Data pemantauan terumbu karang yang rutin dilakukan di berbagai lokasi di Raja Ampat menunjukkan peningkatan tutupan karang di Selat Dampier, Raja Ampat, di Papua Barat. Sayangnya, perkembangan positif ekosistem tersebut dibuyarkan dengan tragedi ekologi di jejaring surga bawah laut itu.
Sebuah kapal pesiar berbendera Bahama, MS Caledonian Sky, 4 Maret lalu kandas di salah satu kawasan tutupan karang ini. Sedikitnya 13.500 meter persegi terumbu karang nan rentan itu luluh lantak.
Pemerintah pusat dan daerah, warga, dan media sosial serta konvensional hingga kini masih menunjukkan kegeraman akan kejadian ini. Pemerintah didesak menuntut ganti rugi atas kerugian yang tak terpulihkan itu kepada perusahaan pengelola kapal, Noble Caledonia, di Inggris.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Penggiat ekowisata bahari dari Indoecotours, Lita Hutapea, mengharapkan tuntutan ganti rugi bisa menjadi penunjuk dini bahwa semua pihak memberikan penghargaan dan kepedulian kepada ekosistem terumbu karang. Ketika ekosistem ini dirusak, bukan hanya negara kehilangan karang-karang yang indah, melainkan juga kehilangan manfaat ekologi, perikanan, dan pariwisata untuk bertahun-tahun mendatang.
Apalagi, lokasi kerusakan ini disebut-sebut Kementerian Koordinator Kemaritiman berada di jantung Raja Ampat. Ada benarnya juga pernyataan ini mengingat perairan sempit dan dangkal Selat Dampier berada di daerah larangan tangkap pada Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Raja Ampat.
Selain ditujukan sebagai destinasi wisata dengan belasan hingga puluhan titik selam berkelas dunia, nilai tak terhingga yang hilang akibat rusaknya terumbu karang itu adalah fungsinya sebagai bank ikan. Ekosistem yang didesain KKPD ini membiarkan ikan di Selat Dampier hidup tanpa ditangkap sehingga menyuplai regenerasi ikan ke berbagai perairan sekitarnya.
Namun, kerusakan akibat kapal berukuran 90,6 meter dan bobot 4.200 ton yang mengaku terjebak itu telanjur terjadi. Untuk merehabilitasi kerusakan pada area dengan 553 jenis karang atau hampir 70 persen jenis karang dunia ini sungguh pekerjaan tak mudah dan membutuhkan waktu sangat panjang.
Misi yang berat
Guru Besar Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin, Makassar, Prof Jamaluddin Jompa mengatakan, misi memulihkan ekosistem terumbu karang sesempurna rona awal merupakan misi yang berat jika tak ingin dibilang mustahil. Pendapatnya ini dilaterbelakangi pertumbuhan koral yang sangat lamban.
Untuk jenis karang yang gampang tumbuh, seperti Acropora atau karang bercabang, pertumbuhannya bisa 10 sentimeter (cm) per tahun. Beda lagi dengan karang masif, seperti karang otak dan porites, yang hanya tumbuh 0,5 cm per tahun.
Jadi butuh berapa tahun bagi bongkahan karang masif berdiameter 50 cm, yang terlihat ikut rusak akibat Caledonian Sky, untuk tumbuh kembali? Bisa jadi baru 100 tahun lagi organisasi terumbu karang seukuran itu bisa terbentuk jika lingkungan mendukung pertumbuhan.
Namun, untuk membentuk sebuah gugusan atau ekosistem, Badan Atmosfer dan Kelautan Nasional Amerika Serikat (NOAA), yang mengutip penelitian Barnes (1987), menunjukkan, terumbu karang butuh waktu 10.000 tahun untuk tumbuh dari larva. Bahkan, untuk membentuk karang penghalang (barrier reefs) dan atol, butuh waktu 100.000-300.000 tahun!
Faktor lingkungan laut sendiri sangat berpengaruh bagi pertumbuhan karang. Prof Jompa mengatakan, dari foto-foto kerusakan akibat Caledonian Sky itu, terlihat sebagian karang hancur. Dibutuhkan sumber-sumber larva dari perairan sekitarnya untuk menjadi penghuni tetap di areal yang rusak.
Bisa juga dilakukan intervensi pemulihan dengan metode-metode transplantasi ataupun translokasi. Translokasi atau memindahkan karang yang sudah berhasil ditumbuhkan bisa lebih cepat, tetapi butuh waktu dan dana yang tak sedikit.
Belum lagi dampak perubahan iklim saat ini membuat pertumbuhan karang melambat karena pemanasan global meskipun di Raja Ampat dan bentang kepala burung Papua lainnya karangnya terbukti kuat menghadapi perubahan suhu.
Perlu dipastikan
Jompa mengingatkan pemulihan membutuhkan diagnosis kerusakan dan kondisi yang tepat agar tak membuang waktu dan energi serta biaya. “Pemulihan pasti butuh waktu lama dan tak cukup satu periode pemerintahan. Jadi perlu dipastikan pemulihan tetap berjalan meski pemerintah dan arah politik berganti,” kata pakar karang itu.
Apalagi soal dana ganti rugi atau pemulihan lingkungan, yang meski sudah diputuskan di pengadilan (belajar dari kasus-kasus inkracht pada kebakaran hutan dan lahan), eksekusinya hingga kini belum bisa dilakukan. Sekalipun ada niat baik pelaku untuk mengganti rugi, dana itu belum bisa dipastikan 100 persen kembali bagi pemulihan lingkungan di lokasi kerusakan karena akan masuk ke kas negara sebagai pendapatan negara bukan pajak.
Semacam lembaga dana abadi atau trust funds untuk pemulihan karang atas kejadian ini bisa dibentuk untuk menampung biaya ganti rugi guna memastikan pemulihan terus berjalan.–ICHWAN SUSANTO
———————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Maret 2017, di halaman 14 dengan judul “Noktah Merah Ratusan Tahun”.