Teknologi tidak bisa dipisahkan dengan kebudayaan. Dua hal tersebut saling berkaitan. Tanpa budaya, teknologi tidak bisa dikembangkan. Sebaliknya, tanpa teknologi, budaya tidak dapat berkembang.
Demikian diungkapkan Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Telematika, Penyiaran, dan Riset Teknologi Ilham Akbar Habibie, dalam diskusi dengan bertajuk “Teknologi dan Kepemimpinan” di Senayan Residence, Jakarta, pada Jumat (20/4/2018).
Ilham mengatakan, kehadiran teknologi tidak dapat dihindari, tetapi dihadapi. Pemimpin harus memiliki wawasan dalam teknologi agar dapat merencanakan, menggerakan, serta mengendalikan organisasi dan penguasaan sumber daya secara efektif dan efisien. Dengan paham teknologi, pemimpin diharapkan memiliki wawasan yang inovatif dalam setiap memecahkan masalah-masalah masa depan atau zaman sekarang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
NIKOLAUS HARBOWO–Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Telematika, Penyiaran, dan Riset Teknologi Ilham Akbar Habibie (tengah) memberikan paparan soal kepemimpinan paham teknologi dalam diskusi dengan bertajuk “Teknologi dan Kepemimpinan” di Senayan Residence, Jakarta, pada Jumat (20/4/2018).
“Pemimpin yang inovatif akan terbuka terhadap perkembangan zaman dan mencari solusi untuk tantangan global. Dia mengerti kompleksitas untuk menjawab keperluan warga. Kemajuan dunia ini tidak bisa kita hentikan, kita berjalan perlahan, maka kita menjadi korban,” ujar Ilham.
Menurut putra sulung Presiden ketiga RI BJ Habibie itu, tipe kepemimpinan yang memiliki wawasan teknologi dibagi menjadi dua, yakni secara politik dan ekonomi. Secara ekonomi, pemimpin bisa sebagai perluasan bisnis untuk meningkatkan daya saing. Sedangkan, dalam politik, pemimpin dapat menarik massa dan mempunyai dampak lebih luas.
“Jadi teknologi ini sebagai salah satu tools,” ujar Ilham.
Belum terbangun
Ilham menilai, riset di Indonesia masih dalam tahapan dasar. Riset masih belum bisa menjawab kebutuhan industri. Hal itu menunjukkan komunitas industri di Indonesia masih belum terbangun.
“Riset kita masih lemah karena butuh biaya yang besar dan butuh alat-alat yang canggih. Yang kita perlu itu riset terapan yang bermanfaat untuk industri,” ujarnya.
Menurut Ilham, pendidikan di Indonesia juga harus lebih menekankan kepada sains, technology, engineering, and managment (STEM). Kalau tidak, lanjutnya, hal itu akan berdampak kepada banyak perusahaan dalam negeri yang mulai mencari tenaga asing.
“Fresh graduate IT banyak, tetapi bukan itu yang diperlukan. Ironisnya, 50-60 persen buruh unskill, masih SD/SMP. Ya gimana bisa berkembang? Kuncinya itu, pendidikan dan pelatihan,” ujarnya.
Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo menyayangkan belum semua masyarakat memiliki persepsi yang maju ke depan dan berwawasan teknologi. Masyarakat hanya melihat teknologi dengan industri.
“Padahal orang berbudaya itu juga berteknologi. Peradaban manusia itu kemampuan manusia mengembangkan teknologi,” ucap Pontjo.
Menurut Pontjo, masyarakat juga telah salah menilai apabila melihat teknologi akan menciptakan pengangguran. Ia mengatakan, seharusnya dengan kemajuan teknologi dapat memotivasi untuk mengubah pendidikan yang berorientasi pada teknologi.(DD18)
Sumber: Kompas, 21 April 2018