Kematian Literasi

- Editor

Kamis, 18 Agustus 2011

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Kata Emak, kampus adalah tempat berkumpulnya orang pintar. Tapi, kata orang Baduy Dalam di Banten Selatan sana, kampus tempat orang suka minterin orang lain. Kata teman saya sesama pengarang, kampus adalah tempat para “agen perubahan” berkumpul. Anehnya, jika warga datang untuk membeli perubahan, para mahasiswa bingung di mana harus mencari perubahan.

Wabah plagiat
Tapi, saya yakin, semua mahasiswa ingin segera menyandang gelar sarjana, agar Tuhan meninggikan derajat mereka. Para mahasiswa bahkan menggunakan beragam cara: meng-ATM (amati, tiru, modifikasi) atau menjiplak skripsi orang lain, bahkan mengupah teman sesama mahasiswa atau dosen pembuat skripsi. Jasa pembuatan skripsi tersebar di Internet hingga iklan dari mulut ke kuping. Maka transaksi literasi pun berlangsung di kampus; tak peduli di kampus berkualitas tinggi atau berkualitas murahan, yang penting “Anda Dijamin Segera Diwisuda”. Plagiasi juga mewabah.

Tentu semua orang mendambakan perubahan dan para orang tua berharap anak-anaknya yang sedang kuliah dan menyandang titel “agen perubahan” mewujudkannya setelah menjadi sarjana. Tapi apa yang terjadi? Para mahasiswa dihadapkan pada kenyataan, bahwa para dosen mereka tidak sekadar terang-terangan menjadi pembuat skripsi mahasiswa, tapi juga sekaligus penjiplak ulung alias plagiator tulisan orang lain. Hal itu sudah menjadi rahasia umum.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Seperti ditulis Firman Venayaksa; “Rektor dan Plagiator” (Koran Tempo, 11 Agustus), sepanjang 2010, ada empat kasus besar yang muncul ke permukaan terkait dengan dugaan plagiasi. Kasus tersebut terjadi pada 2 Februari lalu, yang melibatkan dosen Universitas Mataram; 4 Februari melibatkan dosen Unpar Bandung; 16 Februari melibatkan dosen Untirta Banten; dan 17 Februari melibatkan dua calon profesor dari Kopertis V Yogyakarta. Penyakit “minterin” versi orang Baduy Dalam tersebut kemudian diantisipasi Kementerian Pendidikan Nasional lewat Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi.

Sebagai Ketua Umum Forum Taman Bacaan Masyarakat (FTBM) se-Indonesia, yang berjuang mewujudkan “Gerakan Literasi Lokal Menuju Indonesia Membaca”, saya tentu kecewa. Saya sangat membenci perilaku plagiasi. Apalagi saya mengelola taman bacaan masyarakat (TBM) bernama Rumah Dunia di Banten, semakin kecewa saja begitu tahu ada dosen Untirta Banten yang menjiplak tulisan orang lain.

Ini memang paradoks. Coba saja tengok. Di UUD Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, Forum TBM didorong untuk idealnya menyelenggarakan satu TBM di tiap satu desa, sementara perpustakaan di kampus-kampus secara umum kurang diminati. Ada 72 ribu desa di negeri ini. Sekarang, di Indonesia, baru ada 6.004 TBM. Apa mungkin? Lalu Peraturan Mendiknas Nomor 48 Tahun 2010, berkompromi hingga 2014, minimal di tiap kabupaten/kota cukup 10 TBM dulu. Lantas semua didorong untuk membuat program peningkatan budaya baca lewat kegiatan menulis, tapi para dosennya menjiplak tulisan orang lain.

Menyontek dan menghafal
Saya mau bercerita tentang fungsi TBM. Selain sebagai Ketua Umum FTBM, saya mengelola TBM bernama Rumah Dunia di Serang, Banten, sejak 2002. Saya merespons kehendak ideal dari Kementerian Pendidikan tentang peningkatan budaya baca lewat menulis, yaitu dengan menyelenggarakan Kelas Menulis Rumah Dunia sejak 2002. Sekarang sudah 18 angkatan. Hal pertama yang saya tekankan kepada para peserta adalah, “Dilarang keras menjiplak!”

Pada suatu hari, TBM Rumah Dunia menyelenggarakan lomba literasi, yaitu mengarang tingkat sekolah dasar. Ketika juri menilai karangan yang masuk, ada beberapa karangan yang mencurigakan. Ketika kami mewawancarai si penulis, kami terenyak. “Saya tidak menyontek, tapi menghafal!” Saya mengelus dada. Budaya permisif sudah merasuki anak-anak. Saya selama 10 tahun menanamkan terus kepada para peserta kelas menulis bahwa menyontek tulisan orang lain berbeda dengan menghafal. Ini persoalan moral. Bukankah literasi (keberaksaraan) tidak sekadar melek huruf, tapi ia juga merupakan dasar penopang/fondasi bagi pembelajaran di masa mendatang? Jangan-jangan para dosen yang menyontek itu sejak kecil memang tumbuh di lingkungan tukang menyontek!

Transaksi literasi
Maka, ketika membaca deretan nama kaum cendekia yang dikategorikan sebagai plagiat tertera satu nama dari Banten, yaitu Prof Dr Soleh Hidayat, menggunung rasa kecewa saya. Profesor itu menulis “Untirta Menuju Kelas Dunia”, yang dimuat Fajar Banten edisi 29-30 Januari 2010, dan tulisan La Ode M. Aslan, “Impian Mendorong Unhalu Tahun 2025 Menuju Kelas Dunia”, yang dimuat Kendari Post pada 24 Februari 2009. Lebih dari 90 persen plagiasi itu terbukti secara meyakinkan.

Kekecewaan saya semakin menyamudra ketika tahu Prof Dr Soleh Hidayat pada 18 Juli 2011 terpilih menjadi Rektor Untirta periode 2011-2015. Sebanyak 35 persen suara dari Kementerian Pendidikan memilih profesor itu. Bagai dua sisi mata uang. Di sebelah timur, mayoritas sangat mendukung Menteri Pendidikan dalam proses penanggulangan plagiasi di perguruan tinggi. Sayangnya, di sisi barat, deklarasi itu tak ubahnya asal bunyi, tak membekas.

Dan saya tidak tahu harus mengatakan apa ketika membaca di sebuah koran lokal, edisi 21 Juli 2011, Prof Dr Soleh Hidayat, Rektor Untirta terpilih, menyatakan, “Ibu ingin saya jadi Rektor Untirta, dan Ibu ingin jadi gubernur lagi.” Berarti, karena “ibu” sudah merestui, kita juga harus merestui. Kita tahu “ibu” yang dimaksud adalah Gubernur Banten Hajah Ratu Atut Chosiyah, anak jawara, yang keaslian gelar kesarjanaannya dipermasalahkan oleh Marissa Haque.

Kampus sebetulnya tempat para agen literasi berjuang di garda terdepan dengan menjunjung tinggi etik, tapi ternyata terjebak dalam transaksi literasi dengan kekuasaan. Lantas saya harus mengadu kepada siapa? Bagaimana nasib TBM nanti? Masih perlukah kita memperjuangkan literasi, agar negeri ini penduduknya bermartabat? Atau jangan-jangan ini sudah bukan transaksi literasi ala kampus lagi, tapi sudah menuju kematian literasi….

Gol A Gong, Ketua Umum Pengurus Pusat Forum Taman Bacaan Masyarakat

Sumber: Koran Tempo, 18 Agustus 2011

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB