “Remaja yang telanjur menikah dianjurkan menunda kehamilan hingga berusia 20 tahun,” kata Nurdadi.
Asupan gizi
Guru Besar Ilmu Gizi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Endang L Achadi memaparkan, pada masa tumbuh kembang, remaja butuh asupan gizi adekuat. Saat hamil, remaja berebut nutrisi dengan janin yang dikandung. Meski tubuh akan memprioritaskan gizi lebih banyak untuk janin, kebutuhan gizi ibu dan janinnya tetap akan kurang.
Akibatnya, saat lahir, bayinya akan kurang gizi, berat badan kurang dari 2.500 gram, dan perkembangan otak terganggu. Proses tumbuh kembang bayi juga akan terganggu. Bayi yang lahir dalam kondisi kurang gizi dari ibu yang juga kurang gizi akan terganggu fungsi kognitif dan kekebalan tubuhnya.
Menurut Direktur Bina Upaya Kesehatan Ibu Kementerian Kesehatan Gita Maya Koemara Sakti, risiko komplikasi pada kehamilan remaja 4,5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan kehamilan dewasa (usia di atas 20 tahun).
Selain itu, kehamilan pada remaja berisiko hipertensi dan preeklampsia 2-5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan kehamilan pada perempuan dewasa. Hipertensi, preeklampsia atau eklampsia, dan perdarahan jadi penyebab kematian tertinggi ibu melahirkan. Saat bersalin, perempuan 15-19 tahun berisiko meninggal dua kali lebih tinggi daripada perempuan dewasa.
Usia terlalu muda untuk hamil bisa menyebabkan kehamilan berisiko yang tidak hanya berujung kematian ibu dan bayi, tetapi juga generasi baru dengan beragam keterbatasan. Dalam jangka panjang, bangsa akan menghadapi beban berupa generasi tak kompetitif dan akan membebani secara ekonomi.
Di Indonesia, angka pernikahan dini di usia 15-19 tahun tinggi. Menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2010, angka perkawinan usia dini (15-19 tahun) 46,7 persen. Di kelompok usia 10-14 tahun pun angka perkawinan 5 persen. Data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012 menyebutkan angka kelahiran pada usia 15-19 tahun 48 per 1.000 kelahiran.
Data SDKI 2012 menunjukkan, angka kematian ibu masih 359 per 100.000 kelahiran hidup dan angka kematian bayi 32 per 1.000 kelahiran hidup. Itu jauh dari Tujuan Pembangunan Milenium (MDG) yang menargetkan angka kematian ibu 102 per 100.000 kelahiran hidup.
Secara global, menurut WHO, kehamilan remaja merupakan penyumbang terbesar kematian ibu dan bayi. Komplikasi kehamilan dan persalinan jadi penyebab kematian kedua pada perempuan usia 15-19 tahun. Dengan beragam risiko kesehatan yang membayangi, sepatutnya kehamilan pada remaja dihindari.–ADHITYA RAMADHAN
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Juni 2015, di halaman 14 dengan judul “Ketika Remaja Punya Anak”.